Sejarah Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina merupakan konflik berkepanjangan yang berlangsung hingga kini. Sejarah konflik Israel-Palestina dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika gerakan Zionisme yang berusaha untuk membangun tanah air Yahudi, mulai mendapatkan momentum.
Sebuah pamflet berjudul The Jewish State yang ditulis oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang Yahudi Austria-Hungaria, sering dilihat sebagai dokumen dasar Zionisme politik modern. Tujuan gerakan ini adalah untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, yang pada saat itu merupakan bagian dari Kesultanan Ottoman.
Selama berabad-abad, wilayah Palestina dihuni oleh mayoritas penduduk Arab, yakni Arab Palestina (Islam), komunitas Yahudi dan Kristen. Mereka hidup berdampingan, jauh dari kata konflik (Asep Muhammad Iqbal: Akar-Akar Konflik Israel-Palestina).
Kekalahan Kesultanan Ottoman pada Perang Dunia I membuat Palestina jatuh ke tangan kolonial Inggris. Ketegangan mulai meningkat di wilayah ini seiring dengan meningkatnya eksodus imigran Yahudi ke Palestina.
Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, menyatakan dukungan untuk pembentukan “rumah nasional bagi orang Yahudi” (national home for the Jewish people) di Palestina. Deklarasi ini semakin memperburuk konflik tentang tanah dan identitas antar komunitas di wilayah Palestina.
***
Keputusan PBB untuk membagi Palestina pada tahun 1947 menjadi negara Yahudi dan negara Arab yang terpisah menandai titik balik dalam konflik Israel-Palestina. Pemisahan ini diterima oleh pemimpin Yahudi, tetapi ditolak oleh pemimpin Arab. Bagi Arab, bagaimana mungkin membiarkan pembentukan negara lain di atas tanah sendiri.
Akibatnya, terjadi perang besar antara pasukan Yahudi dan pasukan Arab. Pada tahun 1948, negara Israel dideklarasikan. Ini mengakibatkan pengusiran massal sekitar sejuta warga Arab Palestina dari tanah mereka akibat pencokolan negara mayoritas Yahudi di tanah Palestina.
Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Nakbah (catastrophe; malapetaka), sampai kini menjadi kenangan yang sangat menyakitkan bagi Palestina.
Pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1967 menciptakan ketegangan dan perlawanan yang berkelanjutan dari kelompok-kelompok Palestina. Pada masa inilah, muncul Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Hamas.
Dari sinilah intensitas konflik makin meningkat, terlebih gerakan yang dilancarkan Hamas didasari spirit Islam dalam upaya perlawanan terhadap kolonial (penjajahan, pencaplokan).
Barangkali kita bangsa Indonesia tidak asing dengan kolonialisme. Sudah menjadi watak penjajah, dalam memuluskan hegemoninya sering kali menggunakan pelabelan subjektif, misalnya dalam hal ini istilah teroris untuk Hamas (terlepas dari berbagai perdebatan).
Standar Ganda Negara Barat
Mayoritas negara di dunia khususnya umat Islam mengutuk segala tindakan penjajahan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Namun sangat miris, masih saja kita temukan beberapa negara terlebih Eropa dan Amerika (negara Barat) yang bermanuver dua kaki (standar ganda) terhadap konflik Israel-Palestina. Pada satu sisi mereka menggemborkan HAM, tapi pada sisi yang lain masih setia berdiri di belakang Israel mendukung aksi penjajahan.
Akibatnya, sampai hari ini resolusi perdamaian dan kemerdekaan Palestina selalu menemukan jalan buntu. Begitu banyak nyawa manusia melayang, sampai kapan kita terus-menerus menyaksikan jatuhnya korban akibat konflik ini.
Standar ganda (unfair, hipokrit) sudah sangat lama diberlakukan Barat terhadap dunia Islam, setidaknya sejak Israel bercokol di bumi Palestina dan berkonflik dengan warga Palestina.
Bahkan standar ganda selalu “dimainkan” Barat dengan hak istimewa di forum PBB, berupa Hak Veto (seperti yang dilakukan Amerika Serikat pada sidang PBB beberapa hari lalu) yang kerap digunakan untuk membela sekutu mereka (dalam hal ini Israel), dan tidak menjatuhkan sanksi, misalnya, kepada Israel yang kerap melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina.
Ketika legitimasi internasional dilanggar oleh kepicikan standar ganda, keadilan akan hilang, hak-hak dasar akan runtuh, dan kekerasan menjadi tirani (Daoud Kuttab: Palestine and Ukraine Exposing the Double Standard).
***
Standar ganda sejatinya merupakan sikap mental kolonial yang tidak relevan lagi diterapkan di era modern ini. Karena masyarakat dunia semakin tercerahkan, menginginkan kesetaraan dan keadilan, sekaligus melek literasi sosio-kultural.
Sudah saatnya Barat melakukan rethinking politik standar ganda, terutama terhadap dunia Islam, karena relasi kesetaraan dan demokrasi berbasis nilai-nilai universal HAM tanpa diskriminasi merupakan sebuah keniscayaan global.
Pemberlakuan standar ganda itu mencederai nalar HAM yang meniscayakan tatanan dunia yang adil, tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, pemimpin dunia Islam perlu bersatu padu menyuarakan penolakan standar ganda Barat.
Relasi Barat dan dunia Islam perlu dikembangkan dengan prinsip saling menghormati dan membutuhkan satu sama lain, dengan tidak saling mencampuri dan mencederai dignitas masing-masing (Muhbib Abdul Wahab: Islamofobia dan Standar Ganda)
Peran Indonesia
Melalui spirit politik bebas aktif Indonesia dalam rangka melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, pemerintah Indonesia khususnya melalui Dewan Keamanan PBB diharapkan terus mendorong adanya resolusi perdamaian untuk Israel-Palestina.
Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dengan ibu kota di Yerusalem, dukungan tersebut dibuktikan dengan hubungan diplomatik dengan Palestina pada 19 Oktober 1989.
Editor: Soleh