Perspektif

Mengapa Sikap Intoleransi Masih Terjadi di Indonesia?

4 Mins read

Pendahuluan

Membangun kesadaran toleransi dalam umat yang notabene multi-etnik, multi-budaya, dan multi-religi yang rawan konflik merupakan tantangan yang pelik. Secara historis, Indonesia mengalami problematika internal perihal mewujudkan toleransi dalam beragama. Seperti yang diketahui khalayak ramai, intoleransi sempat muncul di Indonesia. Salah satu momen yang terbesarnya, yaitu dalam kegiatan pemilihan presidan (Pilpres) tahun 2019.  Dalam problematika tersebut, agama diseret dalam permasalahan politik yang hampir menyeret umat Islam dalam masalah yang pelik.  

Data Kuantitatif dari Fenomena Intoleransi

Terdapat beberapa konflik di Indonesia yang mengatasnamakan agama dari tahun ke tahun.  Dalam kurun tahun 2011 hingga tahun 2015 jika dijabarkan terdapat beberapa kasus intoleransi antara lain, tahun 2011 sebanyak 267 kasus, tahun 2012 terjadi sebanyak 278 kasus, tahun 2013 terjadi sebanyak 245 kasus, tahun 2014 terjadi sebanyak 78 kasus, tahun 2015 sebanyak 190 kasus. Tidak cukup hanya itu, pada tahun 2016 Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM menyatakan bahwa intoleransi yang terjadi di Indonesia meningkat  (M. Ardini Khaerun Rijaal, “Fenomena Intoleransi Antar Umat Beragama Serta Peran Sosial Media Akun Instagram Jaringan Gusdurian Indonesia dalam Menyikapi Pesan Intoleransi”, 109).

Dilansir dari konferensi Pers Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2020, Romo Antonius Benny Susetyo, selaku Staf Khusus/Ketua Dewan BPIP menegaskan bahwa kasus intoleransi di Indonesia selalu meningkat, hal-hal seperti pendirian rumah ibadah, pelaksanan ibadah, radikalisme, dan pemakaman masih sering menjadi konflik antar masyarakat. Ketiadaan sikap saling hormat dan menghargai menjadi sebab utama dalam adanya intoleransi di Indonesia.

Polemik tersebut masih sering terjadi di Indonesia. pada tahun 2022, Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), mengungkapkan bahwa beberapa daerah di Indonesia mmasih sering terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan. Daerah tersebut antara lain Jawa Barat, NTB, Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Banda Aceh. Akan tetapi, yang tertinggi adalah Jawa Barat dengan 26 kasus intoleransi yang tercatat sepajang tahun 2022.

Baca Juga  Farid Esack: Pemikir Teologi Pembebasan dari Keluarga Miskin

Fundamentalisme sebagai Akar Intoleransi di Indonesia

Indonesia, yang mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam, juga didapati beberapa sekte yang mengedepankan sikap ekstrimis atau radikal sebagai gerakan yang menonjolkan semangat keagamaan. Sikap seperti ini didapati dari golongan yang kecenderungan mengambil fundamentalisme sebagai pondasi ajaran mereka. Sikap fundamentalis sendiri merupakan sikap yang menunjukkan perlawanan terhadap modernitas, sekulerisasi, dan tata nilai Barat, serta terhadap pluralisme. Gerakan Islam dengan model seperti itu terdoktrin dari spirit gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jama’at Islamiyyah di Pakistan (Hadi Masruri, dkk, Memutus Mata Rantai Ekstremisme Agama, 52-53).

Gerakan Islam radikal di Indonesia sendiri sudah muncul sebelum pemerintah memberikan aspirasinya terhadap gerakan tersebut. Abdurrahman Wahid dan Ulil Abshar Abdalla menjadi tokoh yang melopori pewaspadaan terhadap gerakan Islam radikal yang sudah marak di berbagai negara.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa bentuk gerakan radikal di Indonesia yang pernah eksis di Indonesia. Mereka diindikasikan penganut paham fundamenalisme, yaitu Hibut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Islamiyah (JI), Ikhawanul Muslimin, dan Salafi-Wahabi. Walaupun beberapa telah dibubarkan oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka menjalankan secara tertutup.

