Negara-negara Asia yang merdeka setelah lepas dari penjajahnya, kerap mengalami gejolak politik yang tak berkesudahan, hingga bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun sampai era kontemporer saat ini. Negara-negara yang mengalami gejolak di antaranya berada di belahan bumi Asia. Kebanyakan terjadi di bagian negara-negara yang mayoritas pengikutnya beragama Islam, dengan kemelut praktik politik Islam atau politik sekuler bagi negara mereka masing-masing. Hal ini sebagaimana terjadi pada negara Pakistan yang sebelumnya bagian dari negara India setelah lepas dari belenggu kolonialisasi Inggris.
Setelah beberapa tahun berjalan dari kolonialisasi Inggris di India, tepat Februari 1947 Inggris membuat keputusan meninggalkan India sebelum Juni 1948. Menjelang kemerdekaan India, pemerintah Inggris memerintahkan Lord Mountbatten untuk menjabat sebagai Raja Muda (Viceroy) di India. Sesuai kesepakatan bersama antara kongres dengan Gandhi yang mewakili dan Ali Jinnah yang mewakili Liga Muslim untuk mendirikan dua negara yakni Pakistan dan India. Hingga kemudian, India merdeka pada tahun 15 Agustus 1947 dan Pakistan merdeka 14 Agustus 1947 (Lapidus, 1999, p. 298).
Mengenai Pakistan, setelah mengadopsi konstitusi baru pada tahun 1956, Pakistan secara resmi menjadi negara Republik Islam. Pada tahun 1971, sebuah perang sipil terjadi di negara bagian Pakistan Timur yang akhirnya menjadikan negara bagian tersebut berpisah sebagai negara baru bernama Bangladesh (Ulum et al., 2018, p. 24).
Awal Mula Gejolak
Pakistan sebagai negara republik Islam tentunya memilih konstitusi Islam menjadi landasan hukum aplikatif dalam bernegara maupun berbangsa. Akan tetapi dalam beberapa halnya, demokrasi tetap saja belum mendapatkan kesepakatan akhir antara pihak birokrasi Pakistan di legislatif maupun eksekutif. Karena di antaranya terdapat dari kalangan tradisionalis berhadapan para pemikir Islam modernis, secara tidak langsung menimbulkan konflik serius dalam penetapan bentuk konkrit konstitusi Pakistan sebagai negara Islam di era modern.
Guna mengatasi kekacauan lebih lanjut, militer di bawah Jendral Muhammad Zia-ul-Haq, Kepala Staf Angkatan Darat menggulingkan Bhuto dan mengambil alih kekuasaan pada tahun 1977. Bhuto dituduh membunuh lawan politiknya tahun 1974, untuk itu Zia-ul-Haq menyeretnya ke tiang gantung pada 4 April 1979. Berkat Zia-ul-Haq juga, tepat pada bulan Februari 1979 ia mengumumkan berlakunya hukum Islam.
Selain itu Ia membentuk suatu institusi yang memberikan cara mendapatkan keadilan dengan mudah kepada perorangan yang mempunyai keluhan terhadap tindakan pejabat pemerintahan federal. Kantor tersebut berdiri pada 24 Januari 1983 dengan nama Perintah Wafiki Mohtasib (Federal Ombudsman). Dalam dua tahun saja, institusi tersebut telah menyelesaikan keluhan sebanyak 94.500 dari 105.500 serta banyak melontarkan gagasan tentang transformasi struktur sosial, ekonomi dan politik dengan menyesuaikan prinsip-prinsip Islam (Aisyah A., 2014, p. 87).
Pada tahun 1988, Zia-ul-Haq lengser, tergantikan oleh Benazir Bhuto menjadi perdana menteri Pakistan. Setelah partai rakyat Pakistan yang Ia pimpin menang atas Aliansi Demokrasi Islam (Islamic Demokratic Aliances/IDA). Dengan demikian, Pakistan yang sebelumnya menganggap wanita tidak berhak menjadi seorang kepala negara, telah mengukir sejarah penting bagi perkembangan Islam. DenganBenazir Bhuto sebagai perdana menteri dari kalangan perempuan pertama di dunia Islam era modern.
Akan tetapi, pada tahun 1990, Benazir Bhuto lengser dengan tuduhan korupsi dan Nawaz Sharif (seorang pengagum Zi-ul-Haq) mengisi kepemimpinan, yang mana Ia berasal Partai Aliansi Demokrasi Islam (IDA). Nawaz Sharif mengakhiri kepemimpinannya setelah kudeta yang oleh Perves Musharraf pada tahun 1999. Sehingga, pada tahun 2001 Perves Musharraf menyatakan diri sebagai Presiden Pakistan (Aisyah A., 2014, p. 88).
Konstitusi Pakistan
Secara konstitusi, sistem pemerintahan Pakistan menganut sistem parlementer. Namun sejak Jenderal Pervez Musharraf mengambil alih jabatan presiden melalui kudeta tak berdarah pada bulan Oktober 1999. Sistem tersebut pada akhirnya mengarah pada sistem presidensil, di mana kekuasaan Presiden secara “de-facto” lebih besar daripada Perdana Menteri. Pemerintahan sistem presidensil tersebut bertahan selama 9 tahun. Meskipun awalnya mendapat kecaman dari dunia internasional khususnya negara-negara barat, akan tetapi secara perlahan berkurang. Hingga keanggotaan Pakistan dalam organisasi persemakmuran (commonwealth) pada akhir tahun 2004 dapat pulih kembali (Ulum et al., 2018, p. 30).
Menyusul kudeta militer tak berdarah pada tanggal 12 Oktober 1999. Jenderal Pervez Musharraf membekukan Konstitusi Pakistan dan memproklamirkan diri dengan sebutan “Chief Executive”. Pada 12 Mei 2000 Mahkamah Agung mengesahkan kudeta tak berdarah tersebut. Kemudian memberikan kepada Jenderal Musharraf wewenang eksekutif dan legislatif selama tiga tahun mulai dari tanggal kudeta.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Juni 2001 Musharraf memproklamasikan diri sebagai Presiden dan mengambil sumpah menggantikan Mohammad Rafiq Tarar. Referendum yang terjadi tanggal 30 April 2002 jabatan kepresidenan Musharraf di perpanjang hingga 5 tahun lebih. 01 Januari 2004, Musharraf kembali memenangkan “vote of confidence” di Senat, DPR dan 4 DPRD propinsi (Ulum et al., 2018, pp. 32–33).
Konstitusi Pakistan adalah UUD 10 April 1973, yang sebelumnya lumpuh pada 5 Juli 1977 dan berlaku kembali dengan amendemen pada 30 Desember 1985. UUD tersebut kemudian dilumpuhkan oleh Jenderal Musharraf pada kudeta 15 Oktober 1999 dan kemudian berlaku lagi pada 31 Desember 2002. Sejak bulan Maret 2008, Ch.Iftikhar Mohammad Chaudhry kembali menjabat sebagai Ketua MA. . Mahkamah Agung (Supreme Court) saat itu terdiri dari para hakim agung, yang penunjukan sekaligus pengangkatan oleh presiden langsug. Setelah sebelumnya, Presiden Pervez Musharraf memberhentikannya menyusul pemberlakukan Hukum Darurat tgl 3 Nopember 2007 (Ulum et al., 2018, p. 34).
Perjalanan Yang Bukan Akhir
Dengan demikian, gambaran kecil sejarah singkat perjalanan dari pola dan praktik demokrasi Islam benar-benar terjadi dalam negara Pakistan. Hingga akhirnya memaklumatkan diri sebagai negera Islam yang mematuhi hukum Islam sebagai konstitusi konkrit dalam sistem kedaulatan hingga kesejahateraan rakyat.
Walaupun pada akhirnya Pakistan tetap mengatasi setiap permasalahan negaranya dengan mengikuti hukum-hukum peninggalan Inggris dan akomodatif di era modern. Satu hal penting yang bisa menjadi pelajaran dari Pakistan adalah walaupun menjadi negara berasaskan Islam yang mengarah kepada semi-sekuler. Tetap saja mereka memberlakukan pertimbangan rasional, terhadap yang sudah menjadi keputusan oleh pihak birokrat parlemen dalam menghadapi arus politik globalisasi.
Editor: Iefone Shiflana Habiba