Oleh : Luxy Nabela Farez*
Semakin hari, Muhammadiyah terlihat semakin eksklusif (tertutup), khususnya dalam wacana-wacana strategis seperti wacana gender. Majelis Tabligh memberikan pandangan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu bersifat kodrati dan syar’i (Rezim Gender Muhammadiyah, 2015), berbeda dengan wacana progresif gender pada umumnya.
Penulis memahami, akan ada banyak pihak yang tidak sependapat dengan pernyataan di atas. Karena menurut sejarah, Muhammadiyah adalah organisasi pertama yang telah melampaui kesetaraan gender (yang katanya dari Barat itu). Berdirinya Aisyiyah sebagai organisasi otonom khusus, ia dikhususkan pula untuk perempuan-perempuan yang memiliki visi dan misi sesuai dengan istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah.
Perempuan muda, yang cerdas, berkemajuan, satu-satunya periwayat hadits perempuan yang tersohor, berani dan juga tak tertinggal dalam urusan-urusan politik dan publik di eranya. Yang sekarang penulis rasa jauh dari Aisyiyah itu sendiri. But, no problem, perubahan itu bisa maju dan mundur bukan?
Paradigma Kritis-Optimistis
Kaitannya dengan diskursus gender di tubuh Muhammadiyah, penulis menaruh skeptisisme, yang kemudian memunculkan anti tesis dan menghasilkan paradigma kritis optimistis. Dimana paradigm kritis-optimistis adalah suatu pola pikir yang ingin mencoba berpikir kritis kepada segala kebijakan yang dibentuk oleh Muhammadiyah, namun disisi lain juga optimis pada kemungkinan-kemungkinan munculnya pemikiran yang lebih progresif (berkemajuan).
Hal ini dapat diketahui dari munculnya kelompok-kelompok progresif dalam tubuh Muhammadiyah seperti Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) dengan Ma’arif Institutenya, Yunahar Ilyas dengan buku Kesetaraan Gender dalam Al Quran, juga Siti Ruhaini Dzuhayatin dengan bukunya Rezim Gender Muhammadiyah dan beberapa tokoh lainnya. Kelompok ini memiliki corak pemikiran yang maju, modern dan reformis sesuai dengan cita-cita KH. Ahmad Dahlan dalam membentuk Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Modern Berkemajuan. Dimana ciri ke-modern-an, dapat diperoleh dari pergeseran kemajuan berpikir yang kontekstual, substantif, dan responsif terhadap isu-isu strategis termasuk gender, juga kemanusiaan.
Buah Temuan Ruhaini
Entah sengaja, hanya kebetulan saja atau apapun itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin lahir di tanggal dan bulan yang sama seperti penulis hehe 17 Mei, berbeda dengan penulis, ia lahir di Blora tahun 1963. Sejauh yang penulis temukan dan telusuri, perempuan ini tidak memiliki rekam jejak di organisasi perempuan Aisyiyah maupun Nasyiatul Aisyiyah. Namun ia tercatat sebagai anggota Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran PP Muhammadiyah 2000-2005, anggota Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah 2010-2015, dan beberapa aktivitas Nasional lain yang menyeret namanya, khususnya dalam kajian-kajian tentang diskursus gender dan perempuan.
Ruhaini membuka mata kita bersama, memandang Muhammadiyah dengan perspektif yang lebih luas. Ia membuktikan kepada kita semua, bahwa perempuan mampu memberikan kontribusi pemikiran dan juga ikut bergabung di Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang notabene didominasi oleh laki-laki untuk memutuskan fatwa-fatwa keislaman, dengan kacamata laki-laki pula.
Kontestasi gender dalam Muhammadiyah memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya, ia meneliti berbagai artefak dan kodifikasi-kodifikasi sejarah sejak awal dibentuknya Muhammadiyah kemudian Aisyiyah dan juga segala konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berkelindan disekitarnya. Ia memaparkan berbagai temuan di bukunya “Rezim Gender Muhammadiyah”. Baik yang sifatnya memberikan kritik maupun juga menunjukkan temuannya atas pemikiran progresif Muhammadiyah dan Aisyiyah khususnya dalam isu gender dan pembebasan perempuan.
Dalam tulisannya, Ruhaini menunjukkan Muhammadiyah melahirkan buku Fiqh Perempuan Perspektif Muhammadiyah, hasil dari Musyawarah Nasional Majelis Tarjih menjelang Muktamar 2010. Yang salah satu isi kontroversialnya mengenai diperbolehkannya perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki jika memenuhi syarat keluasan pengetahuan tentang Islam dan kefasihan melafalkan ayat-ayat Al Quran.
