Perspektif

Spesies Pembuang Sampah

4 Mins read

Oleh : Al Bawi*

Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Peringatan ini sebenarnya berawal dari tragedi yang terjadi di  Leuwingajah, Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 21 Februari 2005 silam. Sebuah peristiwa naas akibat curah hujan yang tinggi di mana terjadi ledakan gas metana pada tumpukan sampah yang berakibat 157 nyawa melayang.

Bom Waktu

Sampah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja apabila terhimpun terlalu banyak menjadi gas metana atau yang disebut dengan hidrokarbon dengan rumusan kimia CH4. Metana sendiri merupakan gas rumah kaca yang utama dengan potensi menyumbang pemenasan global 25 kali lebih besar dari CO2 dalam periode 100 tahun.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi peringatan tragedi ini menjadi gerakan nasional yaitu hari peduli sampah nasional. Sebuah gerakan untuk seluruh lapisan masyarakat untuk peduli terhadap sampah.

Kendati demikian ada persoalan menarik, masyarakat biasa diajak terus menerus untuk selalu menghemat plastik. Bahkan sudah banyak kepala daerah memberlakukan Perda tentang larangan membawa kantung plastik. Tetapi pemerintah kurang tegas kepada korporasi yang terus memproduksi plastik setiap produk mereka.

Bahkan, pihak korporasi menyodorkan iklan tentang lingkungan hidup untuk menjaga alam padalah produsen sampah plastik ada apa mereka. Tetapi masyarakat biasa yang diminta untuk terus menjaga lingkungan sedangkan para pengusaha itu tidak menerapkan gaya hidup ekologis (eco-living).

Etika Peduli

Dalam peringatan ini, ada kata menarik yang menjadi narasi ajakan untuk seluruh umat manusia yang ada di Indonesia yaitu kata “Peduli”. Narasi yang tepat dibangun oleh KLHK untuk mengajak kita semua untuk peduli terhadap sampah. Sampah sering menjadi musuh manusia karena berbau busuk yang sebenarnya yang menciptakan sampah itu sendiri adalah manusia. Karena faktor busuk tadi sampah dihindari bahkan dibuang begitu saja tanpa memandang dampaknya.

Baca Juga  Rahasia Tayamum Perspektif Al-Qur’an dan Sains

Dalam kajian ethic of care atau kajian etika kepedulian bagian dari mencegah arogansi manusia terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Kajian ethic of care tidak mesti mendapat kajian akademik. Barangkali bisa saja yang mengkaji secara akademik tidak merasakan bagaimana sebuah kepedulian tersebut. Tetapi yang terdekat dalam situasi tersebut itulah yang menjadi sumber spirit ethic of care.

Kerangka ethic of care kita kerucutkan kepada ranah ekologis terutama berkaitan dengan hari peduli sampah ini. Yang bisa kita mulai dengan bagaimana kita (manusia) mempunyai ethic of care untuk membentuk sebuah ekosistem yang berkelanjutan. Dalil yang dibangun bukan kita berlajar secara metodelogis ekologis sehingga kita menjadi pro-lingkungan justru sebaliknya karena adanya panggilan nurani dari sebuah peradaban yang memaksa kita untuk peduli terhadap lingkungan dan memberbaiki konstruksi justice.

Teoritical ekologis bisa di elaboraksikan dalam praktik kerja dalam menumbuhkan kepedulian tersebut. Bahkan Vandana Shiva seorang aktivis ekofeminis dari india mengatakan kolonialisme lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisme baru merampas seluruh kehidupan. Dari aspek ini merupakan gambaran penting bahwa membangun kepedulian terutama dalam persoalan sosio-ekologis menjadi persoalan global yang menyangkut hajat hidup seluruh manusia.

Ethic of care adalah etika yang hadir bukan untuk menjadi solusi final tetapi jalan menuju solusi atas semua problematika kehidupan. Ethic of care juga menjadi rujukan untuk memunculkan keadilan. Dari realitas ini manusia di tuntut untuk memproduksi sebuah kepedulian terhadap ekosistem, sehingga menjadi kompatibel dalam mewujudkan etika lingkungan.

Spesies Homo Sapiens

Spesies makhluk hidup yang hanya satu jenis hingga sekarang, salah satu makhluk hidup yang langka namun mempunyai sifat antroposentris. Merasa memiliki kekuatan dan kedudukan absolut atas seluruh alam semesta. Setidaknya dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain yang memiliki tingkatan takson dalam klasifikasi kingdom, filum, kelas, ordo, famili, genius dan terkahir spesies.

Baca Juga  Covid-19, Pendidikan, dan Literasi Lingkungan

Homo sapiens atau manusia saat ini mejadi predator ekologis yang masif. Mulai dari kejahatan tambang hingga kejahatan yang terjadi di meja makan. Sebuah pemaknaan yang tepat menggambarkan bagaimana penindasan terjadi di atas meja makan.

Mulai dari sayuran yang dibeli tidak organik mengandung senyawa kimia yang mengancam kedaulatan tanah hingga penumbuhan paksa terhadap makhluk hidup yang disebut dengan tumbuhan. Kemudian lauk yang hadir di meja makan kita adalah hewani hidup di air maupun di darat yang kebanyakan dari mereka memakan sampah-sampah yang kita buang begitu saja di lautan mapun di daratan. Makhluk hidup hewan ini tidak dikarunia akal seperti manusia sehingga apa saja yang terlintas mereka makan.

Bahkan hari ini ada banyak pemeberitaan menyebutkan bahwa banyak ikan yang mati akibat mereka memakan sampah plastik yang kita buang begitu saja. Pada akhirnya ketika kita tidak menghabiskan makanan yang hadir di meja makan maka mereka bertransformasi menjadi kumpulan makanan busuk atau kita sebut dengan sampah.

Relasi manusia dengan sampah terjadi setiap hari. Spesies ini terus memproduksi sampah dengan total 66-67 juta ton pada tahun 2019 yang dimana sampah di Indonesia mengalami peningkatan tiga juta ton dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 64 juta ton. Sebuah benda yang tak hidup membusuk di Bumi Pertiwi sebanyak 67 juta ton.

Hal ini menunjukkan perlunya kesadaran dan kepedulian manusia sebagai makhluk hidup yang populasinya semakin banyak dibandingkan dengan makhluk hidup lain. Di mana makhluk hidup lain mengalami kepunahan mulai dari rampasan lahan kehidupan fauna sampai kepada kepunahan flora.

Evaluasi Manusia

Manusia sebagai pemilik akal yang di karuniai oleh Allah SWT harus berupaya membangun penyelamatan. Oleh Karena itu, merupakan agenda mendesak untuk menyingkirkan pola pembangunan yang hanya berorientasi pada kapital serta menafikan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Peradaban-peradaban terdahulu lenyap, hancur, dan runtuh lantaran eksistensinya tak mengindahkan relasi erat antara Tuhan, manusia, dan alam. Peradaban-peradaban zaman dahulu, bukannya tak pernah maju.

Baca Juga  Otoritarianisme: Awal Mula Terjadinya Arab Spring di Tunisia dan Libya

Mereka sudah memiliki teknologi, membangun gedung-gedung dan istana-istana di darat dan di gunung-gunung yang dipahat. Lantaran hasrat untuk menguasai alam yang begitu besar inilah mereka lupa bahwa manusia merupakan penjaga (khalifah) alam—yang tanpanya mereka tak bisa hidup.

Tidak hanya itu tetapi kerusakan ekologis yang terjadi akibat sampah menjadi kendala mendesak yang harus diselesaikan oleh para perusak yaitu manusia. Karena pada faktanya hanya manusialah yang membuang sampah dan memproduksi sampah. Bukan makhluk hidup yang lain.

*) Pimpinan Pusat IPM & Kader Hijau Muhammadiyah Komite DIY

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds