Siti Aisyah Hilal termasuk salah satu puteri cemerlang Kiai Dahlan. Ia dilahirkan di tahun 1905, di Kauman Yogyakarta. Aisyah Hilal secara sengaja dikader dan dipersiapkan betul untuk meneruskan estafet kepemimpinan Aisyiyah. Ia melanjutkan kepemimpinan ibundanya Siti Walidah yang menggawangi Sapa Tresna. Meski tidak langsung menjadi ketua Aisyiyah periode pertama kali. Ia menjadi ketua Aisyiyah setelah Siti Bariyah.
Siti Aisyah Hilal
Siti Aisyah Hilal merupakan generasi kedua yang mengikuti anjuran bapaknya menempuh pendidikan di Neutral Meisjes School bersama Siti Zaenab, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, dan Siti Badilah. Dahlan tidak ingin puteri-puterinya tertinggal dari aspek pendidikan. Dahlan sadar betul warisan yang berharga yang bisa ditinggalkan untuk puteri dan anak-anaknya adalah pendidikan atau bekal pengetahuan.
Pembinaan terhadap gadis muda Kauman yang telah bersekolah terus dilakukan oleh Kiai Dahlan. Bersama dengan Muchtar dan Nyai Ahmad Dahlan, gadis-gadis muda tersebut sewaktu-waktu dipanggil dan diberi nasihat berupa tanggungjawab terhadap Tuhan dan baik buruknya umat Islam. Dengan bimbingan dan nasihat yang diarahkan secara khusus untuk dipersiapkan menjadi pemimpin wanita Muhammadiyah. Mereka diajak pula memikirkan persoalan-persoalan masyarakat (Hajati, Chusnul, 1979).
Kepemimpinan Aisyiyah sejak berdiri hingga tahun 1940 semula hanya satu tahun. Namun, sejak 1941, periodesasinya menjadi tiga tahun. Siti Aisyah Hilal menduduki kepemimpinan Aisyiyah dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam sepuluh tahun, ia telah melakukan banyak hal setelah meneruskan kepemimpinan Siti Bariyah selaku Ketua Aisyiyah pertama.
Redaktur Pertama Suara Aisyiyah dan Ketua Aisyiyah
Kontribusinya di organisasi Aisyiyah cukup banyak. Ia adalah redaktur pertama majalah Suara Aisyiyah. Dalam periode kepemimpinannya, ia telah mencetak sejarah penting dalam Aisyiyah. Di tahun 1931, siswa praja wanita diganti menjadi Nasjiatul Aisjiah. Maka muncullah dalam kalangan Aisyiah semboyan “Yang patah tumbuh, Yang Hilang Berganti”. Dengan berdirinya NA (Nasyiatul Aisyiyah), maka perkaderan dalam lingkungan Aisyiyah menjadi lebih tertata. Ini yang kemudian membuat hilangnya strata antara senior dan junior. Di Aisyiyah tidak ada istilah seperti itu, karena kader itu dipersiapkan. Melalui Nasyiatul Aisyiyah itulah, Aisyiyah mempersiapkan estafet kepemimpinannya. Dengan Nasyiatul Aisyiyah itulah, kepemimpinan Aisyiyah terus bergulir sampai sekarang.
Di tahun 1937, ia telah mempelopori adanya Kongres Bayi atau Lomba Bayi Sehat pada saat Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta. Acara ini sebagai sebuah komitmen Aisyiyah untuk menggalakkan kepedulian terhadap kesehatan anak. Acara ini didukung oleh dokter bumiputera, Tionghoa, dan Belanda. Kongres Bayi atau Baby Show menjadi bagian dari komitmen lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak Bustanul Athfal.
Siti Aisyah Hilal memiliki pemikiran brilian tentang Muhammadiyah. Pemikirannya seperti menegaskan apa yang disampaikan ayahnya. Jika ayahnya mengatakan “Hidup-hidupilah Muhamadiyah, jangan mencari hidup di Muhamadiyah”, maka Siti Aisyah Hilal berkata “Bukan Muhammadiyah yang menghadjatkan kepada kita, tetapi kitalah jang menghadjatkan akan hidup suburnja Muhammadijah”.
Kiprah dan Keluarga
Dalam masa kepemimpinannya Aisyiyah telah menjadi organisasi yang dikenal luas di seluruh penjuru tanah air. Aisyiyah telah memiliki 491 cabang dan ranting. Siti Aisyah mewarisi pemikiran ayahnya yang tidak ingin organisasi Aisyiyah lekas mati. Ia pun bersiasat moderat dan memikirkan jangka panjang agar organisasi ini tidak lenyap ditumpas Jepang saat Jepang menguasai Indonesia. Semenjak masa pendudukan Jepang tepatnya di tahun 1942 – 1945, Aisyiyah memiliki strategi untuk berjuang dari ancaman penjajah Jepang. Aisyiah Hilal menempuh jalan bergabung dengan Fujinkai (perkumpulan perempuan buatan Jepang). Karena madrasah tidak boleh buka, maka diganti dengan PMA (Pengajian Menengah Aisyiyah), menggelar dapur umum dan juga aktif dalam Palang Merah Indonesia. (Nur’aini, Siti Dyah, 2014).
Kiprah Siti Aisyah Hilal belum surut. Selepas pendudukan Jepang atau setelah Indonesia Merdeka, Aisyiyah semakin aktif dan meneguhkan gerakannya di bidang perempuan dan pendidikan serta sosial. Aisyiyah mendirikan BKIA, Rumah Bersalin, Asrama Putri, Panti Asuhan, Penitipan Bayi dan Anak, program santunan bencana alam, bahkan membuka Universitas Sastra Arab Ummul Mukminin (lih. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aisyiah, diterbitkan PP Aisyiah, hal.122).
Sebagai anak dari Kiai Dahlan, kepemimpinannya memberi warna di organisasi keperempuanan Muhammadiyah. Dalam masa kepemimpinannya itulah, Siti Aisyah Hilal telah membawa Aisyiyah menjadi lebih maju. Meski keturunan Kiai Dahlan, ia terbebas dari kultus individu selama memimpin Aisyiyah.
Suami Siti Aisyiyah selalu mendukung gerakan istrinya. Haji Hilal adalah seorang saudagar batik di Kauman. Ia adalah putera Kiai Saleh, kakak Ipar Kiai Dahlan. Kiai Saleh adalah saudagar batik terkaya di Kauman kala itu. Bahkan setelah langgar kidul dirubuhkan, Kakak Ipar Kiai dahlan inilah yang membantu membangun kembali langgar kidul (Muarif, 2020).
Siti Aisyah Hilal pantas dicatat dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ia telah meneguhkan kiprah Aisyiyah sebagai organisasi yang memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan gerakan perempuan di kala itu. Aksi-aksi nyata Aisyiyah di waktu itu menjadi lebih terorganisasi dan tertata. Berkat kepemimpinannya itulah, ia telah membuktikan dirinya mampu memimpin organisasi Aisyiyah dan menjalankan apa yang telah diajarkan oleh Dahlan dan Siti Walidah, orangtuanya.
Editor: Nabhan