Falsafah

Spat-Kapitalismus: Tertindas, tapi Tak Merasa Tertindas

3 Mins read

Spat-Kapitalismus

Herbert Marcuse, atau dikenal sebagai “Bapak Kiri Baru” adalah seorang anggota dari Sekolah Frankfurt yang memberi pengaruh besar kepada gerakan kiri tahun 1960-an. Sama seperti Anggota Sekolah Frankfurt lainnya, Marcuse menggunakan teori kritis untuk mengupas realitas dan membongkar kepalsuan serta kebohongan dari realitas tersebut.

Salah satu hal yang dibongkar oleh Marcuse adalah bagaimana kelicikan kapitalisme di era modern. Setelah Perang Dunia Kedua selesai, kapitalisme bertransformasi dari awalnya yang selalu meredam pergerakan kelas pekerja secara represif, menjadi lebih humanis kepada kelas pekerja dengan cara memberikan tunjangan, bonus gaji, serta jaminan kesehatan.

Kapitalisme yang seperti ini atau sering disebut oleh Marcuse sebagai Spat-Kapitalismus (Kapitalisme Lanjut) sekilas nampaknya bersifat baik, dan memikirikan kesejahteraan kelas pekerja.

Namun, apa yang dilakukan oleh Spat-Kapitalismus pada dasarnya hanya berorientasi pada tujuan mereka sendiri dan tak memikirkan perkara kesejahteraan kelas pekerja.

Apa yang dilakukan oleh Spat-Kapitalismus, sebenarnya adalah usaha-usaha untuk mengurangi ketegangan pertentangan kelas, dan membuat kelas pekerja merasa bahwa kehidupan mereka sudah sejahtera karena sistem Kapitalisme.

Banyak kelas pekerja lupa, bahwa mereka masih menjadi alat bagi Kapitalisme, dan masih terus dieksploitasi tenaganya oleh Kapitalisme demi keuntungan sendiri.

Selain itu, kelas pekerja juga diberi akses untuk menikmati apa yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan borjuis seperti produk mewah, hiburan, serta gaya hidup ala borjuis.

Kelas pekerja dinina-bobokkan dan tidak sadar, bahwa cara-cara seperti itu adalah upaya halus dari Spat-Kapitalismus untuk meredam pergerakan mereka. Dan hal inilah yang disebut Marcuse sebagai “Desublimasi Represi”.

Spat-Kapitalismus yang Membunuh

Kemudian Marcuse juga membongkar bagaimana Sistem Spat-Kapitalismus menindas masyarakat dengan cara membunuh salah salah satu dari dua dimensi yang dimiliki masyarakat. Pembunuhan dimensi ini menurut Marcuse melahirkan sesuatu yang ia sebut sebagai “Masyarakat Satu Dimensi”.

Masyarakat normalnya memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi afirmatif, di mana masyarakat menyetujui serta mendukung realitas yang terjadi untuk tetap stabil, dan tidak ingin mengkritik, memprotes, ataupun mendobrak realitas tersebut.

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Membicarakan Pendidikan?

Sedangkan dimensi yang kedua, disebut dimensi kritis. Di mana dalam dimensi ini, masyarakat bersikap kritis, menentang, serta berusaha mendobrak realitas mapan yang telah ada. Dimensi kritis inilah yang dimaksud Marcuse sebagai dimensi yang mati dari Masyarakat Satu Dimensi.

Melalui media,masyarakat digiring untuk terus bersikap afirmatif kepada Spat-Kapitalismus. Masyarakat digiring untuk memiliki pandangan bahwa sistem Spat-Kapitalismus inilah yang paling baik dan rasional bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat akhirnya tidak memiliki daya kritis, dan menerima apa saja dari media tanpa ada proses pemahaman yang baik.

Media Mengkonstruksi Masyarakat

Sebagai contoh, media melalui tayangannya terus mengkonstruksi realitas mengenai standar hidup, di mana standar hidup yang baik menurut media adalah standar hidup yang mengacu kepada lifestyle para borjuis. Seperti memiliki kendaraan pribadi dengan merk tertentu, memiliki telepon genggam ber-merk tertentu, dan lain sebagainya.

Masyarakat Satu Dimensi akan menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media tanpa berpikir kritis terlebih dahulu. Apabila ada seseorang tidak bisa memiliki sesuatu yang dikatakan oleh media tadi, maka masyarakat akan menganggap orang tersebut sebagai orang yang belum mencapai standar hidup yang baik.

Masyarakat satu demensi tidak sadar, bahwa sebenarnya mereka sedang dijadikan target pasar oleh Spat-Kapitalismus untuk menjual produk-produk dari mereka.

Masyarakat tersebut juga tidak sadar, bahwa apa yang dilakukan media tadi juga merupakan bentuk dari desublimasi represif di mana kelas pekerja diberikan akses untuk mendapat produk-produk yang sama seperti para borjuis.

Pada akhirnya, masyarakat bersikap afirmatif terhadap standar hidup tersebut, menjadi konsumtif, dan membuat lupa bahwa mereka sebenarnya sedang tertindas oleh sebuah sistem bernama Spat-Kapitalismus. Mereka sibuk mengejar “kebutuhan palsu” alias produk-produk yang dibawa oleh Spat-Kapitalismus itu sendiri.

Baca Juga  Lima Stigma yang Membuat Filsafat Sering Disalahpahami

Dari sini, sudah sebaiknya kita mulai intropeksi diri, membuka perspektif baru dan mulai bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah kita merupakan bagian dari Masyarakat Satu Dimensi? Apakah kita sudah benar-benar bebas dari ketertindasan? Ataukah sebenarnya selama ini kita tertindas oleh Spat-Kapitalismus namun kita tidak pernah menyadarinya?

Apakah keinginan kita untuk memiliki suatu produk tertentu murni karena kebutuhan kita? Ataukah keinginan itu berangkat dari perasaan ingin terlihat “hebat” dan sesuatu yang “hebat” itu merupakan hasil konstruksi dari Spat-Kapitalismus?

Pertanyaan-pertanyaaan yang semacam itu perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri, untuk membongkar realitas, dan menemukan apakah ada kebohongan maupun kepalsuan yang selama ini tidak pernah kita sadari. Menurut Marcuse, kita bisa belajar dari cara kerja seniman yang mampu membebaskan diri dari segala kepalsuan realitas.

Seniman mampu menghasilkan suatu karya yang murni dari dirinya sendiri tanpa ada intervensi persepsi dari orang lain. Seniman bisa tetap bekerja menghasilkan uang, serta mendapatkan kesenangan tanpa menindas dirinya sendiri. Menurut Marcuse, apapun yang kita kerjakan, apapun yang kita lakukan, seharusnya membuat kita bebas, bukan tertindas.

Editor: Yahya FR

Muhammad Ibnu Majah
4 posts

About author
Mahasiswa Strata-1 Fakultas Ilmu Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Program Studi Ilmu Komunikasi
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds