Perspektif

Dua Wajah Pengurus Masjid

5 Mins read

Kata matsal atau perumpamaan dalam kamus Bahasa Arab Lisanul Arab karangan Imam Ibn Mandhur al-Afriqiy atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Mandzur dan al-Qamus al-Muhith karangan Muhammad bin Ya’kub al-Fairuz Abadi, mempunyai bermacam-macam makna, antara lain nazhir (sifat, seperti), atau ibrah (peringatan, pelajaran). Makna matsal yang lain adalah menjadi contoh bagi yang lain atau yang ditiru. Bentuk lain dari matsal adalah mistl (syibh atau serupa). Jamak dari mistl adalah amtsal yang berarti hujjah (bukti, alasan atau sifat). Sedangkan kata mitsal berarti ukuran, pembalasan yang sepadan dan arti yang lain.

Menurut Ayatullah Ja’far Subhani, matsal termasuk di antara kata-kata yang bijak atau bagian dari kata-kata hikmah yang muncul dalam sebuah kejadian karena kesesuain atau keserupaan sebuah peristiwa. Kata yang mengandung hikmah (kalimah hakimah) ada dua, yaitu kalimah sa’irah (kata yang umum dikenal dalam masyarakat) seperti penyebuatan hewan, masjid, kayu dan sebagainya. Selanjutnya ada kalimah ghairu sa’irah (kalimat atau kata khusus), kata atau kalimat yang hanya Nabi, para sahabat dan shalihin yang mengetahui maknanya kemudian ditafsirkan oleh kalangan ulama.

Tamsil Masjid dalam Al-Qur’an

Ayatullah Ja’far Subhani dalam bukunya al-Amtsal fil Qur’an yang dialih bahasakan menjadi Wisata Al-Qur’an Tafsir Ayat-Ayat Metafora, Penerbit ALHUDA, 2007, menjelaskan salah satu matsal yang umum diketahui oleh masyarakat ( kalimah sa’irah ).   Mastal atau tamtsil tersebut ada dalam Qs at-Taubah ayat 107-109:

Artinya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya).

Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Baca Juga  Dua Pesan Simbolik di Balik Kelahiran Nabi Muhammad Saw

Menurut Ayatullah Ja’far Subhani, para mufassir menyebutkan bahwa Bani Amr bin Auf mendirikan Masjid Quba. Mereka mengundang Nabi untuk solat bersama. Sekelompok orang munafik Bani Ghadam Bin Auf yang hasud kepada Bani Amr mengatakan: Kami membangun sebuah masjid dan shalat di dalamnya dan tidak akan hadir pada jamaah Muhammad.

Mereka ada sekitar 12-15 orang laki-laki di antaranya Tsa’labah bin Hathib, Mu’tab bin Qusyair dan Nabtal bin al-Harts. Mereka mendirikan masjid di samping Masjid Quba. Setelah rampung mereka juga mendatangi Nabi untuk mengajaknya sholat bersama dan mendoakan kebaikan untuk Bani Ghadam. Namun atas petunjuk Allah swt Rasulullah pun menyampaikan jika ia akan safar dan akan datang solat jika Nabi sudah kembali. Ayat di atas turun ketika Nabi sedang safar ke daerah Tabuk.

Dua Wajah Pengurus Masjid

Ayat di atas mengisyaratkan pada perbedaan dua masjid yang dibangun dengan dua alasan. Bani Amr membangun Masjid Quba karena keimanan dan keikhlasan serta bermanfaat untuk semua orang. Sedang yang dilakukan Bani Ghadam, mereka membangun masjid dengan tujuan mencelekai Nabi. Masjid yang dibangun pun tujuannya untuk menandingi Masjid Quba.

Adapun ‘tamsil’ Masjid yang dibangun di atas pondasi yang kokoh juga mengisyaratkan keimanan seseorang. Dan itulah yang dinamakan al-haq. Sedang masjid dan bangunan apasaja yang dibangun dengan tujuan pamer, kampanye untuk menarik suara, untuk mengumpul donasi ilegal, untuk komersialisasi serta memperkaya diri maka itulah yang bathil.

Jadi antara iman dan perilaku seseorang yang istiqomah dalam berbuat baik diibaratkan ” Orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah swt dan keridhaan-Nya “. Sedangkan yang lembek iman serta orientasi hidupnya semata-mata materi, maka Allah swt mengibaratkannya ” orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh “, maka sangat mungkin bangunan itu jatuh bersama isi dan pemiliknya.

Ayat ini juga menggambarkan dua wajah para pengurus masjid. Bani Amr dan Bani Ghadam. Sekalipun keduanya berasal dari keturunan yang sama, namun cara mereka dalam melakukan pelayanan kepada nabi itu berbeda. Bani Amir adalah ‘wajah’ pengurus masjid yang menjalankan amanah dengan baik, terstruktur dan tentu tujuannya untuk kemaslahatan ummat. Sedangkan Bani Ghadam adalah ‘wajah’ lain pengurus masjid yang membangun masjid hanya untuk kepentingan pribadi, diperuntukkan untuk komunitasnya saja dan bukan untuk kemaslahatan bersama.

