Rasanya belum lama Syeikh Siti Jenar dieksekusi. Karena bau anyir darah yang muncrat dari penggalan kepalanya, telah merekah dari wajah garang kaum yang merasa beragama. Siapa saja yang berbeda dengan kehendaknya, patut dituduh menghina. Maka, ia pantas dituntut dan diadili, oleh tangan Tuhan, yang dipikirnya, diwakili oleh amarahnya (mereka yang “merasa” saleh tanpa dosa).
Manunggaling Kawulo-Gusti
Barangkali dosa terbesar Jenar adalah ia berserah diri pada Tuhan seutuhnya; sebenar-benarnya. Siapa tahu? Tapi di mata orang-orang biasa, Jenar telah menista. Karena menyebut “manunggaling” antara dirinya dengan Tuhannya. Padahal sejatinya, apa yang kita anggap paling “Ada”, belum tentu berkenan hadir di dalam relung batin kita. Allah memang Ada dan Maha Ada. Tapi eksistensiNya, tak mungkin kita ceroboh dan semena-mena, lantas merasa: mataku menyaksikanNya.
Karena itulah, Ia adalah Dzat yang Maha Segala-galanya. Dan hanya Ia yang mampu memahami secara sempurna, diriNya sendiri. Sementara bagi sisi manusia, tentang Tuhan adalah labirin misteri yang tak berujung pangkal. “Manunggaling” secara terang-terangan bukanlah tentang peleburan antara yang ada dengan Yang Maha Ada. Ia sekedar ekspresi estetis. Karena bahasa, tak pernah mencukupi untuk menggambarkan keindahannya.
“Manunggaling” terjadi ketika seorang hamba bukanlah siapa-siapa. Bahkan, bukanlah apa-apa. Karenanya, segala bentuk kepemilikan, hanyalah klaim yang membabi-buta. Milikku, hartaku, tahtaku, kekasihku, dan pada akhirnya akan sampai pula pada, diriku. Apakah benar, itu semua benar-benar dimiliki? Ataukah sekedar “mencaplok” sesuatu yang bukan haknya?
Ketika sampai pada masalah “diriku”. Apakah hal itu benar-benar menunjuk pada hakikat diri ataukah sekedar menyebut tubuh dan jiwa? Lantas siapa yang berkuasa atas keduanya? Ruh? Lalu siapa pemilik ruh kita? Kita sendiri, atau ia punya rumah tempat pulang kembali?
Siti Jenar dieksekusi mati, hanya gara-gara ia memikirkan tentang dirinya yang fana. Semua pada akhirnya akan mati. Lalu kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Benarlah kitab suci yang mengingatkan kita bahwa, “Segala-gala yang bermula dari Allah, pada akhirnya, akan kembali kepangkuan-Nya.” Jadi, apa yang bisa kita banggakan jika bahkan diri ini memiliki pemiliknya? Menurut Jenar, “Memiliki Pemilik, Yang Empunya.” Tentu mengisyaratkan adanya Sesuatu yang Maha Dahsyat. Tapi kematian Jenar, konon katanya, bukan hanya karena urusan ajaran “Manunggaling” yang membingungan.
Manuver Politik Penguasa
Di satu sisi, ada citra kesalehan seorang agamawan yang harus dipopulerkan. Sementara di sisi lain, ada manuver politik penguasa, yang memperalat agamawan itu agar berlaku kejam. Sementara itu, orang biasa ada pula yang curiga; Jenar pemegang rahasia (aib korupsi) petinggi keraton. Ahli fiqih bisa saja membuatkan maklumat hukum: siapa saja penista agama, dihalalkan darahnya.
Jika ada skenario permufakatan jahat, para mufti membuatkan fatwa: mencegah mudarat yang lebih besar adalah jalan terbaik, ketimbang menyempurnakan satu kebajikan. Maka, ini semua demi kemaslahatan yang lebih baik. Karena misi pemberantasan korupsi Jenar, diangggap memicu murkanya raja dan berarti, menyulut api pertumpahan darah.
Akhirnya, setelah Jenar benar-benar mati, ternyata kebingungan mengenai “Manunggaling” tak kunjung reda. Mengapa? Mungkin chaos memang tak terjadi. Sementara raja, tak jadi malu. Dan ajaran agama yang dianggap menyimpang, bisa diatasi. Sementara pada agamawan yang merasa shaleh, menjadi semakin khusyuk dengan kesalehannya.
Intinya, tujuan yang manusiawi telah tercapai. Tapi, apakah tujuan itu untuk melayani diri? Siapa (P)emilik diri? Kita perlu mengembalikan diri kepada(N)ya atau terombang-ambing di tengah samudra kebingungan?
Jadi, perlukah menjilat ludah yang terlanjur jatuh? Merevisi sikap bahwa “Manunggaling” bukanlah kesesatan? Akhirnya, sungguh malang nasibmu, Jenar. Ditakdirkan hidup dan ber-“Manunggal”. Bagi yang terombang-ambing, menjilat ludah adalah pantang.