“Masa-masa krisis diibaratkan masa-masa kegelapan (dark age). Akal pikiran berhenti, kaki dan tangan istirahat (jeda). Hanya suara hati nurani (inner voice) yang berfungsi efektif dalam menghadapi masa-masa krisis di masyarakat dan negara”. Segala sesuatu peristiwa dan dinamika yang terjadi di masyarakat bergantung pada sudut pandang akal pikiran umat manusia, apakah manusia merespon secara negatif atau positif, termasuk pandemi COVID-19 ini.
Orang bijak bestari mengatakan bahwa, “Setiap kejadian dan peristiwa selalu ada hikmah atau sisi positifnya. Dalam suasana krisis atau peristiwa itu membuat manusia belajar, bersabar, dan semangat berjuang untuk fokus mencapai tujuan yang ingin diraih bersama dalam masyarakat dan negara.”
Seperti bunyi sebuah ungkapan bahwa, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kesatuan membentuk kekuatan”. Maknanya, dengan menjalin kesatuan, kesabaran, kepercayaan, dan kebersamaan (solidaritas) yang membuat manusia berhasil melewati masa-masa krisis ini.
Selain itu, hikmah menghadapi krisis, kesulitan, dan bencana yang menimpa umat manusia adalah membuat manusia untuk menengok ke dalam diri, refleksi diri, mawas diri untuk mengosongkan perbuatan-perbuatan tercela. Kemudian mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang mulia sehingga mampu menebar maslahat pada sesama. Dengan begitu, manusia bisa fokus, jernih dan bersemangat dalam melewati dan keluar dari masa krisis ini, lalu kemudian bisa menatap dan membangun tatanan masyarakat dan negara dengan perilaku, pandangan, dan tujuan hidup yang baru pula.
Krisis dan Hikmahnya
Alhasil, selalu ada sisi terang dari gelap. Kata “krisis” sendiri berasal dari bahasa Yunani, “krisis” (kata benda) atau “krino” (kata kerja), yang berarti “menarik batas” atau “titik balik”. Dalam bahasa Mandarin, padanannya adalah “wei-ji”. “Wei” artinya “bahaya”, sedangkan “ji” artinya “peluang”. Dalam momen gelap bahaya katastrofi, selalu ada cerah peluang untuk menarik garis batas antara kejahiliyahan dan keberadaban; sebagai titik balik untuk menyehatkan dan memajukan kehidupan.
Kebenaran dan kesejatian itu seringkali seperti bintang yang tak bisa dilihat kecuali di gelap malam. Dalam terang kehidupan normal, manusia sulit mengenali kebenaran hakiki. Kesejatian tersamar ornamen pernak-pernik penampilan. Saat zaman kelam datang, barulah kita kenali mana yang benar sejati, mana yang palsu manipulasi. Bila kita kurang yakin watak asli seseorang atau suatu bangsa, tunggulah hingga gelap menyergap: di sana bisa kita kenali watak sesungguhnya.(Hitam-Putih Korona, Yudi Latif, 2020).
Tatkala kita diuji dengan pandemi COVID-19, ada banyak keluhan atas kegamangan, ketidaksigapan, dan ketidaksinkronan jajaran pemerintahan dalam menangani wabah yang mematikan ini meski keluhan yang sama juga terjadi di sejumlah negara. Namun, ada sudut pandang yang menunjukkan sisi terang dari bangsa ini.
Shane Preuss, dalam tulisannya yang berjudul “The Diplomat” (24 April 2020), memperlihatkan dimensi ketahanan nasional kita. “Benar bahwa pemerintah Indonesia terantuk, tetapi masyarakat sipilnya bangkit berinisiatif menghadapi masalah wabah.” Selanjutnya, ia menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia punya daya tahan kuat, telah teruji berbagai cobaan di masa lalu, dan menimba pelajaran atas pentingnya menguatkan spirit gotong-royong, memikul tanggung jawab bersama, dan penuh suka cita menggalang aksi tolong-menolong.
Pernyataan Preuss itu bukanlah suatu kesimpulan baru. Pada 2018, The World Giving Index, yang dikeluarkan oleh Charities Aid Foundation (CAF) yang berbasis di Inggris, menempatkan Indonesia sebagai the most generous country (negara paling dermawan) di dunia. Tiga perilaku yang menjadi ukuran: menyumbangkan uang, menolong orang, dan kerelawanan.(Cerah di Celah Wabah Yudi Latif, 2020).
