Bung Koko, begitulah sapaan akrabnya. Intelektual kelahiran Sawahlunto ini merupakan salah satu tokoh yang tak bisa kita lepaskan dari memoar intelektual pasca kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang intelektual, diplomat, dan politikus pemikirannya mengenai ragam persoalan sosial dari sudut pandang yang multi-disipliner nampaknya akan selalu relevan untuk dikaji. Tak terkecuali pada persoalan pembangunan.
Menarik untuk dikaji kembali bagaimana Soedjatmoko memandang peran agama dalam pembangunan. Tulisan ini merupakan rangkuman pikiran Soedjatmoko tentang agama dan pembangunan dalam spektrum keindonesiaan.
Karakter intelektual yang mendobrak sekat disiplinaritas ilmu, membuat Bung Koko tak melepas aspek keberagamaan sebagai salah satu faktor pendukung pembangunan di Indonesia. Ia memandang bahwa pembangunan sebagai tuntutan modernitas memiliki persamaan pesan pada kemaslahatan masyarakat sebagaimana agama bagi para pemeluknya.
Mengenal Bung Koko Sejak dalam Pikiran
Memahami kepakaran Soedjatmoko nampaknya cukup ‘merepotkan’ lantaran konsentrasi dalam setiap pemikiran Soedjatmoko tidak pada pengembangan disiplin ilmu tertentu melainkan lebih fokus kepada bagaimana ilmu pengetahuan mampu merespon persoalan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia memandang disiplin ilmu bukan menjadi sekat yang membatasi kebebasan berpikir.
Namun bukan berarti ia memandang nilai ilmu pengetahuan hanya memiliki makna pragmatis belaka. Pada beberapa tulisannya ia kerap melakukan kritik pada persoalan yang mengganggu otonomi ilmu yang ia pandang sebagai syarat perkembangan ilmu. Menurut Ignas Kleden, ada dua kata kunci untuk memahami Soedjatmoko, yakni otonomi dan kebebasan.
Cukup menarik bagaimana ia memandang bahwa dalam perkembangan ilmu sosial, setidaknya terdapat tiga unsur yang harus ada di dalamnya; pertama, darinya kita mampu memahami karakter suatu masyarakat. Kedua, darinya pula kita dapat melihat karakter ideal dari masyarakat. Ketiga, dengannya kita memperoleh proses apa yang harus ditempuh agar mencapai masyarakat yang ideal tersebut. Ilmu sosial harus mampu memandu jalannya pembangunan.
Bagi Soedjatmoko, seluruh upaya pembangunan baik pada ekonomi, politik, dan sosial harus bertumpu pada satu cita-cita utama kemanusiaan yaitu otonomi dan kebebasan yang utuh. Tak terkecuali pada ilmu pengetahuan.
Segala keadaan maupun perkembangan yang mengancam otonomi dan kebebasan manusia adalah problem. Tak pelak lagi yang menjadi sorotan utama pada persoalan ini adalah tradisi dan modernitas. Dapat kita lihat, tanpa keraguan Soedjatmoko terjun dalam pelbagai bidang persoalan tersebut.
Ideologi, model ekonomi, praktik politik, dan kehidupan beragama adalah buah dari tradisi dan perkembangan modernitas bagi masyarakat Indonesia.
Dilema Pembangunan bagi Umat Beragama
Pembangunan harus diwujudkan sebagai bentuk “transformasi sosial yang menyeluruh” tidak sebatas pada aspek materiil semata melainkan juga melibatkan aspek batiniyah bagi manusia. Ia menuntut akan tercapainya model pembangunan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang juga membuka kesempatan kerja, dan tetap menegakkan keadilan sosial serta kemerdekaan bagi seluruh masyarakat.
Menurutnya, terdapat dua kesamaan pesan dari modernitas sebagai konsekuensi pembangunan dengan agama; pertama, modernitas dan agama sama-sama memiliki orientasi untuk membawa manusia pada kebaikan di masa depan. Kedua, kebaikan masa depan tersebut ialah keselamatan bagi seluruh manusia yang dengannya kita dapat melihat itu sebagai kabar gembira (dalam terminologi Islam hal ini disbeut bisyarah).
Pada implementasinya, keduanya memiliki cita-cita eskatologis. Namun modernitas digerakkan dengan cara sekular, sedangkan agama digerakkan dengan pendekatan yang religius. Begitulah seperti yang pernah dijelaskan Peter L. Berger bahwa modernisasi ibarat eskatologi injil yang disekularisasikan karena ia didorong oleh semangat imajinasi tentang masa depan.
Tetapi nyatanya sungguh sulit untuk menyatukan keduanya bahkan kerap menimbulkan konflik. Modernitas menjanjikan keselamatan bagi manusia dalam bentuk “now and here”. Sedangkan sebaliknya, agama melihat dunia sebagai tempat yang sementara dan penuh dengan ujian sehingga keselamatan yang dijanjikan ada di akhirat.
Modernitas memandang bahwa pandangan ke-akhirat-an perlu untuk dikesampingkan jika justru hal tersebut menghambat kita membangun dunia lebih baik. Akan tetapi hal ini justru melukai kepercayaan para umat beragama yang meyakini bahwa setiap persoalan yang dihadapi di dunia merupakan ujian sebagai bentuk persiapan yang harus dihadapi agar mampu menuju surga.
Hubungan paradoksikal ini berkelindan bahkan mewujud antagonisme. Pada gilirannya program pembangunan sulit untuk diterima oleh umat beragama terlebih membenarkan gagasan modernitas.
Peran Agama dalam Pembangunan Nasional
Bagi Soedjatmoko, terdapat kecenderungan filosofis suatu agama, yaitu; kedisiplinan berpikir dan kekuatan jiwa. Kedisiplinan berpikir memungkinkan umat beragama mengkalkulasikan amal perbuatannya. Kekuatan jiwa memungkinkan seseorang untuk mampu menerima ganjaran dari perbuatannya.
Pembangunan senantiasa menyisakan banyak pengorbanan di sisi lain juga memberikan manfaat. Maka akan ada kelompok yang mendapatkan manfaat dan ada pula yang dirugikan oleh pelaksanaan setiap keputusan dalam pembangunan. Lantas adakah landasan moral bagi setiap keputusan tersebut?
Peran agama dengan seluruh nilai dan ajarannya mampu menjadi norma dalam pembangunan yakni dalam memberikan moral-reasoning. Dengan demikian, agama juga mampu menjalankan peran dalam kritik terhadap pembangunan terutama pada hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, yaitu; penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh pembangunan.
Menurut Soedjatmoko, agama memiliki fungsi ganda; pertama, terhadap individu bahwa agama dilihat sebagai jalan penyucian diri dan jiwa yang dengannya menuntun seseorang agar mampu meraih kesempurnaan hidup. Kedua, terhadap suatu masyarakat bahwa agama menjadi sarana untuk menciptakan ketertiban sosial yang kemudian pada gilirannya membentuk suatu sistem sosial.
Sebagaimana persoalan tradisi dan modernitas, Soedjatmoko memandang bahwa memang akan ada pertentangan akan keduanya.
Namun, ketika modernitas atau pembangunan akan mendapatkan legitimasi yang kuat jika para ‘modernizer’ mampu memakai tradisi untuk keperluan di luar tradisi tersebut tanpa harus merusak otonomi tradisi suatu masyarakat. Itulah yang ia sebut sebagai manipulative capacity.
Begitu pun dengan agama dan pembangunan nasional, pembangunan atau development harus ditempatkan dalam makna yang luas. Pembangunan bukan sekadar self-justifying proposition, ia perlu menampung dan mengakomodir tujuan, harapan, serta cita-cita seluruh kepentingan masyarakat baik pada aspek lahiriah dan batiniyah. Selanjutnya ‘dimanipulasi’ dalam simbol efektif yang mendapat pembenaran dari agama sehingga dengannya mampu memancing partisipasi masyarakat.
Catatan Penutup
Soedjatmoko memandang bahwa pembangunan harus dicanangkan dalam bentuk multi-track development strategy (Soedjatmoko, 1980). Hal tersebut diupayakan agar pembangunan tidak gagal dalam menjalankan fungsinya untuk kemaslahatan masyarakat lantaran hanya berpaku pada suatu dimensi tunggal.
Beberapa bulan terakhir saya melihat bahwa pemilu pada taraf tertentu mampu mendorong diskursus mengenai orientasi pembangunan nasional. Tak pelak lagi pertentangan gagasan setiap paslon menuntun pikiran publik untuk melihat bagaimana masa depan pembangunan Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Di lain sisi, masyarakat kita kerap menggunakan agama sebagai legitimasi terhadap gagasan-gagasan pembangunan tersebut. Namun terkadang kita latah dalam memberikan legitimasi tersebut lantaran tidak memaknai agama secara utuh dan memahami pembangunan dalam makna yang luas.
Nampaknya konsepsi peran agama dan pembangunan dalam kacamata Soedjatmoko dapat pula kita terapkan dalam bangunan wacana keagamaan khususnya di Indonesia.
Referensi
Berger, P. L. (1982). Piramida Kurban Manusia. Jakarta: LP3ES.
Kleden, I. (2020). Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soedjatmoko. (1980). Development and Freedom. Tokyo: Simul Press.
Soedjatmoko. (1983). Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Editor: Soleh