Tasawuf

Sufisme Ottoman, Tarekat yang Memiliki Pengaruh Politik

3 Mins read

Sufisme, sebagai representasi mistisme dalam tradisi Islam yang menekankan pada pengalaman pribadi akan realisasi spiritual, mendapatkan popularitas yang besar di  Kekhalifahan Ottoman. Wangsa Ottoman sendiri memiliki mayoritas penduduk yang menganut mazhab fikih Hanafi, dan menjadi tempat untuk perkembangan tasawuf. Persebaran sufisme di wilayah Kekhalifahan ditandai dengan keragaman tarekat dan perkumpulan, masing-masing memiliki ritual, kepercayaan, dan praktiknya sendiri. Diantaranya yang paling menonjol dari tarekat-tarekat ini adalah Mevlevi, Bektashi, Rifa’i, dan Naqsybandi.

Tarekat-tarekat ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat Utsmaniyah, dan para pemimpinnya tak jarang dimintai pendapat oleh para elit penguasa Utsmaniyah mengenai masalah-masalah kenegaraan. Namun demikian, Kekhalifahan sebagai negara memiliki hubungan yang kompleks dan dinamis dengan tasawuf. Pada satu sisi negara secara resmi mendukung dan melindungi tarekat-tarekat sufi, namun juga negara berusaha untuk mengontrol dan mengatur kegiatan mereka.

***

Selama 623 tatum, beberapa sultan memiliki hubungan yang mendalam dengan para pemimpin Sufi. Contoh terkenal adalah Sultan Selim II (1566-1574), yang merupakan pelindung tarekat Bektashi dan membangun beberapa tekke (pondok) untuk tarekat tersebut. Contoh lainnya adalah Sultan Murad III (1574-1595) yang memiliki hubungan dekat dengan tarekat Mevlevi dan bahkan berpartisipasi dalam upacara-upacara mereka.

Selain itu, Sultan Ahmed III (1703-1730) dikenal karena dukungannya terhadap tarekat Naqsybandi dan memiliki persahabatan pribadi dengan beberapa syaikh tarekat tersebut. Hubungan ini menunjukkan pengaruh Sufisme dan para pemimpin Sufi di istana Utsmaniyah dan peran yang mereka miliki dalam membentuk suasana spiritual dan politik Kekhalifahan.

Peran para Pemimpin Sufi sebagai Penasihat dan Tokoh Politik

Para pemimpin sufi, yang dikenal sebagai syekh, juga memainkan peran penting sebagai penasihat dan tokoh politik di Kekhalifahan Ottoman. Mereka terkadang ditunjuk sebagai hakim, pegawai publik, dan komandan militer. Dalam status sosial mereka dihormati oleh golongan penguasa dan rakyat biasa. Mereka juga membantu menjaga ketertiban dan stabilitas di Kekhalifahan, dan memiliki peran penting dalam penyebaran pendidikan, budaya dan agama.

Baca Juga  Memahami Konsep Wara' ala Junaid Al-Baghdadi

Dalam tradisi dapat dijumpai banyak pemimpin Sufi yang memainkan peran penting sebagai penasihat dan tokoh politik. Beberapa contoh penting termasuk Syekh Ghalib, yang merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh Selim III (1789-1807). Kemudian, Syekh Bedreddin (1359-1420), yang merupakan tokoh oposisi politik terkemuka di awal Kekhalifahan Ottoman. Tokoh penting lainnya adalah Syekh Edebali(1206-1326), yang dianggap telah memainkan peran penting dalam pendirian negara Utsmaniyah dan merupakan guru dan Qadi pertama bagi pendiri Kekhalifahan Utsmaniyah, Osman I.

Para pemimpin ini tidak hanya memberikan bimbingan batin sebagai aspek penting dalam sufisme kepada para sultan dan rakyat, tetapi mereka juga memiliki pengaruh politik yang signifikan dan memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat dan politik Utsmaniyah.

Sufisme Sebagai Penyeimbang Kekuatan Politik Utsmaniyah

Lebih spesifik, para pemimpin dan tarekatSufi sering berfungsi sebagai penyeimbang terhadap kekuasaan negara Ottoman (yang terpusat pada sultan). Salah satunya adalah dengan melalui kontrol mereka atas tanah dan sumber daya, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan ekenomi mereka sendiri tanpa bergantung pada pemerintah Utsmaniyah.

Cara lain adalah melalui otoritas keagamaan mereka. Para syaikh Sufi memiliki pengikut yang besar dan mampu untuk menggunakan otoritas moral dan opini mereka untuk mengkritik kebijakan atau perilaku penguasa Utsmaniyah yang mereka anggap tidak adil atau bertentangan dengan Islam. Beberapa tarekat Sufi juga terkadang terlibat dalam perlawanan politik terhadap pemerintahan Utsmaniyah, yang selanjutnya berfungsi sebagai oposisi politik Utsmaniyah.

Salah satu contohnya adalah tarekat Mevlevi, yang anggotanya dikenal karena netralitas politiknya dan sering dicari oleh para penguasa Utsmaniyah untuk dimintai nasihat. Selain itu, Itzchak Weismann dalam The Naqshbandiyya Orthodoxy and Activism in a Worldwide Sufi Tradition, menyatakan tarekat Naqsybandi mampu mempertahankan tingkat otonomi yang kuat dan berperan dalam melawan upaya sentralisasi kekuasaan Utsmaniyah

Baca Juga  Menghidupkan Spiritualitas di Era Modern dengan Neo Sufisme

Analisis Institusi Utsmaniyah yang didedikasikan untuk Tarekat Sufi

Akibatnya dengan memiliki pengaruh yang besar terhadap pemerintahan, kelompok Sufi mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sebagai bentuk dukungan terhadap tarekat, berbagai institusi dan lembaga didirikan di dalam Kekhalifahan. Salah satu lembaga tersebut adalah Kulliyye, atau pondok-pondok Sufi yang dibangun untuk menyediakan tempat tinggal dan dukungan bagi kelompok Sufi. Selain itu, pemerintah Utsmaniyah juga meresmikan posisi Syaikh al-Islam sebagai jabatan negate, penasihat keagamaan untuk sultan, untuk memberikan bimbingan agama kepada Kekhalifahan dan bertindak sebagai mediator antara sultan dan para pemimpin Sufi.

Lembaga penting lainnya adalah pemeliharaan dan pengelolaan wakaf. Wakaf digunakan untuk memberikan dukungan keuangan bagi ordo-ordo Sufi dan lembaga-lembaga terkait, seperti pondok dan sekolah. Wakaf juga digunakan untuk mendanai pembangunan pondok-pondok baru, serta untuk mendukung pemeliharaan pondok-pondok yang sudah ada. Selain itu, menurur Colin Imber dalam Frontiers of Ottoman Studies, pemerintah Utsmaniyah juga menciptakan posisi Naqib al-Ashraf, seorang pemimpin bangsawan Muslim, untuk bertindak sebagai penghubung antara para pemimpin Sufi dan pemerintah.

Kesimpulan

Dalam kesimpulan, selain dukungan institusional ini, Kekhalifahan Ottoman juga mengakui peran para pemimpin Sufi sebagai kekuatan politik yang penting dalam Kekhalifahan.

Banyak pemimpin Sufi yang diangkat ke posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan, dan dukungan mereka secara aktif dicari oleh para sultan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat.

Editor: Yahya

35 posts

About author
Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin Adab & Dakwah, UIN Sayyid Ali Rahmatullah. Dapat disapa melalui akun Instagram @lhu_pin
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds