Sangat naif bila mengatakan pendidikan kita saat ini telah memiliki orientasi yang jelas serta selaras dengan kebutuhan kita. Buktinya sederhana saja. Setiap tahun diskusi mengenai pendidikan selalu berkisar di antara masalah-masalah ‘langganan’.
Di antara masalah-masalah itu, dapat kita sebut beberapa yang paling menonjol. Mulai dari merosotnya moral dan karakter pelajar, besarnya angka anak putus sekolah, disparitas kualitas pendidikan kota-desa atau pusat-daerah, hingga kesenjangan antara besaran dana pendidikan yang diserap dalam pembangunan dibandingkan dengan minimnya luaran yang dihasilkan.
Orientasi Ekonomi dan Pendidikan Mekanistik
Semua itu terjadi karena pendidikan kita sebetulnya masih bertumpu kepada orientasi ekonomi semata. Konsekuensinya, pendidikan selalu mempertimbangkan sejauh mana investasi yang dialokasikan dapat menghasilkan profit setinggi-tingginya. Demi profit maksimum, orientasi ekonomi bekerja secara pragmatis. Asalkan untung cara apapun dihalalkan tanpa peduli betul pada prosesnya.
Masalahnya pula dalam orientasi ekonomi kesenjangan dipandang sebagai suatu kenormalan. Sebabnya, ekonomi membutuhkan modal. Siapa yang memiliki modal terbesar pastilah mendapat akses pendukung belajar terbaik. Sedangkan mereka yang miskin berjuang dengan apa yang sekolah atau negara mampu berikan. Hal ini mengakibatkan jarak di antara keduanya terus melebar tak terbendung.
Pendidikan dalam orientasi ekonomi bersifat mekanistik. Sekolah dan universitas hanya akan jadi pabrik pencetak teknokrat baru. Produk pendidikan ini adalah para manusia yang hanya berpikir bagaimana agar keterampilan mereka dapat digunakan, atau bagaimana cara mereka untuk bertahan dan unggul dalam persaingan. Mereka tidak diajari memaknai kehidupan, sehingga mental mereka mudah kehilangan keseimbangan.
Kepala sekolah dalam pendidikan mekanistik sama halnya seperti kepala pabrik yang selalu berpikir ’Kemana produk ini akan laku terjual?’. Karenanya sejak awal sekolah sudah melakukan sortir. Utamanya hal itu agar sekolah tidak menanggung beban berat produksi pada siswa yang perlu banyak perbaikan. Juga demi mempertahankan label sekolah ‘unggul’, yang bermakna ‘sekolah yang paling banyak dalam menyisihkan’.
Selain itu sesungguhnya pendidikan mekanistik hanya menciptakan mesin-mesin, bukan insan. Paling tinggi, mereka ini hanya setara dengan seekor sapi. Sapi yang dicokok hidungnya, berjalan kemana saja tali kekang ditarik. Sapi yang bekerja di masa muda, dan di jagal di masa tua. Tidak lebih dari itu.
Kalaupun mau jujur sesungguhnya kita sudah terlambat. Sebab, hasil-hasil dari pendidikan mekanistik itu telah berbuah lebat. Sapi-sapi hasil produksinya, kini telah menjadi insinyur, kepala daerah hingga bahkan seorang guru. Mereka ini telah menjadikan pendidikan mekanistik sebagai common sense, suatu keyakinan umum yang taken for granted.
Dibutuhkan suatu orientasi baru pendidikan selaku obat penawar yang menyasar jangka panjang. Sebab, pendidikan bukan seperti memasak mie instan yang bumbu jadinya telah tersedia. Manusia tidak demikian. Mereka unik, namun memiliki fitrah yang juga harus dipenuhi. Pendidikan mekanistik gagal memahami itu.
Spirit Profetik
Pendidikan idealnya dapat memenuhi dua kebutuhan utama masyarakat. Yang pertama, pendidikan mempersiapkan insan-insan yang dapat mengembangkan peradaban menjadi lebih maju dalam teknologi dan estetis dalam seni-budaya namun tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan juga harus mampu menjembatani manusia dengan Tuhan sebagai pemilik nilai-nilai universal. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan yang profan tidak akan pernah cukup. Jika hanya mengandalkan kemanusiaan, manusia akan terjebak pada individualisme dan saintisme sehingga kembali kepada orientasi ekonomi yang pragmatis tadi.
Sebagai gantinya, kita membutuhkan satu orientasi baru dalam pendidikan. Orientasi yang mampu menjadi kerangka berpikir dan kerangka aksi alternatif bagi pendidikan di era neoliberal seperti saat ini. Adapun orientasi itu berpijak pada satu spirit ilmu sosial baru yang kita kenal dengan spirit profetik.
Profetisme merujuk kepada sejarah praksis dan kesadaran akan transformasi sosial yang terinspirasi wahyu. Hal ini sebagaimana para nabi utusan Tuhan hadir di muka bumi untuk memberitakan pesan-pesan dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya. Para nabi itu tidak sekedar merapalkan ayat seperti merapal mantra. Mereka menghidupkan ayat, dengan mewujudkannya dalam tindakan nyata.
Para nabi juga hadir dengan tiga misi pokok universal yang setarikan nafas dengan pembinaan kognisi dan moral masyarakat. Misi itu adalah liberasi atau pembebasan manusia dari segala kekangan, humanisasi atau emansipasi serta persamaan hak semua umat manusia di hadapan Tuhan tanpa peduli apapun latar belakang mereka, juga transendensi atau terbimbingnya nalar oleh suatu kesadaran ilahiah.
Konsekuensinya, pendidikan dengan spirit profetik memiliki orientasi yang sama sekali berbeda dengan pendidikan mekanistik. Pendidikan mekanistik memasung kebebasan atas nama standarisasi, sedangkan pendidikan profetis-liberatif menciptakan ruang-ruang berfikir. Transmisi menjadi penting pada pendidikan jenis pertama, sedangkan dialog dan refleksi kritis adalah kunci pada jenis pendidikan kedua.
Pendidikan Mekanistik VS Profetik
Sementara pendidikan mekanistik mencetak manusia mesin, pendidikan profetik-humanis membantu manusia ‘terlahir kembali’. Jika yang pertama sekadar menggandakan sejenis manusia berdasar suatu prototype, yang kedua membangun kesadaran autentik dan memaksimalkan potensi rasio serta intuisi. Manusia-manusia profetik adalah manusia yang merebut kembali apa yang menjadi kodrat mereka.
Pada pendidikan mekanistik manusia mengagungkan diri sebagai Tuhan. Sehingga, mereka lupa akan hakikat kehadiran mereka di muka bumi selaku penerus misi-misi kerasulan. Sedangkan dalam pendidikan profetik-transendental manusia bekerja atas dasar pemenuhan kewajibannya. Manusia merendahkan ego untuk menghayati dan mengeksekusi tugas langit yang mereka emban.
Pendidikan profetik juga menanggung relasi yang berbeda antara para aktor pendidikan. Pendidik profetik belajar dengan peserta didik, sementara pendidik mekanistik mengajar kepada peserta didik. Jika yang pertama pendidik melebur bersama peserta didik dan menghasilkan kolaborasi, yang kedua membangun jarak dan hierarki sehingga mengukuhkan struktur dominasi.
Pengelolaan pendidikan profetis juga jelas berlawanan dengan pendidikan mekanistik. Alih-alih menciptakan setumpuk borang akreditasi yang menjadi beban administrasi, pendidikan profetis memberi keluwesan sehingga memperluas kesempatan guru-murid berkreasi. Guru dan murid seperti seniman dengan dunia sebagai kanvas tempat mereka membangun imajinasi dan inspirasi.
Namun, yang paling penting adalah orientasi akhir dari pendidikan itu sendiri. Bila pendidikan mekanistik mendahulukan hasil akhir dan menciptakan fragmentasi, maka pendidikan profetik menjadikan belajar sebagai proses berkesinambungan sekaligus dinamis. Belajar bukan sekedar menumpuk pengetahuan dan hebat di ujian, tapi soal mengasah kepedulian dan memberi kontribusi dalam kehidupan.
Mengetahui hal-hal tersebut di atas, maka sesungguhnya sudah purna pemahaman kita mengenai urgensi untuk mereorientasi pendidikan kita dengan spirit profetik. Kita tahu, kompas pendidikan yang selama ini kita rengkuh tidak memenuhi kebutuhan kita akan penciptaan generasi manusia yang berkemajuan dan ‘utuh’.
Tinggal sekarang kembali kepada kita. Apakah bersedia meneguhkan komitmen kita atas pendidikan sebagai medium pemenuhan sifat-sifat manusia yang kodrati? Sekaligus, apakah kita bersedia membangun dunia di masa depan yang sejahtera, adil, makmur dengan menjunjung prinsip-prinsip dasar moral Ketuhanan yang tidak akan pernah lekang oleh zaman?
editor: Yusuf