Baca Juga  Sisi Kontroversial dari The History of The Qur'an karya Theodor Noldeke

Pengurus Masjid yang Ramah Kemanusiaan

Dua wajah pengurus masjid ini mungkin saja ada di setiap waktu, masa, dan tempat. Ada pengurus masjid yang mengharuskan dananya habis dalam sepekan untuk membantu dhuafa, fakir miskin, anak yatim dan orang yang membutuhkan. Masjidnya terbuka 24 jam. Ada juga pengurus masjid yang malah dananya membengkak, hanya terbuka pada waktu shalat, tidak ramah anak dan musafir. Bahkan untuk sekedar rebahan saja bagi jamaah bisa membuat risih pengurusnya.

Pada zaman Nabi jumlah mesjid tak lebih dari 10 buah, maka saat ini hampir setiap setiap RW baik di desa maupun di perkotaan minimal terdapat Musala di dalamnya. Tentu pengelolaan masjid saat ini sangat berbeda dengan zaman nabi dan fungsinya pun menyesuaikan dengan kondisi zaman.

Selain masjid sebagai tempat ibadah, arsitektur masjid pun menandakan ideologi para pengurusnya maupun jamaahnya.

Bahkan di zaman Bani Umayyah masjid dijadikan sebagai propaganda politik. Khalifah mengeluarkan aturan untuk mencaci khalifaturrasul Ali Bin Abi Thalib selama beberapa dekade. Dan jauh sebelumnya masjid pun dijadikan tempat untuk mengeksekusi sang khalifah ke empat tersebut pada saat mengimami shalat.

***

Untuk era modern saat ini, masjid juga menjadi identitas atau ciri khas daerah tertentu. Seperi Masjid Menara Kudus, Masjid Cheng Ho Surabaya, Masjid Gedhe Kauman, Masjid Raya Cipaganti, Masjid Raya Sumatra Barat ada juga Masjid Songkok Recca Watanpone Bone.

Selain masjid yang menjadi tempat ibadah dan juga menjadi identitas daerah, mungkinkah masjid bisa menjadi wadah kepentingan sosial seperti pengentasan kemiskinan, pembinaan anak jalanan dan terlantar serta naungan bagi kaum dhuafa?

Hal yang menjadi perhatian bersama adalah kenapa banyak masjid yang berdiri megah, suaranya nyaring, menaranya menjulang tapi masih ada saja fakir miskin dan orang yang lebih membutuhkan dan itu tidak jauh dari lokasi masjid? Tampaknya memang pola pikir kita masih sama, membangun masjid yang megah lebih penting daripada mengentaskan kemiskinan, membantu UMKM, memberi beasiswa bagi anak yatim dan kepentingan sosial lainnya.

Baca Juga  Doa Saat Berada di dalam Masjid dan Artinya

Tidakkah ada di antara kita yang risih melihat orang yang tertidur di jalanan, meminta-minta, sementara kita menghirup AC di dalam masjid? Mungkinkah shalat kita betul-betul khusyu’ di dalam masjid sementara masih ada anak-anak kolong jembatan yang kelaparan? Perlu juga kita renungkan pernyataan Nabi: “Mencintai dan dekat dengan orang miskin berarti semakin dekat dengan Allah pada hari kiamat”. (HR Muslim)

Menggaungkan Kembali Konsep Ashshuffa

Apakah saat ini masjid kita ramah orang miskin? Jangan sampai ramah hanya ketika Hari Raya dan Hari-Hari Besar Islam saja. Setelah itu kembali ke pekerjaan masing-masing. Yang miskin tetaplah dalam kemiskinannya. Kemegahan masjid memang bisa menjadi standar di daerah tertentu baik pedesaan maupun perkotaan. Jika ada masjid yang megah berarti masyarakat di sekitarnya bisa dikatakan sangat memperhatikan agamanya dan termasuk masyarakat kelas menengah dan atas.

Amien Rais dalam salah satu bukunya Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Mizan, Bandung, 1998, mengatakan bahwa keyakinan umat manusia kepada Allah Swt berhubungan langsung dengan tata sosial yang berkeadilan. Tauhid merupakan pembebasan kepada umat manusia dari segala keterbelakangan dan ketidakadilan.

Jadi jika masjid merupakan tamsil dari ketakwaan seorang Muslim, maka seharusnyalah masjid juga menjadi naungan bagi sesama yang membutuhkan. Tidak perlu ada pembedaan siapa saja yang harus menjadi jamaah masjid. Kemegahan masjid seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Sudah seharusnya pengurus masjid dan juga pemerintah bisa menghadirkan kembali konsep ashshuffa. Asshuffa atau bagian khusus masjid yang beratap pada zaman nabi yang fungsinya adalah menampung para sahabat dan musafir yang tidak punya tempat tinggal. Namun apakah konsep bangunan ashshuffa ini bisa berjalan dengan baik? Nyatanya yang ada sekarang hanya gudang penyimpanan barang dan kamar khusus marbot masjid. Tidak ada kamar atau ruangan khusus yang bisa menampung kaum dhuafa, fakir miskin, anak yatim dan anak-anak terlantar.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Tak Anti Filsafat: Membaca Ulang Pemikiran Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Ketika sejarah mencatat guncangan besar dalam dunia Islam pada abad ke-13, satu nama yang terus bergema hingga hari ini adalah Ibn Taimiyyah….
Perspektif

Kiai, Santri, dan Kekuatan Pesantren sebagai Institusi Tradisi

3 Mins read
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan Islam di Nusantara. Sejarah pesantren adalah kaleidoskop perjuangan umat Islam dalam…
Perspektif

Wali yang Membumi: Gagasan Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Di tengah gejolak dunia Islam abad ke-13 dan 14 — ketika invasi Mongol mengguncang Baghdad dan kekuatan Salib masih mengancam dari Barat….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *