Siang itu, ia duduk di sebuah sudut restoran dekat UMS. Sendirian. Ia menggunakan kaos training Adidas berwarna hitam, celana kain putih, dan sandal jepit. Sekilas, orang tidak akan bisa mengira bahwa ia merupakan orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar PhD dalam bidang studi Islam dari universitas terbaik dunia, Harvard.
Saat itu, saya menemui Mas Sukidi yang sedang pulang kampung ke Sragen, Jawa Tengah. Nama Sukidi Mulyadi belakangan memang menjadi buah bibir dunia akademik Indonesia. Gelar bergengsi yang berhasil ia raih dari kampus bergengsi itu membuat kaget banyak orang. Apalagi banyak cerita-cerita mengejutkan yang mengiringi perjalannya dalam melakukan ‘pertapaan intelektual’ di negara adidaya, Amerika.
Cerita yang membuat kita geleng-geleng kepala adalah tidak ada yang tau kalau ia sedang ujian doktoral, termasuk istrinya sendiri. Ia tidak ingin ada orang yang mengetahui bahwa ia tengah menjalani peristiwa penting dalam karir akademiknya, termasuk istrinya sendiri.
“Saya nggak pengen dia khawatir dan kepikiran,” jawabnya singkat ketika saya tanya tentang hal tersebut.
Cerita kedua adalah, ia memilih untuk tidak memiliki akun media sosial apapun. Bahkan, Azaki Khoirudin dalam sebuah artikel di IBTimes menulis bahwa Sukidi Mulyadi tidak pernah masuk grup di aplikasi WhatsApp.
Sukidi tidak ingin dunia media sosial yang cenderung ‘berisik’ itu mengganggu aktivitasnya sebagai seorang intelektual. Ia sering mengatakan, “Tak perlu mengumbar seluruh pencapaian. Nanti bisa jadi ada yang tersinggung.”
Ia tidak ingin media sosial mengganggu kedalamannya dalam menggali tradisi-tradisi keislaman. Untuk diketahui, Sukidi adalah sosok yang begitu mengagumi tradisi, terutama tradisi klasik Islam. Ia bahkan dengan berani menolak jargon ‘kembali kepada Alquran dan sunnah’ dengan mengajukan jargon baru, yaitu ‘kembali kepada tradisi.”
Ketiga, ia sama sekali tidak tertarik dengan perebutan narasi-narasi keislaman seperti yang dilakukan oleh berbagai aktivis dan intelektual muslim dewasa ini. Ia juga tidak tertarik dengan kontestasi perebutan jamaah seperti yang dilakukan oleh beberapa tokoh agama.
Sejak pulang dari Harvard pada September 2020, ia menerima banyak sekali undangan untuk menjadi pembiacara di berbagai kampus dan NGO. Namun, tidak ada satupun yang ia penuhi. Forum yang pertama kali ia hadiri setelah pulang justru forum kecil yang diadakan oleh Mas Azaki Khoirudin dan kawan-kawan. Forum itu dihadiri oleh sekitar 30an penulis muda Muhammadiyah.
Di forum tersebut, ia mengingatkan bahwa intelektual bukan untuk menang-menangan. Ia mengingatkan tentang pentingnya sikap rendah hati, ketulusan mengabdi pada ilmu pengetahuan, dan asketisme intelektual.
Meskipun bersikap asketis dan zuhud, ia tidak bisa terus menolak undangan. Belakangan, Sukidi mulai muncul di beberapa forum Muhammadiyah, kampus, hingga TV. Ia beberapa kali muncul di stasiun Metro TV untuk memberikan wawasan keislaman kepada masyarakat Indonesia. Kendati demikian, undangan yang ia tolak tetap jauh lebih banyak dari yang ia hadiri.
Biografi Sukidi Mulyadi
Sukidi lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 2 Agustus 1976. Pada tahun 1994, ia lulus dari Mandrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN PK) Yogyakarta. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik tahun 1998 dari kampus tersebut.
Di kampus, Sukidi menjadi aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Selain itu, ia juga telah menjadi penulis kondang di media-media nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Majalah Panjimas, Gamma, dan Forum.
Beberapa tulisannya yang tersebar di berbagai media kemudian dimasukkan ke dalam beberapa buku. Antara lain Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah karya Abd Rohim Ghozali (ed.) (Bandung: Mizan, 1998), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah (Bandung: Mizan, 1999), Masyarakat versus Negara (Jakarta: Kompas, 1999), Demokratisasi dan Otonomi (Jakarta: Kompas, 1999), dan Geger di Republik NU (Jakarta: Lakpesdam-Kompas, 1999).
Selain itu, kumpulan tulisannya di Kompas juga dibukukan menjadi buku berjudul Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001). Sebelumnya, ia juga telah menulis buku New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama. Buku tersebut diterbitkan oleh Gramedia.
Pada tahun 1999, Sukidi menjadi staf duta besar RI di Oslo, Norwegia. Setelah pulang dari Norwegia, ia bertolak ke Amerika untuk melakukan ‘pertapaan intelektual’ hingga belasan tahun kemudian. Ketika di Amerika, tak banyak yang ingat dengan Sukidi. Mengingat orangnya yang sangat low profile dan tidak memiliki media sosial apapun. Sosok yang tulisannya selalu mengisi rubrik Kompas, kini tiba-tiba ‘hilang’.
Salah satu tokoh yang justru selalu ingat dan menanyakan kabar Sukidi adalah gurunya sendiri, Cak Nur. Menurut pengakuan istri Cak Nur, bahkan menjelang meninggalnya, Cak Nur selalu menanyakan kabar tentang Sukidi. Setelah pulang dari Harvard, namanya menggegerkan dunia intelektual di Indonesia. Ia berhasil meraih gelar PhD dari universitas dengan iklim akademik yang begitu ‘angker’.