Sahabat-sahabat yang pernah tampil lugu unyu-unyu, di balik seragam putih merah, pastinya tidak asing lagi dengan semboyan tut wuri handayani. Yuhuu, mungkin kita akrab, karena semboyan itu menempel pada logo di topi zaman kita SD dulu.
Pasti tahu dong ya, siapa yang mengenalkan semboyan itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan kita.
Sanusi Pane (1929) menggambarkan sosok beliau dalam puisinya laksana “bunga teratai,” tidak banyak diperhatikan orang, tapi perannya besar dalam menjaga zaman. Sebab, perannya dalam dunia pendidikan, tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara dijadikan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Hari ini di tengah kondisi mewabahnya Covid-19, nasib pendidikan menjadi salah satu yang membuat deg-degan banyak orang. Pasalnya, dengan ditutupnya sekolah-sekolah, masyarakat kebingungan, “Gimana anak-anak kita akan belajar?”
Merespon itu, ruang-ruang belajar digital bermunculan dan berusaha meng-adem-kan kecemasan masyarakat. Melalui YouTube, televisi, dan aneka aplikasi, berbagai materi mata pelajaran dikupas dalam video yang menarik.
Namun, apakah itu cukup? Apakah itu sudah betul-betul menjawab permasalahan pendidikan? Bukankah di situ kita baru sekadar sampai pada proses transfer ilmu?
Sedangkan, sebagaimana diingatkan oleh KHD, seorang anak idealnya dididik untuk ngerti, ngrasa, lan nglakoni atau memahami, merasakan, dan mengamalkan. Supaya tidak hanya cukup tahu, tapi dengan ilmu itu harapannya kita jadi bisa menentukan harus apa dan bagaimana menghadapi segala situasi. Apalagi di tengah kondisi yang terus berubah-ubah, seperti saat ini.
Wah, iya juga ya. Tapi, bukankah itu tantangan yang sulit dengan kondisi lockdown begini?
Secuil Gagasan
Bunyi lengkapnya adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Semboyan yang berasal dari bahasa Jawa ini, apa ya sebenarnya maksudnya? Sekeren apa sih hingga diangkat jadi salah satu elemen logonya Kemendikbud?
Ternyata nih, kalimat itu adalah salah satu dari sekian banyak buah pikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang mendasari aktivitas beliau dalam dunia pendidikan. Beberapa ahli tafsir ajaran KHD menyampaikan bahwa itu adalah ajakan supaya teman-teman yang kebetulan diamanahi berada di depan, jadi pemimpin, baiknya bisa memberi contoh kepada yang lain. Juga, mbok yang berada di tengah bisa turut membangkitkan semangat teman-temannya, dan yang di belakang tetap mau memberikan dorongan.
Melalui ini, KHD mengingatkan kita untuk saling support, saling bahu membahu demi mencapai tujuan bersama. Guru membantu murid, murid juga mendukung guru dan mendorong teman-teman di kelasnya.
Berbicara mengenai mendidik seorang anak, KHD menegaskan bila itu tidak hanya terbatas pada sekolahan, guru, dan murid. Melainkan, seluruh lingkup kehidupan yang ditemui sang anak. KHD berbaik hati menyederhanakannya dalam konsep Tri Pusat Pendidikan, yang terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah, serta masyarakat.
Pendidikan seorang anak tidak hanya tugas seorang guru di sekolah. Malahan, peran keluarga ialah yang pertama dan utama, karena di sana untuk pertama kalinya anak-anak akan dikenalkan dengan berbagai hal baru. Di sekolah, tidak hanya tentang transfer ilmu, tapi juga bagaimana menerapkan ilmunya itu dalam kehidupan sehari-hari. Di masyarakat, anak-anak mempraktikkan banyak hal lewat berinteraksi dengan berbagai karakter orang dan pengalaman.
Kesadaran inilah yang seyogyanya dibangun di tengah pandemi ini. Supaya orang tua dan masyarakat juga merasa terpanggil dan peduli untuk berkontribusi dalam pendidikan anak, serta tidak terlalu khawatir dengan materi atau mata pelajaran apa yang anaknya belum pelajari. Karena sekali lagi, ini bukan soal transfer ilmu saja, tapi bagaimana sang anak bisa mengembangkan dirinya dan beradaptasi dengan beragam kondisi.
Nah, menarik ya konsep pendidikan ala KHD? Baik juga nih untuk tahu cerita beliau secara pribadi yang bisa jadi refleksi.
STOVIA dan Indische Partij
Percaya atau tidak, KHD yang kaya sekali akan konsep pendidikan rupanya tidak serta merta memulai jalan juangnya dari dunia pendidikan. Kalau boleh dibilang, cukup unik dan menarik.
Saat muda, KHD yang disapa Soewardi Soerjaningrat mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Lebih dikenal lagi sebagai Sekolah Dokter Jawa. Hoho! KHD sempat nyaris jadi dokter. Sungguh sebuah fakta, bukan?
Meskipun tidak sampai lulus, yang kata sebagian orang dikarenakan beliau sakit, tapi STOVIA memiliki peran yang cukup besar bagi kehidupan KHD. Di sinilah, beliau mengenal sahabat-sahabat baru, seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, orang Indo yang berpihak pada masyarakat pribumi. Hubungan ketiganya ini nanti yang menjadi cikal bakal lahirnya Indische Partij, organisasi politik pertama yang berusaha memperjuangkan kepentingan rakyat pribumi. Ketiganya lebih dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.
Partai yang lahir tahun 1912 itu rupanya menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Di tahun 1913, ada rencana Belanda untuk merayakan seabad kemerdekaan bangsanya dari penjajahan Prancis. Ngawur-nya, perayaan itu rencananya dilakukan di negeri Hindia ini dan menuntut warga pribumi untuk ikut menyumbang dana demi pelaksanaannya. Tentu, itu memancing emosi para pejuang pribumi, mana sudi mereka direndahkan begitu.
Di tengah situasi itu, pimpinan Indische Partij menjadi salah satu yang paling keras bersuara. Soewardi yang akrab dengan dunia kepenulisan merilis sebuah artikel yang membuat geger banyak warga masyarakat.
Judulnya Als Ik Eens Nederlander Was, ‘Seandainya Saya Seorang Belanda’. Isinya berupa kritik pedas yang dirangkai dalam kata-kata yang cerdas. Pasca itu, meledaklah kepala para pimpinan Belanda. Sahabatnya, dr. Tjipto, merespon situasi tersebut dengan tulisan ‘Ketakutan atau Kekuatan’. Belum puas, Soewardi kembali menggerogoti kesabaran Belanda dengan tulisan ‘Satu untuk Semua, Semua untuk Satu’.
Pun, pulang-pulang dari Belanda untuk urusan diplomasi, Douwes Dekker turut nimbrung di situasi itu dengan menulis ‘Pahlawan-pahlawan Kita Soewardi dan Tjipto Mangoenkoesoemo’. Akibatnya, ketiganya dijerat hukuman penjara dan yang terakhir dibuang ke negeri Belanda selama beberapa tahun.
Di sanalah, mereka banyak menguntai jalan-jalan perjuangan yang baru. Bagi KHD, persinggungan dengan beragam gagasan pendidikan juga terjadi saat pengasingan beliau di negeri Belanda.
Menghadapi Perubahan
Betapa perjalanan beliau hingga sampai memutuskan berjuang di dunia pendidikan ternyata tidak linear jalurnya. Bisa jadi juga, KHD muda tidak membayangkan lenggak-lenggok itu akan membawanya pada suatu keputusan: menjadi seorang guru.
Kisah perjuangan Soewardi, atau sekarang KHD, menjadi refleksi bagi saya sendiri. Apalagi saya dulu juga pernah bercita jadi dokter, tapi kemudian diurungkan. Saya diingatkan bahwa sebagai insan, kita tidak pernah tahu jelas bagaimana masa depan sebab dunia ini selalu mengalami perubahan.
Di masa pandemi ini, kita juga ditantang untuk menghadapi situasi baru yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Bagaimana beraktivitas di rumah aja? Bagaimana belajar atau kuliah di rumah aja? Bagaimana mendidik anak di rumah aja? Bagaimana menjawab semua pertanyaan bagaimana itu?
“Neng, ning, nung, nang,” kalau kata KHD. Meneng, jangan panik. Wening, tentramkan batin untuk memecahkan masalah. Hanung, terimalah kalau ada masukan. Lalu, menang! Kita pasti dapat mengatasi semuanya. Pasti, pasti bisa. Insya Allah.
Editor: Arif