Radikalisme Islam terbentuk dari ideologi fundamentalis yang memperlihatkan realisasi dari ajaran yang mereka yakini. Ideologi seperti itu menggiring mereka untuk memilih jalan kekerasan terhadap apa-apa yang mereka anggap menganggu dan mengotori ajaran mereka. Kemudian, dari gerakan inilah muncul stigma negatif dari masyarakat lain, khususnya dunia Barat. Mereka menjustifikasi Islam secara keseluruhan sebagai agama yang radikal dan intoleran.

 Islam Sebagai Pelopor Toleransi di Indonesia

Hidup dengan rasa kebersamaan terimplementasikan nilai-nilainya dalam ayat Tuhan, tepatnya QS. al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi,

Baca Juga  Bagaimana Cara Menjadi Kritis Sekaligus Humanis?

  يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Secara jelas dalam ayat tersebut Islam mengajarkan pemeluknya untuk saling mengenal, baik antar suku, bangsa, maupun agama. Hal ini guna untuk memupuk semangat solidaritas, kesadaran kolektif antar umat dalam satu wilayah. Dari sudut pandang Islam pun, proses keberagamaan bukan termasuk dalam kekuasaan manusia. Hal itu secara eksplisit tertera dalam QS. al-Baqarah, “Tidak ada paksaan dalam beragama”.

Catatan historis mengatakan, bahwa kota Nabi, yaitu Madinah, merupakan daerah dengan kemajemukan yang luas. Selain itu, kota Nabi itu juga memiliki visi dan misi semangat keadaan yang terbuka, toleran, menghargai keimanan seseorang. Sehingga sangat gencar dalam pembangunan relasi sosial, ekonomi, dan politik yang sehat dan bijak. Rasulullah dalam praktiknya juga telah memberikan pelajaran penting dalam kehidupan plural yang kembali kepada ajaran etis kebebesan beragama dalam Al-Qur’an (Anas Urbaningurim, Islam dan Hak Asasi Manusia: Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, 188-189).

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, bahwa beragama adalah hak murni dari setiap makhluk. Tidak ada seseorang pun yang memiliki wewanang untuk mengatur, menghegomoni, dan memaksa seseorang untuk memluk suaut agama. Dikutip dari perkaatan ibn Taimiyah, dijelaskan olehnya bahwa merupakan fitrah yang diwahyukan (fitrah al-munazzalah), yang dihadirkan oleh Tuhan untuk memperkuat apa yang secara alami ada di dalam diri manusia. Dalam kata lain, agama merupakan kelanjutan dari nature sebagai seorang manusia sendiri.

Baca Juga  Soedjatmoko dan Ramalan 2020

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kesimpulan awal yang bisa dipetik adalah bahwa agama merupakan fitrah Tuhan yang tidak bisa diganggugugat oleh siapapun. Argumen tersebut bisa menjadi titik tolak umat Islam untuk mampu membangun kesadaran dalam perbedaan, khususnya dalam ranah agama.

Jika umat Islam tidak bisa secara maknawiyah memahami hal tersebut, kemudian mengedapan kebenaran agamanya, maka yang terjadi adalah gerakan radikal yang mengupayakan orang lain untuk masuk dalam agamanya.

Kendati demikian, umat Islam tidak semena-mena memberhentikan perjuangan dakwahnya, walaupun kita yakini bahwa agama sifatnya given. Setiap agama pasti memiliki prinsipnya tersendiri dalam mendakwahkan ajaran agamanya kepada umat manusia. Di samping itu, Islam juga mengenal adanya batasan-batasan tertentu dalam melaksanakan dakwah, dengan tetap mengedepankan adanya hidup yang berkerukunan.

Justru Islam perlu mempelopori semua agama untuk mewujudkan kedamaian, yang mana hal itu juga menjadi misi peradaban. Dakwah dengan memegang nilai-nilai toleransi menjadi inovasi yang patut dikembangkan dan diimplementasikan.

Editor: Soleh

Mahfudhin
13 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *