Sekilas tentang Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang amat penting dalam penyebaran agama islam di jawa. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman tanah jawa dan memperkuat landasan islami di kalangan masyarakat. Hasil akhirnya, pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Terhitung jumlah pemeluk agama Islam di jawa dinyatakan sebesar 95%.
Sunan Kalijaga memiliki banyak julukan yakni Raden Mas Said, Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, Lokajaya, dan Pangeran Tuban. Pada sejarah tanah Jawa disebutkan bahwa Raden Said merupakan putra Tumenggung Wilatikta yang tak lain merupakan Adipati Tuban serta kakeknya adalah Arya Teja.
Tentang asal usul julukannya, yakni “Sunan Kalijaga” terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam penafsirannya, ada yang mengatakan bahwa Kalijaga berasal dari istilah Jawa yaitu Jaga Kali (penjaga sungai).
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Kalijaga berasal dari sikap Sunan Kalijaga yang teguh pendiriannya dalam menjaga aliran kepercayaan yang hidup di masyarakat. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa kata Kalijaga berasal dari nama sebuah dusun Kalijaga yang berada di daerah Cirebon.
Berdasarkan sejarah tradisional Jawa, para wali menyebarkan Islam di daerah pesisir. Hal ini dianggap cukup efisien karena wilayah pesisir merupakan jalur yang biasa digunakan sebagai aktivitas perdagangan maupun sinkretisme budaya. Sehingga tempat tersebut memiliki tingkat keefektifan yang tinggi untuk penyebaran agama Islam dan agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha yang telah dikenalkan kepada masyarakat yang ada di Nusantara.
Dalam sejarahnya, agama Hindu dan Buddha lebih dulu tersebar di tanah Jawa sehingga kultur budaya masyarakat jawa melekat akan adat kebiasaan Hindu dan Buddha. Menariknya adalah metode dakwah Sunan Kalijaga dalam berdakwah di Indonesia khususnya ditanah Jawa tanpa memicu konflik pertentangan suatu perbedaan kultur.
Metode dakwahnya adalah dengan menyebarkan Islam di tanah Jawa menggunakan budaya sebagai media dakwahnya. Beliau aktif menyebarkan agama Islam dengan mengakulturasi budaya jawa yang disisipi nilai islami seperti Syekh Siti Jenar.
Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Jika melihat esensinya, agama sangatlah identik dengan Kebudayaan. Keduanya merupakan suatu pedoman petunjuk dalam kehidupan manusia. Hanya saja bedanya, agama merupakan petunjuk yang berasal dari Tuhan sedangkan Budaya merupakan petunjuk yang berasal dari manusia.
Juga sebagaimana yang kita ketahui bahwa dakwah merupakan seruan atau ajakan untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Dalam seruan untuk mengajak melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran adalah ajakan untuk mengajak kepada fitrahnya manusia. Sebab manusia senantiasa menginginkan kebaikan dan juga senantiasa tidak menginginkan keburukan atau kemungkaran agar beruntung. Sehingga metode dakwah Sunan Kalijaga sangatlah cemerlang tanpa menentang masyarakat dan Tuhan.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa sebelum Islam sangat kental akan budaya Hindu dan Buddha. Sehingga dalam metode dakwah yang digunakan Sunan Kalijaga sangat cerdik yakni dengan memodifikasi budaya Jawa tersebut untuk disisipkan ajaran dan nilai nilai keislaman. Sebagai contoh kisah Mahabarata yang ia modifikasi secara islami. Sehingga karya karya khas jawa beliau menjadi fenomenal yang dikenal dan diterima luas oleh masyarakat Jawa. Sebab beliau mengakulturasi budaya Jawa dan Islam sehingga ajaran Islam lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat Jawa pada waktu itu.
***
Selain itu, Sunan Kalijaga menurut para peneliti merupakan salah satu anggota Wali Songo yang asli berdarah Jawa. Mungkin hal inilah yang sepertinya membentuk pribadi Sunan Kalijaga sebagai orang Islam yang dikenal sangat kental dengan budaya Jawa. Bahkan semua pengaruh Sunan Kalijaga yang kental dengan budaya Jawa itu dapat kita lihat dari beberapa peninggalan beliau, yakni di antaranya;
Pertama, Serat Dewi Ruci yang merupakan karya sastra yang berisi ajaran ajaran leluhur untuk melakukan kebaikan.
Kedua, Serat Linglung yang merupakan sebuah perjalanan dan pencarian jati diri sebagai manusia yang mengemban sebuah amanah dalam bumi ini. Seperti yang dituliskan dalam suluk ini bagaimana riwayat hidup Sunan Kalijaga secara garis besar.
Ketiga, Tembang Rumekso ing Wengi yang merupakan tembang yang biasanya dipakai dan diajarkan untuk doa sebelum tidur pada malam hari. Di dalamnya berisi kumpulan dari nama nabi dan sahabatnya yang telah diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga Menyebarkan Agama Islam Lewat Budaya
Sunan Kalijaga juga membuat cerita pewayangan yang di dalamnya terdapat nilai keislaman. Di antaranya ada kisah Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
Selain pewayangan, Sunan Kalijaga juga membuat beberapa tembang salah satunya tembang Lir-ilir. Model musik gamelan yang sampai saat ini masih banyak digunakan oleh sebagian masyarakat dan digunakan dalam acara kebudayaan seperti Sekaten yang ada di Yogyakarta.
Sejarah Tembang Lir-ilir menurut beberapa sumber menyatakan bahwa pencipta Tembang Lir-ilir yakni Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga kolaborasi dengan para wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang ketika menciptakan wayang sebagai metode menyebarkan agama Islam.
Dalam pewayangan tersebut, diciptakan wayang yang berwujud empat tokoh punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, Sunan Giri menciptakan Gareng, dan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong.
Strategi dakwah dengan metode ini mengikuti prinsip Wali Songo, yakni “Kenek iwake gak buthek banyune” yakni terjemahannya “menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh.” Itulah filosofi yang gunakan Wali Songo dalam metode dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir.
Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas akhlak moral. Dimana upaya tersebut dikemas kedalam sastra budaya agar tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja.
Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada oleh Sunan Kalijaga. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa sehingga tidak memicu konflik.
***
Runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir Abad ke-15 yang mana membuat kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu menjadi sangat suram. Terjadinya kerusuhan, perampokan, dan pembegalan dimana mana. Korupsi menjadi merajalela sehingga ajaran agama yang telah terbangun sebelumnya kehilangan substansinya.
Hal ini kemudian dijadikan peluang oleh Sunan Kalijaga untuk memupuk kembali doktrin kepercayaan baru pada masyarakat kala itu. Sehingga banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa.
Pada awal abad ke-16 inilah yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga sebagai situasi yang terang dan lapang yang tersirat dalam bait “mumpung padhang rembulange, mumpung jembar kalangane”. Maka Sunan Kalijaga menyampaikan keadaan ini kepada segenap Adipati bahwa ini sudah saatnya untuk memperbaiki prilaku dan moral sesuai dengan syariat Islam. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang lir-ilir hingga berhasil.
Alasan mendasar Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan media tembang yaitu tidak ingin terjadi konflik yang mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yakni Hindu-Buddha.
Dari hal ini dapat dipahami memiliki makna tersirat yang terkesan sederhana akan tetapi mengandung makna yang sangat dalam apabila dipahami. Sampai saat ini hasil metode dakwah Sunan Kalijaga terus diamalkan dari generasi ke generasi dan menjadi adat budaya sendiri yang dikenal dengan Islam Kejawen.
Editor: Soleh