Tidak hanya itu, namun juga dalam penetapan presiden perempuan, poligami juga kawinan dan usia nikah. Menurut Ruhaini, “hal ini menjadi spirit equal partnership, dimana kemitrasejajaranlah yang menjadi intinya”. Begitu juga artinya Muhammadiyah menemui kemajuan dalam pemikiran progresif dan upaya praksisnya.
Disamping itu, Ruhaini juga menyebut beberapa contoh progresifitas Aisyiyah yang memiliki program penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis agama, bersama organisasi masyarakat islam arus utama (Muhammadiyah dan NU), juga KOMNAS Perempuan. Yang membuahkan karya sebuah buku berjudul “Memecah Kebisuan: Agama Mendengarkan Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan: Respons Muhammadiyah” pada 2009.
Feminis Muslim Muhammadiyah
Karena sumbangsih pemikirannya dibidang Gender, Buyya Syafi’i dan Yunahar Ilyas di bukunya Kesetaraan Gender dalam Al Quran (2015) menyebutkan nama Ruhaini sebagai seorang pemikir wacana feminis dalam perspektif Islam. Yang mana sering disebut sebagai Feminis Muslim, dengan berbagai pemikiran progresifnya yang adil gender dan mempersoalkan historitas ajaran Islam, baik melalui Al Quran maupun Hadits. Sehingga penulis juga menyebut Ruhaini sebagai Feminis Muslim Muhammadiyah, sosok Pemikir Perempuan Progresif Muhammadiyah.
Seperti halnya Asghar Ali Engeener, Riffat Hassan, Fatima Mernessi, dan Amina Wadud Muhsin yang melihat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan Allah SWT di Al Quran. Dan meyakini hanya para mufassirlah — yang hampir semuanya laki-laki itu – yang menafsirkan ayat-ayat Al Quran secara tidak tepat.
Di antara yang dipersoalkan pada tafsirannya, adalah ayat-ayat tentang penciptaan perempuan, kepemimpinan rumah tangga, kesaksian hingga kewarisan perempuan. Ruhaini, membongkar secara rigid konstruksi gender Muhammadiyah di dalam bukunya dari masa pertumbuhan, perkembangan hingga masa kini.
Peran Pemuda pada Perempuan dan Kelompok Marjinal
Menghayati pemikiran Ruhaini, banyak yang bisa kita teladani darinya sebagai generasi penerus. Kritik terhadap tubuh Muhammadiyah yang dilakukan Ruhaini membuktikan bahwa ruang-ruang dialog keilmuan masih terbuka lebar. Dan banyaknya perbedaan pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah adalah suatu bukti kekayaan intelektual.
Mansour Fakih di bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2016) berbagai macam masalah ketidakadilan gender masih terus terjadi, dari marjinalisasi, subordinasi, stereotype, beban kerja hingga kekerasan. Bisa kita lihat bersama di berbagai platform media massa, baik konvensional maupun new media, setiap hari selalu ada kasus kekerasan seksual berbasis gender, baik verbal dan non-verbal. Banyak korban adalah perempuan, anak-anak dan kelompok difabel, sebagian kecil lainnya adalah laki-laki (Survey of JFDG dkk, 2019).
Secara langsung maupun tidak langsung, kita belajar bersama, melalui tulisan dan pemikiran Ruhaini, bahwa Aisyiyah sebenarnya juga mendukung Penghapusan Kekerasan Seksual. Jika ada kader Muhammadiyah yang menolaknya, jelas mereka ahistoris. Dan hal ini menginspirasi kita bersama untuk mendukung segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum korban kekerasan seksual berbasis gender.
Melihat Ruhaini dan juga sepak terjangnya untuk isu gender dan kaitannya dengan ajaran Islam, baik secara teologis maupun sosiologis, kita perlu menjadi pemuda yang kritis juga optimistis dalam menemui realitas sosial, khususnya menyoal perempuan dan kelompok marjinal. Darinya, kita memperoleh harapan baru atas terus berkembangnya pemikir perempuan Islam, juga feminis muslim di Indonesia, khususnya di kalangan Muhammadiyah. Ia mengajarkan kita untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi kemanusiaan.
*ex-Ketua Bidang IMMawati PC IMM Kota Surakarta 2017-2018, sekarang aktif dalam komunitas Pusat Kajian Perempuan Solo sebagai General Koordinator.