Opini

Sumatera Tenggelam atau Tenggelam dalam Tafsir

4 Mins read

Banjir bandang dan tanah longsor wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada beberapa minggu kembali menjadi alarm keras bagi Indonesia. Sebuah anomali angin siklon yang tidak pernah terprediksi masuk ke garis katulistiwa telah memicu bencana banjir bandang dan longsor. Banjir bandang dan longsor telah memporak porandakan permukiman, memutus akses komunikasi, dan akses jalur darat teputus antardaerah.

Peristiwa ini menimbulkan banyak polemik huru hara yang terjadi. Salah satunya derasnya arus opini di media massa yang menimbulkan kepanikan dan polemik. Banyak batang pohon toru yang terbawa arus deras banjir, menyebabkan kerusakan parah pada rumah penduduk. Banyaknya korban yang tewas, infrastruktur jembatan, dan jalan terputus menyebabkan proses pengevakuasian terhambat.

Dilansir dari Situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana oleh BNPB, jumlah korban yang meninggal sebanyak 914 orang, 520 orang hilang, dan 4.200 luka-luka. Berikut rincian data dari BNPB di ketiga provinsi ini, 359 orang meninggal dan 174 hilang di Aceh, 226 orang meninggal dan 213 orang hilang di Sumatera Barat, serta 329 orang meninggal dan 133 orang hilang di Sumatera Utara.

Selain itu, BNPB juga memberikan keterangan tidak hanya korban tetapi juga kerusakan infrastruktur dan rumah warga. Sebanyak 3.255 infrastruktur mengalami kerusakan, diantaranya 1.300 fasilitas umum, 420 rumah ibadah, 199 fasilitas Kesehatan, 234 gedung/kantor, 697 fasilitas pendidikan, dan 405 jembatan terputus, serta 105.900 rumah warga.

Beragam respon netizen baik di twitter maupun Instagram yang mengaitkan musibah ini dengan pemerintah. Menganggap pemerintah hanya melihat cuan tanpa melihat dampak dari penebangan pohon dan digantikan dengan pohon sawit serta menyudutkan presiden Prabowo .

Baca Juga  Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U20, Indonesia Bisa Apa?

Penyebab dan Respon Pemerintah Pusat

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 24 November 2025 bukan hanya akibat curah hujan ekstrem. Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., mengungkapkan bahwa bencana ini bukan bencana yang terjadi tanpa sebab. Para ahli menilai fenomena ini merupakan bencana hidrometerologi yang kian meningkat sejak dua dekade terakhir. Kejadian ini merupakan kombinasi faktor alam dan ulah manusia.

Kala itu curah hujan memang sangat tinggi. BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur hujan lebih dari 300 mm per hari. Selain itu, curah hujan ekstrem ini dipicu oleh Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November. Hal ini diperparah oleh rapuhnya benteng alam di Kawasan hulu, ujar Hatma di Kampus UGM.

Kerusakan ekosistem hutan di hulu Sumatera menghilangkan daya tampung untuk meredam curah hujan yang tinggi. Artinya, hilang pula fungsi hujan sebagai pengendali daur air dan mengendalikan erosi. Hutan diibaratkan spons raksasa yang mampu menyerap air hujan ke dalam tanah.  

Banyak sudut pandang yang menyalahkan pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto. Serta, mengaitkan dengan video wawancara yang dilakukan oleh Harrison Ford bersama Menteri Kehutanan 2013 pada waktu itu, Zulkifli Hasan. Seolah-olah bencana ini murni akibat keserakahan negara dan pengabaian terhadap hutan yang tidak sayang dengan hutan demi meraup keuntungan.

Algoritma media sosial memperkuat narasi yang menyalahkan, membuat ruang empati kian menyempit. Kontras yang sebenarnya, pemerintah dibalik layar sedang berusaha keras untuk dapat menyalurkan bantuan.

Upaya pemerintah di lapangan nyaris tak terlihat karena tenggelam oleh potongan video, caption emosional, dan tafsir politik. Mengaitkannya dengan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Prabowo–Gibran.

Baca Juga  Indonesia Terancam Radikalisme: Fakta atau Mitos?

Berdasarkan kejadian diatas pada faktanya pemerintah pusat telah mengerahkan berbagai kementerian dan lembaga untuk percepatan bantuan. Bapak Presiden memberikan instruksi agar kejadian bencana ini menjadi prioritas nasional dengan jaminan dana dan logistik nasional tersedia secara penuh, kata Bapak Pratikno.

Seluruh lembaga kini telah diinstruksikan Presiden Prabowo agar lebih responsif. Fokus utamanya terdapat pada penyelamatan korban, pendistribusian, pemulihan berbagai fasilitas, dan layanan vital. Penanganan nasional dengan mengarahkan seluruh sumber daya pemerintah pusat termasuk dari TNI dan Polri, ucap Pratikno.

