Kemanusiaan sedang mengalami krisis global. Berbagai upaya digalakkan untuk memperlambat penyebaran pandemi Coronavirus. Negara-negara maju belum ada yang menemukan vaksin atas pandemi tersebut.
Dampak pandemi bukan hanya berpengaruh pada sistem ekonomi. Tapi juga sistem politik. Begitu juga sistem kebudayaan. Pandemi mempengaruhi bagaimana orang bertindak dan berinteraksi.
Beberapa waktu lalu, Yuval Noah Harari, seorang historian akbar, dalam ulasan singkatnya yang bertajuk the World After Coronavirus dalam Financial Times mencoba membuat analisis tentang tata dunia pasca Conoravirus. Ya, seluruh dunia sedang berupaya agar gelombang pandemi cepat berlalu. Lalu apa setelah itu? Pertanyaan ini yang berusaha dijawab.
Menurutnya, sebagian kita akan bertahan hidup. Tapi mereka akan menghuni dunia yang sama sekali berbeda. Sebuah dunia dengan tata yang baru. Dalam banyak aspek.
Dalam ulasan singkatnya, Harari mengajukan beberapa kata kunci untuk memahami dunia ke depan. Seperti pengawasan totaliter dan solidaritas global.
Tentang pengawasan totaliter. Apa yang akan dipilih oleh manusia jika diajukan dua hal, yakni privasi atau kesehatan? Pasca penyebaran pandemi Coronavirus, maka manusia akan memilih kesehatan. Kemanusiaan dengan suka rela akan menyerahkan privasi untuk ditukar dengan kesehatan. Padahal, privasi dan kesehatan adalah dua benda yang sangat penting untuk kemanusiaan.
Privasi dan kesehatan seharusnya adalah dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Karena dua hal tersebut seharusnya bisa didapatkan secara bersamaan. Keduanya adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun, kondisi mengharuskan kemanusiaan untuk membelah koin tersebut. Sehingga dua sisinya dapat berpisah. Badai pandemi memaksa kemanusiaan untuk memilih kesehatan dan mengabaikan privasi.
Di beberapa negara, utamanya negara maju, mereka bersedia memakai gelang biometrik untuk memantau kondisi mereka. Mulai dari suhu badan, tekanan darah, dan juga pergerakan mereka tiap detiknya. Pemantauan itu dilakukan selama 24 jam penuh.
Begitu pula dengan ponsel. Di beberapa negara, ponsel dilengkapi detector khusus untuk memindai hal yang sama. Mulai dari suhu badan dan juga aliran darah. Harari mengatakan, “….when your finger touched the screen of your smartphone and clicked on a link, the government wanted to know what exactly your finger was clicking on. But with coronavirus, the focus of interest shifts. Now the government wants to know the temperature of your finger and the blood-pressure under its skin….”
Dengan itu, penyebaran pandemi dapat diperlambat atau bahkan dicegah. Meskipun pengawasan ketat itu meluluh-lantahkan privasi. Singkat kata, teknologi memungkinkan kita untuk melewati krisis ini. Meskipun dengan mengorbankan privasi.
Kemajuan teknologi pengawasan, begitu Harari menyebutnya. Apakah ini akan mereda pasca meredanya pandemi? Tidak. Pandemi memberikan pengalaman traumatik yang mendalam bagi kemanusiaan. Karena itu, pengawasan yang ketat akan terus digalakkan pasca meredanya pandemi. Ini akan melahirkan otoritarianisme baru pasca pandemi. Manusia yang tersisa pasca pandemi akan hidup dalam dunia semacam ini.
Di akhir ulasannya, Harari juga menganjurkan masyarakat internasional untuk membangun solidaritas global. Pandemi melumpuhkan banyak hal, terutama ekonomi. Solidaritas global memungkinkan masyarakat internasional untuk bertahan melewati krisis. Begitu juga untuk membangun tata ekonomi pasca krisis. Menurut Harari, solidaritas global adalah kemungkinan paling baik daripada pengisolasian nasional.
Harari menuturkan bahwa, “The second important choice we confront is between nationalist isolation and global solidarity. Both the epidemic itself and the resulting economic crisis are global problems. They can be solved effectively only by global co-operation.”
Pertanyaannya, mungkinkah solidaritas global menjadi alternatif pasca pandemi? Dalam kondisi normal, solidaritas global sangat susah diupayakan. Namun krisis global adalah kondisi yang tidak normal. Kondisi yang tidak normal memungkinkan masyarakat internasional untuk berubah pikiran secara drastis.
Terus terang, apa yang disampaikan Harari cukup masuk akal. Utamanya dalam membangun strategi bertahan untuk menghadapi badai pandemi. Masyarakat internasional dapat saling bahu-membahu menghadapi krisis ini.
Negara-negara kaya dapat membantu negara berkembang yang tercatat dengan angka penyebaran pandemi tinggi. Pengalaman melawan pandemi bisa ditransfer dalam hitungan detik dari satu negara ke negara lain. Dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain.
Riset yang melibatkan masyarakat internasional, para ahli dari berbagai negara dapat dilakukan. Untuk penemukan vaksin pandemi. Ini adalah gerakan moral. Bukan lagi akumulasi kapital.
Pertanyaan selanjutnya, apakah otoritarianisme benar-benar akan menguat pasca pandemi? Apa yang disampakan Harari memang betul. Bahwa pengawasan ketat yang disokong dengan kemajuan teknologi membuka potensi menguatnya otoritarianisme. Namun, kita mesti arif dalam memahami situasi.
Masyarakat internasional jelas akan terus waspada pasca pandemi. Pengalaman traumatik itulah yang menggiring mereka pada pilihan tersebut. Namun, jika situasi mulai normal, siapa saja bisa meredam potensi menguatnya otoritarianisme. Terutama warga negara.
Ingat, potensi otoritarianisme kapanpun selalu ada. Termasuk dalam kondisi normal. Gejala otoritarianisme itu barang biasa. Tidak melulu menguat pasca Pandemi. Karena itu, melawan otoritarianisme baru adalah tugas populasi yang tersisa pasca pandemi.
Editor: Arif