Sebuah Harapan di Balik Pandemi
Untuk bisa mendekatkan antara harapan dan kenyataan, diperlukan ketepatan strategi kebudayaan yang dapat membangun hubungan yang proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara aspirasi dan kapabilitas. Dalam kaitan itu, diperlukan kekuatan refleksi diri, yang dapat menyatukan pikiran dan hati dalam spirit.
Dengan menyatu dalam spirit, kita bisa keluar dari lorong gelap menuju jalan cahaya dengan menempuh sejumlah langkah. Kita memerlukan pengakuan bersama akan adanya krisis di berbagai bidang. Tanpa ketulusan dan kesepakatan adanya krisis, kita tidak akan bisa mengatasi masalah. Selanjutnya, kita harus membuat pagar pemisah, yang secara apik memilah antara aspek-aspek yang sudah baik dan sisi masalah yang perlu solusi.
Kita perlu melakukan penilaian sendiri (self-appraisal) secara jujur. Jangan mengecoh diri dengan rekayasa pencitraan yang membesar-besarkan pencapaian kecil. Kita bisa belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri dalam mengatasi krisis dan kegagalan di masa lalu. Kita juga bisa belajar dari model negara-negara lain dalam mengatasi masalah, untuk disesuaikan dengan konteks spesifik negara kita. Jangan lupa, situasi krisis juga memerlukan penguatan identitas nasional dengan merevitalisasi komitmen pada nilai-nilai inti (core values) kebersamaan (Diamond, 2019).
Akhirnya, kita harus berhenti sekadar meratapi kegelapan. Gelap tak bisa disingkirkan dengan gelap; gelap hanya bisa dienyahkan oleh cahaya. Jutaan kunang-kunang yang serempak menyalakan cahaya budi, akan memancarkan gelombang pencerahan, sebagai penuntun bangsa ini ke arah kebangkitan.(Kebangkitan Pascakorona, Yudi Latif, 2020).
Refleksi Bersama Pasca-Corona
Bahwa kesenjangan antara impian dan kenyataan bisa dipecahkan dengan menghidupkan spirit, yang menyatukan pikiran dan hati.
Di bawah terang spirit, katastropi tak perlu terlalu diratapi. Krisis bisa dilihat sebagai derita ibu hamil yang mengandung anak kemajuan. Seperti kata Hegel, sejarah memang mahkamah penjagalan, namun bukannya tanpa tujuan. Kekacauan memberi ruang kemunculan para pencerah dan juru selamat; bintang penuntun yang dapat menyingkap pola-pola tersembunyi yang dapat memandu manusia keluar dari lorong gelap menuju jalan cahaya.
Selalu ada sisi terang dari gelap. Di tengah lautan kegelapan bisa saja terbit rembulan pandu penerang. Kalaupun tiada purnama, kita bisa menyibakkan kelam dengan menyalakan lentera sendiri. Satu hal yang pasti, gelap tak bisa disingkirkan dengan gelap. Gelap hanya bisa dienyahkan oleh cahaya. Daripada mengutuk kegelapan, marilah masing-masing pribadi tetap eling dan waspada, dengan menghidupkan kembali spirit kasih-sejati yang bisa menyalakan lentera jiwa.
Di langit jiwa yang mati, manusia berjalan bagai zombie. Tumpul rasa, asing diri. Tak kenal asal, tak tahu tujuan. Mega mendung menyelimuti langit hati.
Di tengah kehidupan yang kelam, penduduk negeri menanti kedatangan bintang penuntun. Bagaimana bisa terlahir juru selamat tanpa terang jiwa? Orang-orang harus menyalakan sumbu kalbu. Sesungguhnya setiap pancaran jiwa itu sanggup menerangi alam batin kehidupan. Cahaya hati manusia agung bisa bangkitkan matahati jutaan manusia dari dekapan kegelapan.
Orang-orang percaya mestinya punya sukma bercahaya. Pancaran kalbunya bergerak meninggi mendekati mentari di titik zenit. Dengan penglihatan jiwa di kerendahan permukaan tanah, yang tampak hanyalah perbedaan pepohonan. Dengan penglihatan jiwa dari ketinggian terbang elang garuda, segala perbedaan pohon tampak menyatu dalam hutan yang sama.