IBTimes.ID – Dalam beberapa penelitian, ada buletin yang disebarkan di beberapa masjid yang menyuarakan paham intoleransi, kegaduhan, dan membuat konflik antar jamaah. Bahkan, sejak tahun 1980, buletin-buletin yang intoleran telah muncul di beberapa masjid.
Menurut Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja sama Internasional Sudarnoto Abdul Hakim, masjid adalah tempat yang sesuai untuk melakukan halaqoh dan pembinaan paham-paham eksklusif. Celakanya, anak-anak muda yang berpikiran moderat enggan mengurus masjid.
Hal ini ia sampaikan dalam Webinar Series Convey Indonesia, Jumat (5/2). Webinar daring tersebut mengambil tema Masjid & Moderasi Beragama.
Menurutnya, tidak sedikit pengurus masjid yang diisi oleh orang-orang radikal. Di lingkungan pendidikan, anak-anak sekolah dengan kegiatan ekstra keagamaan juga dibina oleh kelompok-kelompok radikal. Siswa-siswi ini kemudian mengisi kampus-kampus besar di Indonesia.
“Kelompok seperti ini akan terus bergerak di bawah tanah melalui berbagai cara. Dulu, sejumlah bank datang ke MUI agar MUI mau mengurus masjid-masjid BUMN. Banyak keluhan bahwa masjid-masjid BUMN, hotel, perkantoran dan lain-lain diambil oleh kelompok eksklusif,” ujarnya.
Sudarnoto Abdul Hakim menyebut bahwa ada 10 prinsip wasathiyyatul Islam. Antara lain moderasi (tawasuth), seimbang (tawazun), adil (i’tidal), toleran (tasamuh), reformis (islah), tolong-menolong (ta’awun), musyawarah (syuro), cinta tanah air (muwathonah), setara (musawa), dan keteladanan (qudwah).
Maka, MUI perlu meluruskan paham-paham yang keluar dari jalur wasathiyyatul Islam. Termasuk kelompok-kelompok radikal, salafi jihadi, dan lain sebagainya. Ia menyebut bahwa Komisi Dakwah MUI telah membuat pedoman dakwah keagamaan termasuk beberapa fatwa agar pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia terbebaskan dari paham radikal.
Di sisi lain, imbuh Sudarnoto Abdul Hakim, fungsi ideal masjid sejatinya adalah tempat suci untuk beribadah dan menimba nilai keluhuran. Tempat ibadah merupakan pusat untuk mengingatkan dan melindungi umat (himayatul ummah) dari pandangan ideologis-ekstrim yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai luhur pancasila.
“Hedonisme, sekularisme, dan ateisme adalah bentuk radikalisme lain. Ini juga ancaman yang sangat riil selain radikalisme agama. Maka dakwah wasathiyyatul Islam tidak hanya tugas keagamaan melainkan juga tugas kebangsaan,” ujar Ketua Dewan Pakar Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tersebut.
Menurutnya, tempat ibadah harus terbebas dari politisasi kelompok, sekte, aliran agama, dan mazhab apapun agar tidak saling menyesatkan dan tidak mempermasalahkan perbedaan mazhab.
“Masjid adalah tempat mulia untuk bertemu, berhimpun, bersinergi yang menyatukan banyak orang dari berbagai latar belakang sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Masjid harus menjadi tempat yang mengintegrasikan masyarakat,” tutupnya.
Reporter: Yusuf