Review

Guru Aini: Mereka yang Ingin Belajar Tak Bisa Diusir

4 Mins read

Guru Aini sebagai prekuel novel OOB menyajikan karya yang bagi saya, beginilah sastra ciri khas dari seorang Andrea Hirata. Sebagai seorang Melayu, pilihan kata dalam menggambarkan keadaan dalam cerita, serumit apapun keadaannya, Andrea mampu menganalogikan secara sederhana. Ketika membacanya kita selalu diberi kejutan dalam kisahnya. Jangankan mengandaikan akhir cerita, menebak per-halaman saja akan susah dibuatnya. Surprise.

Andrea Hirata, lagi-lagi dengan segala kata-kata dalam karyanya  membuat kita seakan tidak ingin segera beranjak ketika membaca bukunya. Selalu membuat penasaran. Semua karyanya adalah fiksi. Dan fiksi bukan sekedar mengadakan yang tidak ada. Fiksi adalah cara berpikir, begitu tulis Andrea dalam novel, Orang-Orang Biasa (OOB).

Misal seperti awal saya melihat judul Guru Aini (GA), saya kira novel ini akan memuat kelanjutan kisah yang seluruhnya berada pada sudut pandang seorang Aini binti Syafrudin, di mana dalam OOB Aini dikenal sebagai siswi bodoh, terutama pada pelajaran matematika. Saking susah pahamnya seakan pelajaran itu memusuhinya. Namun kehidupannya mengalami titik balik ketika ayahnya jatuh sakit, Aini belajar sungguh-sungguh untuk bisa menjadi dokter dan akhirnya mampu menjadi lulusan terbaik lalu diterima di fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama.

Ketika membaca novel setebal 297 ini, perkiraan saya terbalik. Plot cerita mengisahkan dua tokoh, yakni Guru Desi sebagai Guru Aini, seorang Guru dengan karakter idealis, penuh intrik tapi cantik dan Aini dengan segala kekurangannya, bisa berubah menjadi lebih dari orang lain dengan prestasi dan pencapaiannya. Dari pengisahan kedua tokoh ini, novel GA boleh dibilang sarat makna tentang idealisme, sosial, dan pendidikan

Alur Cerita dan Idealisme

Awal cerita, mengisahkan Desi Istiqomah, seorang murid pintar, yang sangat ingin menjadi guru matematika di pelosok sejak SD, semenjak bertemu Guru Marlis ia merasa menjadi guru matematika adalah alasan mengapa di dunia ini, Desi Istiqomah, ada.

Baca Juga  Membaca Disertasi Amien Rais (2): Kebangkitan Ikhwanul Muslimin

Keinginannya itu tentu banyak rintangan, terutama dari keluarga. Karena nasib guru matematika yang dikirim ke pelosok, bisa dibilang tidak baik. Di balik Desi Istiqomah sendiri yang memiliki kelebihan selain cantik, ia berprestasi dan menjadi lulusan terbaik. Karena kebebalannya, setiap bujukan untuk membatalkan niatnya menjadi guru matematika – ia tolak.

Sampai akhirnya keinginan Desi terwujud, ia dikirim ke pelosok Sumatra bernama Tanjong Hampar, kampung Ketumbi. Tempat latar cerita bermula bertemu dengan murid-muridnya. Guru Desi berniat mengabdi, dan memiliki idealisme yang tinggi.

Tahun demi tahun berlalu, selama bertugas sebenarnya ia bisa pindah tugas ke kota, melanjutkan beasiswa sampai sarjana, doktor bahkan master atau menjadi birokrat di dinas pendidikan.

Namun, Guru Desi tak berminat pada karier dan reward seperti itu. Minatnya hanya pada mengajar matematika pada anak-anak kampung. Dia dan matematika seakan saling memendam sesuatu. Ia akan meninggalkan kampung itu ketika dia dapat menemukan dan membimbing seorang anak genius matematika. Guru Desi tak mau meninggalkan anak-anak kampung Ketumbi dalam keadaan jahiliyah matematika seperti dia baru datang ke kampung itu bertahun-tahun silam. Dan dia memiliki nazar tidak akan mengganti sepatunya selama mengajar sebelum ditemukan anak genius itu, itulah idealismenya.

Sampai belasan tahun belum ditemukan juga murid yang diinginkan itu, ia ditanya oleh teman sesama gurunya, “Tak pernahkah kau lelah menjadi seorang idealis, Desi?” “Lelah, tapi tanpa idealisme aku akan lebih lelah. Tanpa idealisme, orang akan hidup dengan menipu diri sendiri, dan tak ada yang lebih lelah dari hidup menipu diri sendiri,” jawab Guru Desi

Sebuah jawaban singkat dan jelas menampar kita.

Kritik atas Birokrasi Pendidikan

Suatu pagi sebelum mengajar, Guru Desi mendapat surat yang berupa penghargaan bahwa ia terpilih menjadi Guru Terbaik se-Kabupaten. Ia terkejut, namun setelah itu guru termenung sejenak dan memutuskan untuk tidak mengambil penghargaan tersebut.

Baca Juga  Otoritarianisme Agama dan Negara: Gugatan Abdul Karem Soroush

Karena keputusannya itu, dipanggillah Guru Desi oleh Kepala Sekolah agar mau menerima penghargaan itu, tetapi tetap saja ia menolak. Kemudian ditanya oleh Kepala Sekolah, mengapa ia menolak penghargaan itu?

Guru Desi tersenyum dan menjawab ,“Pendidikan adalah soal murid-murid, Pak. Ada otoritas pendidikan, ada sekolah-sekolah, ada guru-guru, dan semua itu ada karena ada murid. Murid-murid harus dinomorsatukan melebihi apa pun. Delapan puluh persen murid sekolah ini, hampir seribu jumlahnya, punya nilai ulangan matematika rata-rata di bawah enam. Di dalam kelas yang kuwalikan sendiri ada murid yang mendapat 2,5. Itulah nilai tertingginya selama setahun ini. Lalu aku Desi Istiqomah Binti Zainudin, membawa nama ayahku, tak mau menjadi bagian dari basa-basi birokrasi ini. Aku adalah Guru Matematika yang masih sangat gagal, Pak.”

Mereka Tak Bisa Diusir

Semenjak Ayah Aini memiliki penyakit yang dihinggapi virus baru dan belum ada obatnya, Aini bertekad menjadi dokter. Dan salah satu syarat untuk menjadi Dokter harus pandai matematika. Karena itu, Aini bertekad untuk bisa mempelajari Matematika, meski selama belajar, nilai matematikanya seperti bilangan biner 0 1 0 1, begitu seterusnya.

Aini ingin berguru langsung dengan ahli dan terkenal kecerdasannya di kampungnya, yakni Guru Desi. Semakin lama Aini belajar dengan Guru Desi, semakin banyak pula dampratan yang diterima. Sebab Aini diajar dengan metode apa aja, matematika tidak mau masuk ke kepalanya. Sampai pernah Guru Desi menyobek hasil kerja  Aini yang tidak pernah ada peningkatan.

Karena menyobek hasil kerja Aini tersebut, Guru Desi merasa bersalah dan mengira Aini tidak akan datang lagi. Ternyata dugaannya salah, Aini makin semangat, dan saat itu pulalah Guru Desi bergumam ,“Mereka yang ingin belajar, tak bisa diusir”. Hingga akhirnya ketika Guru Desi memutar otak, ia menemukan metode yang cocok pada Aini, yakni dengan metode kalkulus, sebuah pengajaran matematika dengan prinsip premis-premis yang mudah dipahami.

Baca Juga  Sekolah untuk Memproduksi “Ulama Plus”

Guru Desi pun menyadari, kecerdasan tidak di lahirkan, tapi di bentuk. Semua manusia sama, hanya saja ketika memahami suatu ilmu, perlu usaha yang berbeda-beda sesuai intensitas pembelajarannya. Ada yang sekali, dua kali membaca, paham. Ada juga yang perlu tujuh, sepuluh kali baru paham. Maka menjadi sebuah kesalahan apabila dalam proses mendidik menggunakan metode intimidatif atau ancaman yang membuat murid putus asa.

Seorang guru yang baik adalah guru yang dapat memacu kecerdasan muridnya. Guru yang lebih baik adalah guru yang dapat menemukan kecerdasan muridnya. Guru terbaik adalah guru yang tak kenal lelah mencari cara agar muridnya mampu memahami kecerdasannya dan memacu kelebihannya.

Avatar
6 posts

About author
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Sukoharjo 2020
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *