Akhir-akhir ini kelakuan anak muda cukup membuat kita gerah dan gelisah. Mulai dari pamer aktivitas luar ruangan di story, Youtuber meremehkan pandemi, kerumunan pada penutupan McD Sarinah yang melanggar PSBB, sampai aksi iseng merendahkan transgender. Namun kali ini saya akan membawakan kisah tentang Solidaritas Pangan Magelang, salah satu gerakan anak muda yang patut dicontoh dalam pandemi Covid-19.
Solidaritas Pangan Magelang
Gerakan Solidaritas Pangan Magelang awalnya diusung beberapa anak muda. Anak-anak muda asli Magelang, namun kuliah di Jogja. Saat kuliah jarak jauh diterapkan mereka pulang, lalu tergerak untuk melakukan sesuatu ketika menyaksikan keadaan di sekitar mereka. Mereka terinspirasi dari gerakan serupa di Kendal, Jawa Tengah namun membentuk aksi solidaritas tanpa embel-embel organisasi manapun.
Harus diakui ada masyarakat yang terpukul secara ekonomi karena pandemi Covid-19 terutama para pekerja sektor informal, tak terkecuali di Magelang. Mereka antara lain tukang becak, kusir delman, hingga pedagang kecil di pasar dan terminal. Jangankan memenuhi kebutuhan, penghasilan untuk makan sehari-hari saja belum tentu mereka dapatkan. Karena alasan inilah anak-anak muda Magelang lalu berkarya sebisanya untuk kampungnya.
Awalnya, gerakan ini dilakukan untuk memberi makanan siap konsumsi pada orang-orang yang membutuhkan. Hitung-hitung memberi makan siang untuk mengurangi pengeluaran mereka. Lalu di bulan Ramadan gerakan diubah menjadi pembagian sembako, mengingat di siang hari mayoritas warga berpuasa.
Perlahan namun pasti, dalam sebulan bergerak mereka telah mengembangkan jaringan yang cukup besar. Kini, terhitung 39 orang dari berbagai kecamatan di Kabupaten maupun Kota Magelang bergabung dalam gerakan ini tanpa membedakan latar belakang. Intinya: berjuang sekuat tenaga, semampunya, untuk daerah mereka.
Sampai artikel ini dimuat, belasan juta rupiah donasi telah disulap menjadi bahan pangan bagi warga. Sekurang-kurangnya 230kg beras, telur, mie instan, sampai sayur-sayuran dibagikan di 14 kecamatan se-Kabupaten dan Kota Magelang, lebih dari setengah jumlah kecamatan (24). Ke depan, kontribusi ini masih akan terus bertambah.
Tantangan dan Bantuan Warga
Berjuang di tengah situasi pandemi yang tidak pasti membuat tantangan datang silih-berganti. Misalnya jika dilakukan pembagian sembako maupun makan siang di pasar atau terminal tentu akan menimbulkan kerumunan. Berlawanan dengan semangat physical distancing yang digaungkan segenap relawan.
Selain itu, jika pembagian dilakukan secara langsung ke kampung-kampung tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial. Mengingat tidak semua warga dapat terpenuhi kebutuhannya melalui Solidaritas Pangan Magelang.
Tak berhenti sampai di situ, fenomena masyarakat yang menggelitik sekaligus miris juga harus dihadapi anak-anak muda Magelang ini. Mereka berhadapan dengan fenomena warga yang “mangkal” di tempat-tempat tertentu. Bukan mangkal untuk bekerja, melainkan menunggu diberi bantuan oleh relawan ataupun donatur. Hal ini yang tak boleh dibiarkan karena membuat warga-warga tersebut tidak termotivasi untuk berusaha.
Mengatasi fenomena tersebut, kawan-kawan dari gerakan ini melakukan proyeksi ulang target aksi. Mereka menargetkan penyaluran bantuan by name, by address. Nama dan alamat penerima bantuan dihimpun oleh setiap anggota solidaritas bekerja sama dengan perangkat desa/RT-RW sekitar tempat tinggal. Hal ini diupayakan agar bantuan sebisa mungkin tepat sasaran dan mencegah kerumunan.
Pengalaman bergerak dalam solidaritas ini tentu tak terbatas pada tantangan, kesulitan, dan kelakuan masyarakat. Banyak juga simpati bahkan bantuan yang tak tanggung-tanggung dari masyarakat. Salah satunya dari komunitas petani bagian gunung yang menyumbangkan sayur-mayur dalam jumlah cukup banyak. Bagian belakang mobil Toyota Rush yang biasa dijadikan operasional sampai dipenuhi bantuan tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa gerakan meskipun kecil tentu akan menghimpun simpati masyarakat. Mengumpulkan fragmen-fragmen kepedulian yang berserak menjadi sebuah gerakan yang perlahan tapi pasti menjadi sangat berarti.
Keluar Rumah yang Diperbolehkan
Anak muda cukup gatal untuk keluar rumah dalam pandemi ini. Bagaimana tidak, biasanya mereka–juga saya–main ke mana-mana. Dari gunung sampai pantai. Dari mal sampai kafe-kafe. Dari jembatan sampai pinggir kali. Apalagi di bulan Ramadan, biasanya penuh dengan agenda ngabuburit dan buka bersama.
Tentu rasa ingin keluar rumah mau tidak mau harus ditahan dalam pandemi ini. Sebisa mungkin di rumah saja, hanya keluar saat darurat, misalnya menyetok bahan pangan mingguan. Hal ini demi mencegah penularan Covid-19 makin liar sekaligus berempati bagi tenaga medis yang mati-matian berjuang sampai kewalahan dan bertaruh nyawa.
Namun, jalan menjadi relawan seperti Solidaritas Pangan Magelang ini bisa dilakukan kalau memang benar-benar ingin keluar rumah. Tapi, ya, niatnya mesti diluruskan. Niatnya membantu masyarakat yang terpapar Covid-19 sehingga mengalami kesulitan. Pun harus mau berlelah-lelah, benar-benar berperan sebagai relawan, keluar rumah hanya bonus.
Anak muda yang menjadi relawan mau tidak mau beraksi di lapangan. Meskipun tentu tetap berusaha physical distancing dan melaksanakan protokol. Mereka menggerakkan donasi, mengambil stok sembako, memasak (jika makanan matang yang disiapkan), mendata sasaran pembagian, sampai menyalurkan ke warga yang membutuhkan.
Aksi-aksi seperti ini yang bisa dilakukan sebagai alternatif kalau mau ke luar rumah. Tapi, ya memang capek dan berisiko. Karena kita sedang sama-sama dalam keadaan susah, waktunya anak muda berjuang sebisanya, bukan hanya mau enaknya saja.