Review

Kuntowijoyo: Islam, Ilmu, dan Realitas Sosial

3 Mins read

Mula-mula, kita akan disodorkan pertanyaan tentang kebenaran dan kemajuan. Sebab manusia seringkali terjadi mencampur-adukkan antara kebenaran dan kemajuan. Padahal sejatinya kebenaran dan kemajuan adalah dua hal yang berbeda.

Kebenaran bersifat non cumulative, tidak berubah dari waktu ke waktu, sementara kemajuan bersifat cumulative, berkembang seiring bergulirnya peradaban manusia. Tentu saja Kuntowijoyo di buku ini berangkat dari perspektif agama Islam. Kebenaran adalah apa saja yang datang dari Tuhan (al haqqu min rabbik).

Maka menjadi kewajiban bagi umat Muslim untuk senantiasa kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah sebagai rujukan. Dengan kata lain selalu kembali kepada teks. Ada beberapa metode untuk bisa kembali kepada teks, yakni dekodifikasi, Islamisasi pengetahuan dan demistifikasi.

Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah

Dekodifikasi adalah metode penjabaran dari teks menjadi teks dengan tujuan menjaga konsistensi hubungan diantara keduanya. Dari metode ini lahirlah ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, tasawuf dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, terdapat parameter khusus bagi penafsir Al-Quran dan As-Sunnah agar ilmu agama tidak berubah dari sumber aslinya. Kelemahan dari metode ini adalah penekanan terhadap hafalan, bukan analisis. Sehingga ilmu yang dilahirkan hanya penegasan dari kitab sebelumnya dan seringkali tersandera untuk melahirkan pemahaman baru.

Adapun Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan kepada tauhid selaku inti agama. Sederhananya ialah upaya mengembalikan konteks terhadap teks. Dengan begitu pengetahuan tidak lepas dari iman, sehingga tercipta kesatuan pengetahuan, kesatuan sejarah dan kesatuan kehidupan.

Meski begitu, menurut Kuntowijoyo tidak semua pengetahuan perlu di-Islamkan, sebab banyak juga pengetahuan yang memang objektif. Sehingga jika dipaksa untuk di-Islamkan, akan jadi pekerjaan yang tidak berguna.

Oleh karena itu, demistifikasi adalah metode alternatif yang ditawarkan Kuntowijoyo guna menjawab maraknya budaya mistik di tubuh umat Islam. Mistik yang dimaksud ialah segala sesuatu yang seolah-olah di luar jangkauan manusia, yang membuat manusia tak berdaya.

Baca Juga  Impian Amerika: Amerika yang Tidak Saya Impikan

Tujuan demistifikasi ialah untuk kembali menghubungkan teks dengan konteks, sehingga terdapat kesinambungan antara agama dengan kehidupan. Untuk itu Kuntowijoyo merumuskan paradigma Al-Quran sebagai kerangka berfikir awal sebelum melangkah ke tahapan yang lebih teoritis dan praktis.

Paradigma Al-Quran

Paradigma Al-Quran adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Quran memahaminya. Paradigma ini dibangun berdasarkan pendekatan sintetik-analitik.

Melalui pendekatan sintetik-analitik, Kuntowijoyo menerangkan bahwa kandungan dasar Al-Quran terbagi menjadi dua bagian, yakni konsep-konsep dan kisah-kisah. Bagian konsep bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam.

Sementara bagian kisah, baik yang berupa kisah sejarah maupun permisalan, bertujuan untuk mengajak umat Muslim melakukan refleksi sehingga memperoleh hikmah. Oleh sebab itu yang menjadi pokok adalah pesan moral dari setiap kisah.

Ayat-ayat Al-Quran merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level objektif. Sebab Islam mempunyai tugas untuk melakukan perubahan sosial, yaitu yang sesuai dengan cita-cita profetik dalam menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang didasarkan pada iman.

Oleh karenanya pendekatan sintetik-analitik berguna untuk mengaktifkan fungsi transformasi psikologis secara subjektif, dan transformasi sosial secara objektif. Paradigma Al-Quran inilah yang menjadi hasil dari proses ‘pengilmuan Islam’, antitesa dari Islamisasi pengetahuan.