Upaya yang dilakukan pemerintah demi kemaslahatan korban bencana banjir bandang ini meliputi seluruh Kementerian kabinet Merah Putih. Seperti, Kemeperin menyalurkan bantuan berupa paket sembako, air minum, pakaian layak pakai dan dukungan logistik lainnya, Kemenko Perekonomian menyalurkan bantuan 40 kepada BNPB berupa makanan-minuman dan alat kesehatan, dan Kementerian Pertanian melepas 207 truk, bantuan logistik dengan total Rp 107,6 miliar bagi masyarakat terdampak di ketiga provinsi.

Stigma Negatif maupun Positif Terbentuk

Berkaitan kejadian bencana ini, menjadi teringatkan bagi penulis melihat sudut pandang Prof. Purwo Santoso, dosen Politik dan Pemerintahan UGM. Sudut pandang tersebut memberikan penjelasan, bahwa Good Governance itu terbentuk sangat tergantung  kacamata yang dipakai untuk menilai baik maupun buruk ketika melihat pemerintah pusat menangani kasus ini. Publik kebanyakan menilai dari apa yang tampak dipermukaan seperti keterlambatan video bantuan, lambatnya kabar evakuasi, dan kisah pilu korban.

Disisi lain. pemerintah yang bekerja dibalik kamera mengalami kendala seperti keterbatasan jalur darat, koordinasi lintas lembaga yang tak selalu dikabarkan secara real time. Sehingga terjadi ruang bias dan kesalahpahaman yang mudah dipelihara melalui potongan konten di media sosial. Melalui pendekatan Narrative Policy Framework (NPF) kejadian ini dapat dikaitkan dengan beberapa penjelasan. Pertama, setting bencana ini ditempatkan sebagai tragedi ekologis sekaligus ujian bagi pemerintah.

Baca Juga  Feodalisme itu Budaya Orang-orang yang Terbelakang, Tidak Relevan untuk Kita Ikuti

Kedua, karakter yang terbentuk mengenai Pemerintah dan aparat, dinarasikan sebagian warganet dengan ambigu. Mereka mengatakan bahwa pemerintah merupakan musuh mereka yang serakah, abai terhadap lingkungan, dan dinilai publik lambat dalam penanganan. Korban bencana hanya menjadi korban keegoisan pemerintah sebab kehilangan rumah, terisolasi, dan menjadi objek pertarungan narasi. Media sosial yang memperkuat persepsi tersebut melalui framing “pemerintah lambat dalam penanganan dan tidak menjadikan status bencana prioritas nasional.

Ketiga, plot narasi dan perjalanan kebijakan yang dimulai dari banjir merusak infrastruktur dan banyak korban jiwa. Warganet menyalahkan pemerintah yang lambat dan mengaitkan dengan Kemenhut. Kerja pemerintah yang tidak tersorot kalah dengan influencer dan bencana menjadi ajang menyalahkan yang seharusnya bahu membahu. Keempat, moral yang dibungkus bahwa bencana ini bukan hanya “Ketetapan Tuhan” tetapi juga tata Kelola lingkungan yang tereksploitasi.

Secara solutif, penulis mendorong kritik terhadap pemerintah untuk reformasi kebijakan lingkungan beserta mitigasi dan komunikasi pemerintah dengan publik. Selain itu, rasa empati dan aksi solidaritas bersama, tanpa mengeluhkan kinerja pemerintah di media sosial

Akhirnya, banjir rob di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara bukan merupakan tragedi ekologi alamiah saja. Tetapi juga bercermin pada kualitas tata kelola dan komunikasi kita antar sesama. Kritik terhadap pemerintah tetap penting, terutama terkait pengelolaan lingkungan dan mitigasi jangka panjang. Namun, di tengah kedaruratan, empati seharusnya berjalan berdampingan dengan akal sehat. Mengakui kelalaian jika ada, tetapi juga melihat fakta kerja lapangan sebelum memvonis siapa pun pemimpin negara ini.

Editor : Ikrima

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Articles
Related posts
Opini

Hutan, Bencana, dan Pesan Langit: Sebuah Refleksi Ekologis

3 Mins read
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 kembali membuka mata kita bahwa alam tengah memberi tanda yang tidak…
Opini

Meluruskan Narasi “Sekolah itu Scam”

3 Mins read
Beberapa waktu lalu media sosial ramai dengan narasi “Sekolah itu Scam”. Narasi ini pertama kali populer setelah dilontarkan oleh influencer ternama, Timothy…
Opini

Bencana Kedua yang Tak Terlihat: Membaca Solastalgia Penyintas Bencana

3 Mins read
Bencana selalu menarik di mata publik, setidaknya untuk beberapa hari. Kamera datang, headline ditulis, dan banjir empati memenuhi linimasa. Namun ketika kamera…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *