Siapa yang tidak tahu Ir. Soekarno? selain seorang negarawan, beliau juga adalah seorang intelektual. Hal itu tidak perlu diragukan lagi keilmuanya. Sebagai putra Sang Fajar, beliau adalah salah satu figur penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Bersama Bung Hatta, beliau berani mengambil keputusan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan tindakan tersebut, Indonesia dapat diakui berdaulat di mata bangsa lain.
Pidato-pidatonya yang berbobot dan menggugah, terus “abadi” terawat dalam kepala-kepala masyarakat Indonesia. Tidak sekadar pidatonya saja, tetapi buah pikir dan tindakan beliau patut kita kenang di hati karena melahirkan konsep-konsep kehidupan bernegara yang bisa merangkul keberagaman.
Umumnya yang kita ketahui, Soekarno adalah seorang nasionalis yang sejati. Namun kehadirannya sebagai pemimpin besar revolusi kala Indonesia merdeka, membuat Soekarno begitu terbuka dengan banyak ideologi. Bahkan dari hasil pikir dan pergolakan batinya yang mendalam, Soekarno ingin menggabungkan tiga ideologi kontemporer. Yaitu; nasionalis, agama, komunis. Atau yang populer dengan sebutan NASAKOM.
Ketika beliau menempuh pendidikan di HBS Surabaya, Soekarno tinggal dan berguru bersama seorang tokoh pergerakan yang hebat di zamannya yang dikenal sebagai politikus dan pemikir, yaitu Cokroaminoto. Di rumah Cokro, Soekarno banyak belajar tentang pemikiran Marxisme melalui buku-buku milik Cokro.
Dapat dikatakan bahwa Cokro berperan besar dalam membentuk pandangan visioner seorang Soekarno, tanpa menafikkan tokoh pergerakan lainya. Soekarno begitu kagum pada Cokro. Baginya, Cokro adalah “guru kehidupan”.
Selain belajar dan tinggal di Surabaya, Soekarno sering mengikuti ceramah yang dibawakan oleh Kiai Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah. Ahmad Dahlan sering berkunjung ke Surabaya atas undangan dari Cokroaminoto yang merupakan karibnya. Soekarno tidak pernah meninggalkan setiap safari dakwah Kiai Ahmad Dahlan. Dari Ahmad Dahlan, Soekarno banyak belajar tentang wacana pembaharuan Islam.
Pemikir Islam yang Rasional
Soekarno memang dikenal sebagai seorang pemikir Islam yang rasional. Bagi Soekarno, Islam adalah sebuah agama yang fleksibel dalam segala hal, kondisi, dan tempat. Benih-benih pemikiran Islam rasional yang dimilikinya tidak lepas dari pergulatan dan perenungan intelektualnya selama masa pembuangannya di Ende. Juga dari persentuhan pikirannya dengan tradisi berpikir rasional barat yang ia peroleh ketika berdiskusi dengan banyak tokoh nasional sewaktu tinggal di Surabaya bersama gurunya, Cokroaminoto.
Dalam masa pembuangan di Ende, Soekarno banyak mengahabiskan waktu untuk membaca, berdiskusi, dan bertukar kabar dengan kawannya A. Hasan, seorang guru Persatuan Islam (Persis) yang juga pengurus Muhammadiyah, dalam sebuah korespondesi yang kemudin kita kenal dengan “Surat-surat Islam Dari Ende” yang direkam secara baik dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
Soekarno juga sering berdiskusi dengan kalangan Agamawan dan beberapa tamu yang berkunjung ke rumahnya di Ende. Namun hal tersebut tidak membuat Soekarno merasa puas. Soekarno kerap mengritik para pemuka agama. Menurutnya, mereka terlalu “kolot” dengan menyandarkan segala pendapatnya hanya pada fikih.
Menurutnya, akal harus difungsikan untuk berpikir dan merenung. Sehingga tidak ada kecenderungan untuk taklid buta. Bila akal tidak digunakan secara maksimal, maka umat Islam akan terperangkap dalam taklid yang akan menjadi penyebab utama mundurnya Islam. Sebenarnya, pemikiranya ini sangat dipengaruhi oleh kedua tokoh pembaharu Islam dari Mesir yang menjadi idolanya, yakni Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Yang juga mempengaruhi salah satu mentornya, Ahmad Dahlan.
Dalam pandangan al-Afghani dan Muhammad Abduh, penyebab mundurnya umat Islam adalah karena merajalelanya sikap taklid buta dan kejumudan terhadap otoritas keagamaan tanpa disertai sikap kritis.
Islam Sontoloyo
Soekarno pernah ditentang oleh banyak kalangan dengan artikelnya yang berjudul Islam Sontoloyo pada tahun 1940 di majalah Panji Islam. Sebetulnya, tulisan itu adalah sebuah kritik atas perilaku pemeluk Islam yang memandang bahwa Islam hanya kumpulan fikih semata, namun minus adab (etika). Dalam tulisan tersebut, Soekarno mengritik perilaku seorang guru agama yang mencabuli muridnya yang masih gadis kecil. Tulisan tersebut adalah respon dari berita yang ia baca pada surat kabar Pemandangan.
Soekarno menganalogikan bahwa praktik Islam Sontoloyo adalah yang dilakukan oleh mereka yang mempermainkan agama dengan balutan baju fikih. Mereka ibarat orang yang main kucing-kucingan dengan Tuhan. Dengan kata lain, mereka dapat disebut mengelabui Tuhan.
Dalam tulisanya itu, beliau ingin menegaskan bahwa fikih bukanlah satu-satunya tiang dalam beragama. Justru tiang agama yang sesungguhnya adalah ketundukan jiwa kepada Tuhan. Tentu yang dikritik oleh beliau adalah fikih ibadah yang adalah rincian pokok seperti salat, puasa, dan sebagainya yang telah final. Melainkan tentang fikih kehidupan sosial (fikih muamalah) yang masih bisa ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman dan pada batasan tertentu.
Karena setiap zaman memiliki kompleksitas yang berbeda, di mata Soekarno fikih harus digunakan sesuai dengan zaman yang ada. Menurutnya menyamakan konteks yang dihadapi masyarakat dan ulama di masa lalu dengan masyarakat di zaman modern tidaklah fair.