Oleh: Rayno Dwi Adityo*
Sejatinya nama Siti Walidah tidak terdengar asing bagi kita. Ia masuk dalam deretan tokoh wanita yang diberi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no. 42/TK Tahun 1971. Bukan tanpa alasan mengapa Siti Walidah dapat ditetapkan sebagai pahlawan nasional. sudah tentu atas dasar jasa dan kontribusinya yang nyata bagi perkembangan peradaban perempuan di Indonesia. Siti Walidah adalah embrio generasi perempuan terdidik Indonesia.
Sosok beliau juga dikenal luas sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Benar, ia merupakan istri dari KH. Ahmad Dahlan, ulama intelek sekaligus pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Siti Walidah merupakan nama kecilnya, Walidah lahir dari lingkungan elit ulama karesidenan Yogyakarta 147 tahun yang lalu, ia meninggal pada 31 Mei 1946.
Bersama dengan suaminya, Walidah berupaya untuk memajukan kehidupan kaum perempuan khususnya generasi muslimah tanpa memandang status sosial. Di mana pada zaman itu kedudukan perempuan diposisikan tidak setara dengan laki-laki. Seiring mewabahnya “virus” jumud terhadap pemahaman keagamaan di internal umat Islam.
Dampak dari kondisi yang jumud membawa muatan ketidaksetaraan bagi perkembangan kehidupan termasuk saluran pendidikan bagi perempuan. Tidak jarang seorang wanita dipandang rendah. Bahkan dalam kasus tertentu disamakan dengan barang.
Pengajian Perempuan Sopo Tresno
Pergerakan yang dilakukan Siti Walidah tidak berhenti pada tahap gagasan, melainkan sudah pada tahap implementasi. Terbukti dengan berdirinya kelompok pengajian perempuan Sopo Tresno sekitar tahun 1914. Hampai saat ini banyak pakar kesejarahan Muhammadiyah telah memberikan jawaban yang variatif kenapa perkumpulan itu dinamakan Sopo Tresno. Penulis turut mencoba untuk mengartikan alasan penggunaan nama tersebut.
Dugaan penulis kembali pada maknanya yang berarti siapa cinta atau siapa suka. Memiliki tujuan untuk menghimpun perempuan-perempuan muslimah agar mendapatkan akses pendidikan yang layak. Menyukai dan cinta akan ilmu pengetahuan.
Pengajian tersebut membekali para perempuan dengan ilmu-ilmu agama tanpa menelantarkan keilmuan umum yang modern. Pengajaran ilmu-ilmu agama yang diajarkan tidak sekedar bersifat doktrinal, namun diiringi sikap berfikir kritis. Contohnya saja setelah akan berakhirnya pengajian, Siti Walidah kerap menyelipkan nilai-nilai kemodernan.
Walidah menekankan kesadaran pentingnya seorang perempuan agar dapat melek ilmu dan melek peradaban. Melalui Sopo Tresno, Walidah mengusahakan agar para perempuan menjadi terdidik, dapat membaca dan menulis–agar tidak mudah dibodohi dan tidak mudah dibohongi, serta berdikari. Sehingga, ruang gerak seorang perempuan menjadi lebih luas.
Siti Walidah: Embrio Generasi Perempuan Terdidik
Beliau menekankan betapa pentingnya seorang perempuan berlatih berfikir rasional. Momentum pengenalan berfikir rasional tersebut tergambarkan sangat jelas pada beberapa kesempatan. Salah satunya dalam sebuah adegan pada film yang mengupas ketokohannya ditahun 2017.
Film berjudul Nyai Ahmad Dahlan itu memuat sebuah scene itu dialog antara seorang ibu petani dengan Siti Walidah. Singkatnya, Siti Walidah melihat ibu tersebut menggunakan sebiji bawang putih yang dikalungkan di lehernya. Untuk menyampaikan maksudnya, Walidah lantas tidak kemudian secara langsung berterus terang mengkritisi kebiasan tersebut. Juga tidak mengkritik dengan menggunakan cara-cara reaktif yang membuat si ibu tersinggung.
Pertama-tama ia melontarkan sebuah pertanyaan dengan tujuan mengajak si ibu untuk berfikir. Walidah menanyakan tentang kegunaan dari bawang putih di lehernya. Kemudian si ibu menjawab, bahwa sebiji bawang putih yang ia gunakan bertujuan untuk melindunginya dari kesialan.
Selanjutnya, yang dilakukan Walidah adalah dengan santun memohon agar dapat meminjam benda itu. Lalu ia mematahkannya secara perlahan menjadi dua bagian seraya menjelaskan kesia-siaan berlindung pada sesuatu yang mudah hancur. Dari ilustrasi ini tergambar jelas kecerdasan seorang Walidah dalam melakukan pendekatan kepada ibu petani. Sikapnya menegaskan keberadaan embrio generasi perempuan terdidik dalam diri Walidah.
Menggerakkan Perempuan Melalui ‘Aisyiyah
Nyai Ahmad Dahlan senantiasa mendorong kaum muslimah untuk beraktualisasi dan mengambil peran dalam organisasi sebagai bentuk pengembangan diri. Kelompok Sopo Tresno yang ia rintis tahun 1917 kemudian berevolusi menjadi ‘Aisyiyah. Organisasi perempuan tertua ini selanjutnya berkembang sangat pesat. Juga responsif dalam mengawal sepak-terjang kaum muslimah dalam peradaban Indonesia.
Cara pandang Nyai Ahmad Dahlan secara umum banyak terpengaruh dari sang suami yang merupakan tokoh reformis Islam. Sepintas di sisi lain, perjuangan Siti Walidah dalam memajukan kaum muslimah memiliki kemiripan corak gerakan dengan aliran feminis postkolonial dan aliran feminis Nordic. Dua gerakan yang memusatkan perjuangan pada isu kesetaraan antara wanita dan pria dalam konteks peluang pendidikan, sosial, ekonomi, serta peran perempuan diruang publik dalam kehidupan bernegara. Namun perlu digarisbawahi bahwa pola aktualisasi Nyai Walidah muncul sebelum kedua aliran tersebut populer di Indonesia.
***
Akhirnya, semoga semangat Nyai Ahmad Dahlan tidak usang dimakan zaman. Dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi muslimah di era ini. Sehingga pemikiran dan cara pandangnya terus lestari. Meneruskan embrio generasi perempuan terdidik di Indonesia.
*) Kader Muhammadiyah. Dosen Ilmu Hukum Prodi HKI, UIN Malang