Ilmu Sosial Profetik

Perumusan teori Islam adalah bagian dari kepentingan Islam untuk memenuhi misi profetiknya, yakni membangun peradaban. Misi tersebut akan sukar dibangun apabila kita hanya memaknai Al-Quran hanya dari dua sisi keilmuan, yakni kauniyah dan qauliyah.

Oleh sebab itu, Kuntowijoyo menegaskan bahwasanya Al-Quran sesungguhnya memiliki tiga kandungan keilmuan, yakni ‘ilm kauniyah (alam), ‘ilm qauliyah (Tuhan) dan ‘ilm nafsiyah (kemanusiaan).

Kuntowijoyo sengaja memilih istilah ‘ilmu’ daripada ‘teologi’, karena ingin menegaskan bahwa makna agama akan menjadi relevan dengan realita sosial ketika disusun melalui suatu teori sosial.

Baca Juga  Membaca Disertasi Amien Rais (1): Kritik atas Teori Sekularisasi

Disisi lain, Kuntowijoyo juga mengamini relativitas ilmu, sehingga tidak menutup kemungkinan kedepannya akan ada perumusan ulang sesuai dengan kondisi zaman. Sesuatu yang lebih sulit dilakukan jika menggunakan istilah teologi.

Secara jujur Kuntowijoyo menjelaskan bahwa ilmu sosial profetik terinspirasi dari gagasan Muhammad Iqbal mengenai peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Seandainya Nabi adalah seorang sufi, ia tidak akan kembali ke bumi ketika sudah berada di sisi-Nya. Namun Nabi kembali ke bumi untuk mengubah jalannya sejarah. Nabi memulai transformasi sosial berdasarkan cita-cita profetik.

Cita-cita profetik Nabi tergambarkan dalam surat Ali Imran ayat 10, bahwasanya umat Islam bisa menjadi khairu ummah, ketika melakukan tiga hal, yakni amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tu’minuna billah (transendensi).

Humanisasi, Liberasi dan Transendensi

Secara sederhana humanisasi memiliki arti memanusiakan manusia dan mengangkat kembali martabatnya. Sebab di zaman sekarang ini, manusia mudah sekali kehilangan rasa kemanusiaan. Gejala sosial yang menjadi sasaran humanisasi adalah dehumanisasi teknologi, agresivitas dan individuasi.

Adapun liberasi memiliki makna pembebasan, tentu dengan konotasi yang memiliki signifikansi sosial. Kuntowijoyo menegaskan bahwa liberasi disini digunakan dalam konteks ilmu, bukan dalam konteks ideologi sebagaimana yang terdapat dalam partai-partai Islam. Sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik.

Dan yang terakhir, transendensi berarti menembus atau melampaui. Secara makna, transendensi memiliki kemiripan dengan teologi. Singkatnya, transendensi adalah beriman kepada Allah dalam keadaan apapun sepanjang hayat.

Ketiga unsur di atas harus menjadi satu dan terpadu, tanpa menegasikan satu sama lain. Di akhir, Kuntowijoyo berharap bahwa ilmu sosial profetik dapat menjadi pelayan umat, menjadi bagian dari kemajuan kolektif yang mampu mengarahkan umat ke arah evolusi sosial yang rasional. 

Baca Juga  Resensi Buku: Jejak Intelektual Sjahrir Sang "Bung Kecil"

Buku ini sangat cocok dibaca bagi para intelektual muslim yang berupaya membangun kembali peradaban keilmuan Islam. Bahkan yang unik di buku ini, dengan telaten Kuntowijoyo menjelaskan akar kata dari setiap istilah yang diserap dari bahasa latin agar tidak membingungkan pembaca.

Sebagai catatan, diperlukan pemahaman dasar mengenai agama Islam, metodologi keilmuan dan teori-teori sosial sebagai penunjang untuk mengerti gagasan Kuntowijoyo. Sudah barang tentu harus membaca buku Kuntowijoyo yang lain agar bisa menangkap gagasan Kuntowijoyo secara utuh, terkhusus tentang Ilmu Sosial Profetik.

Daftar Buku

Judul Buku: Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika

Penulis: Kuntowijoyo

Penerbit: Tiara Wacana

Tahun Terbit: 2006

Tebal: 136 halaman

ISBN: 979-9340-60-8

Editor: Soleh

Avatar
9 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *