“Tampilanisme memunculkan diskriminasi perempuan jelek bahkan lebih berbahaya daripada rasisme dan seksisme.”
Kulit putih dan terang telah menjadi primadona bagi para perempuan Indonesia. Bagi sebagian besar perempuan Indonesia, istilah putih seakan telah mendarah daging dalam benak mereka dan menjadi definisi kecantikan yang masih belum dapat tergantikan. Citra kulit terang sebagai standar cantik ini secara tidak sadar telah turun-temurun dari masa ke masa.
Bahkan dalam beberapa kepustakaan tertua di Indonesia yang masih ada hingga sekarang, epos puisi Ramayana yang telah berhasil diadaptasi pada akhir abad ke-9 dari sumber aslinya di India, menjelaskan bahwa perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan dominan pada masa itu. Perempuan berkulit terang dalam epos Ramayana ini digambarkan berwajah putih bak bulan purnama yang bersinar terang di bawah langit malam.
Definisi Cantik di Indonesia
Definisi kulit putih dalam epos Ramayana ini tidak berhenti disitu saja, seribu tahun kemudian, pada abad ke-20 citra kulit putih masih mendominasi kecantikan bagi setiap perempuan Indonesia. Kolonialisme pada masa itu menggantikan cerita kulit putih pada epos Ramayana.
Kulit putih Eropa yang pada masa itu menjadi primadona utama bagi perempuan pribumi. Walapun pada masa Jepang, citra cantik sedikit bergeser pada dominasi perempuan Asia, tetapi citra putih masih menjadi lakon utama dalam identitas kecantikan.
Pascakolonial, putih tetap menjadi warna kulit yang paling banyak disukai oleh perempuan Indonesia. Terkhusus pada masa Indonesia pro-Amerika, masa Presiden Soeharto, citra putih dijadikan sebagai alat komersial.
Produk-produk kecantikan memenuhi pasar, para perempuan berbondong-bondong mencari produk pemutih demi mendapatkan kecantikan ala-ala iklan televisi. Putih pada masa ini dijadikan sebagai dominasi kapital untuk menarik “seeing is believing”. Memandang bahwa perempuan putih sudah dapat dipercaya dalam segala aspek kehidupan.
Perempuan akan menjadi malu, takut, ataupun minder karena mereka tidak memiliki standar kecantikan yang telah tersebar luas di masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka merasa rasa malu dan takut itu bangkit karena gelagat seksual laki-laki yang paranoid atau puritan. Ya, walaupun tidak semua, tetapi bagi sebagian perempuan hal tersebut merupakan momok apabila mereka tidak menampilkan citra putih sebagai standar kecantikan para perempuan.
Diskriminasi Kapital
Bagi sebagian orang, menganggap kecantikan atau tampilanisme merupakan hal yang lebih berbahaya daripada rasisme dan sekisme. Ekspetasi yang berlebihan terhadap standar kecantikan yang diciptakan membuat adanya definisi perempuan jelek. Padahal pada kenyataan yang sebenarnya, setiap perempuan memiliki unsur dan standar kecantikan yang merupakan otoritas dari masing-masing individu tanpa mengikuti standar kecantikan yang telah mendarah daging dalam citra cantik perempuan Indonesia.
Citra putih dan standar kecantikan yang terus mengalir dalam masyarakat ini menjadikan alat diskriminasi karena sebagai wujud kapital. Sosiolog Lynn Chancer berpendapar bahwa kecantikan dapat, “diupayakan dan dijadikan tujuan; tampang bukan semata-mata diberi tetapi semakin lama semakin diraih” (1998, 118).
Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar perempuan berupaya untuk berinvestasi, bekerja keras, melakukan segala cara demi kecantikan. Melalui kecantikan, seorang perempuan dapat dengan mudah mendapat pekerjaan dengan upah yang tinggi, atau menikahi laki-laki yang berstatus tinggi. Jadi, bisa dipahami bukan bahwa kecantikan merupakan bagian dari jenis-jenis kapital?
Standar kecantikan putih sebenarnya tidak dapat diterapkan di Indonesia bukan? Seorang orator dalam aksi Long March IWD (International Womens Day) pada, 8 Maret 2020 di Jalan Malioboro Yogyakarta mengatakan bahwa “bagaimana bisa terdapat standar kecantikan ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini?”. Ya, memang benar, citra putih tidak bisa terus-terusan dijadikan sebagai standar kecantikan bangsa Indonesia yang sangat beragam ini.
Berbagai suku, ras bercampur dalam bangsa ini, bagaimana bisa ada standar kecantikan semacam itu? Menengok ke belakang tentang Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, maupun golongan menjadikan standar kecantikan ini sangat bertentangan dengan kecantikan perempuan di berbagai daerah.
Padahal kita sebagai orang Indonesia memiliki standar kecantikan sendiri untuk memuji bahkan memandang seorang perempuan. Standar itu mengikuti warisan di setiap daerah di Indonesia.
***
Efek globalisasi yang merasuk dan mempengaruhi kehidupan di belahan dunia ini, mampu menjadi tolak ukur bagaimana dapat mengkategorikan standar kecantikan setiap negara di dunia. Artinya standar kecantikan dalam setiap negara mempunyai ciri khas masing-masing untuk eksistensi seorang perempuan.
Pandangan setiap orang untuk melihat kecantikan itu berbeda-beda, tetapi bagaimana orang itu menggunakan kedua matanya untuk menilai. Kecantikan seorang perempuan itu natural atau mempunyai karakteristik tersendiri. Pada akhirnya pujian itu akan datang menuju kata standar kecantikan. Bukan untuk pekerjaan tetapi tentang kehidupan yang penuh dengan kenaturalan dan keindahan.
Editor: Nabhan