Tema ini sebenarnya adalah tema diskusi online yang dilaksanakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Kabupaten Bantaeng. Sekedar diketahui bahwa Kabupaten Bantaeng adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulaewesi Selatan. Ada beberapa alasan sehingga tema tersebut saya tawarkan kepada panitia.
Beberapa alasan di antaranya: pertama, untuk beberapa survey yang pernah dilaksanakan oleh lembaga yang kompeten, Indonesia seringkali menempati posisi yang memprihatinkan dalam hal tingkat literasi (baca tulis). Termasuk tentang kecendrungan minat generasi muda dalam laku kesehariannya, persoalan membaca berada pada posisi terendah dibandingkan seperti minat olahraga dan hiburan.
Kedua, sebagaimana pernyataan Haedar Nashir ̶ Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ̶ dalam merespon reuni 212, “mengumpulkan orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”, (Arif S Yudistira, 2018).
Ketiga, perkembangan teknologi informasi dan pergeseran paradigma dalam wacana politik ekonomi kapitalisme global, terjadi transformasi dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Dan dalam locus (ruang) dan tempus (waktu) kehidupan inersia, hoax dan informasi yang bernuansa making fun diproduksi dan direproduksi.
Literasi berdasarkan sumber Wikipedia adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari – hari. Spirit literasi, bagi saya berarti bagaimana menjadikan literasi, kemampuan membaca, menulis dan keterampilan lainnya menjadi spirit atau energi dan cahaya dalam mengarungi kehidupan.
Terkait spirit literasi, dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam, ada banyak indikator yang bisa menjadi spirit. Islam memiliki kontribusi besar dalam peradaban Barat baik dalam bentuk peninggalan berupa perpustakaan, Bait Al-Hikmah maupun ilmuwan Muslim, seperti Al – Kharizmi, Ibnu Sina, Al-Adrisi, Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi termasuk tokoh Muslim kontemporer seperti Mohammad Arkoun.
***
Literasi yang dangkal dan spirit literasi yang lemah, berkontribusi secara signifikan terhadap matinya kepakaran dan termasuk kesulitan membendung arus negatif dari kehidupan Inersia. Dan sebaliknya kehidupan inersia semakin memperburuk spirit literasi dan bahkan sampai pada tesis Tom Nichols, “matinya kepakaran”.
Dalam buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols, saya menemukan bahwa apa yang dimaksud dengan matinya kepakaran adalah ketika sejumlah pertanyaan – pertanyaan, narasi terutama yang relevan atau bersangkut paut dengan hajat hidup orang banyak dijawab bukan hanya oleh pakar dan/atau yang memiliki otoritas, melainkan oleh orang awam sok tahu atau tokoh, influencer millennial. Dan justru mereka lebih dipercaya dan diikuti daripada para pakar dan pemilik otoritas.
Kondisi hari ini, dengan wabah covid-19, hal yang relevan dengan matinya kepakaran bisa ditemukan dalam laku keseharian, baik berdasarkan yang kita temukan dari media sosial maupun dalam realitas empiris. Salah satu contoh ketika Pemerintah dan MUI mengeluarkan kebijakan, fatwa dan anjuran untuk tidak shalat jum’at sementara waktu, ternyata masih banyak yang belum mengikuti.
Ada juga yang lebih percaya pada argumen dan pandangan yang sumber dan kebenarannya tidak valid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh tentang video yang viral bahwa suara adzan bisa membunuh virus corona, dalam otoritatif ilmu pengetahuan ini belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Kondisi tingkat literasi yang dangkal dan spirit literasi yang lemah, salah satu faktor yang menyebabkan sehingga matinya kepakaran menjadi fakta yang sulit terbantahkan, meskipun bukan dalam pengertian bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi terus dilahirkan begitupun pakar semakin bertambah. Melainkan bahwa mereka tidak lagi menjadi rujukan utama. Kondisi ini diperparah dengan kehidupan Inersia.
Kehidupan Inersia adalah hasil transformasi dari kondisi kehidupan sebelumnya, yang dikenal dengan kehidupan ekspansif. Membaca buku Dunia yang Dilipat karya Yasraf Amir Piliang (2011), saya menemukan dan menyimpulkan bahwa transformasi kehidupan ini, terjadi karena beberapa faktor antara lain:
***
Pertama, kehidupan hari ini yang disebut revolusi industri 4.0, era digital atau dalam pandangan Yasraf menyebutnya era pasca industri, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Kedua, pergeseran paradigma dalam wacana politik ekonomi kapitalisme global dimana kecepatan selain menjadi ukuran kemajuan, juga menjadi paradigma sosial, politik , ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer.
Ketiga, sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dari Paul Virilio dari buku karyanya Speed & Politics, Semiotixt(e) (1986:13) bahwa “Diam berarti mati”. Apalagi sebagaimana telah diuraikan Yasraf bahwa “dalam wacana politik, sosial dan budaya kapitalisme global kekuasaan tidak lagi bersumber dari apa yang disebut oleh Michel Foucault sebagai power/knowledge, akan tetapi juga power/speed” (2011:82).
Untuk memahami seperti apa yang dimaksud dengan kehidupan Inersia, Yasraf mengutip pernyataan Virilio dari Artikelnya, “The Las Vehicle, eksistensi manusia di dalam wadah dan ruang mengalami perubahan mendasar, dari sebentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat sebagai satu kutub inersia”.
Atau secara sederhana saya memahami bahwa kita sedang berada dalam kondisi kehidupan dimana kita, diri kita sebagai subjek menjadi bagaikan pusat orbit yang dikelilingi oleh benda angkasa, atau dalam pengertian kita sedang dikitari oleh silih berganti berputar informasi, tontonan, berita, tips, dan lain – lain.
Jauh sebelum hari ini, ketika teknologi informasi belum berkembang pesat maka ketika mendapatkan informasi maka respon kita akan mencari sumber informasi yang valid atau mendatangi tempat kejadian perkara untuk menggali informasi dari dekat. Ini yang disebut dengan kehidupan ekspansif. Terjun langsung dalam ruang dan waktu.
Hari ini ketika ketika kita mendengar informasi, maka ada kecendrungan untuk tidak bertabayyun dan mengandalkan informasi yang beredar di media sosial sebagai satu –satunya sumber informasi yang sumber dan kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini yang disebut dengan kehidupan inersia.
***
Namun yang harus ditegaskan dan dipahami bahwa kehidupan inersia selain cenderung memberikan dampak negatif, terutama sebagai ruang produksi dan reproduksi hoax, tetap memiliki dampak positif. Realitas konkret daripada dampak positif dari kehidupan inersia, itu adalah dalam dunia politik, bisnis dan ekonomi.
Pada pemilu 2019 kemarin jika ditarik garis relasi dengan kehidupan Inersia. Sebagai satu contoh realitas konkret. Ada partai ataupun ada elit partai, calon legislatif, mendulang suara pemilih bukan dengan cara melakukan kampanye secara konvensional dari rumah ke rumah, atau face to face dengan masyarakat (calon pemilih) melainkan menggunan secara massif pemanfaatan media sosial.
Jadi aktor politik tersebut, hanya berdiam di rumah bisa memaksimalkan proses memersuasi pemilih dengan menggunakan perangkat teknologi digital dan media sosial. Ini manfaat positif dari kehidupan inersia. Ada pebisnis atau toko online lebih mampu meraup keuntungan lebih banyak daripada toko konvensional atau bahkan Mall konvensional.