Sunat Perempuan dan Tradisi
Sunat Perempuan – Sebagai bidan di Praktik Mandiri Bidan (BPM), saya pernah didatangi klien yang meminta bayi perempuannya agar disunat. Saya menanyakan alasan menyunat bayi yang berusia 7 hari itu.
Klien tersebut menjawab karena diminta oleh orang tuanya yang memiliki kepercayaan bahwa sunat perempuan perlu dilakukan sebagai tradisi. Saya menjelaskan kepadanya bahwa dalam kesehatan perempuan tidak dianjurkan sunat, karena berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Selain itu, sunat perempuan tidak menimbulkan masalah kesehatan jika tidak dilakukan.
Sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM) menurut World Healt Organization (WHO) adalah tindakan memotong sebagian atau seluruh alat kelamin bagian luar perempuan bukan atas indikasi medis.
Sunat perempuan merupakan prosedur berbahaya yang sampai sekarang masih dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan ugm.ac.id/6/2/2020, seorang aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, memaparkan bahwa separuh anak perempuan di bawah usia 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia dipaksa melakukan sunat perempuan.
Pada praktiknya, sunat perempuan lebih banyak dilakukan oleh dukun dengan ilmu turun-temurun. Praktik sunat yang umum dilakukan di Indonesia yaitu dengan cara menggores klitoris, padahal bagian ini terdapat banyak pembuluh darah. Apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, menggores bagian ini secara berlebihan dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Alasan di Balik Sunat Perempuan
Sebagaimana ditulis oleh bbc.com/5/2/2019, sunat perempuan dilakukan karena alasan penerimaan masyarakat, pandangan yang salah tentang kebersihan, cara memelihara keperawanan, membuat perempuan “dapat dinikahi” serta meningkatkan kenikmatan seksual pria.
Sunat perempuan memiliki risiko seperti kesakitan hebat, perdarahan, demam, infeksi, syok, hingga kematian. Padahal semua agama menghargai kemanusiaan, terutama Islam.
Samsuriyanto (2021: 27) dalam bukunya yang berjudul Menyelamatkan Negeri (Dari Radikalisme, Covid-19 dan Korupsi) menuliskan bahwa, Islam sangat memuliakan manusia. Maka dari itu, sebagai manusia yang beriman kita perlu untuk memuliakan wanita dengan tidak melakukan praktik sunat perempuan.
Solusi di Era Milenial
Dalam dunia medis, tidak terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang membenarkan tindakan sunat perempuan. Pada dasarnya, bayi perempuan yang lahir telah memiliki alat kelamin yang sempurna.
Tidak seperti laki-laki yang harus disunat untuk menghindari masalah kesehatan. Bidan dan seluruh tenaga medis tidak memiliki kewenangan dalam melakukan praktik sunat perempuan karena tidak termasuk dalam kurikulum kedokteran.
Heni Puji (2006: 22) dalam bukunya yang berjudul Etika Profesi Kebidanan: Sebuah Pengantar menjelaskan bahwa, bidan harus menunjukkan sikap profesional antara lain bertindak sesuai dengan keahliannya. Tidak melakukan tindakan coba-coba yang tidak didukung ilmu pengetahuan profesi dan memegang teguh etika profesi.
Di tingkat birokrasi atau pemerintahan, tampaknya masih belum ada ketegasan hukum yang mengatur praktik sunat perempuan.
Menurut Permenkes No. 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Permenkes No. 1636 /2010 tentang Sunat Perempuan, bahwa sunat perempuan bukan tindakan kedokteran dan belum terbukti manfaat bagi kesehatan.
Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ kemudian diberikan mandat untuk menerbitkan pedoman sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan. Namun, hingga saat ini pedoman yang dimaksud belum juga menemui titik terang.
Kita sudah saatnya berkontribusi menghilangkan praktik berbahaya yang termasuk kekerasan seksual ini. Sebagai bidan, saya harus memberikan edukasi kepada klien terkait sunat perempuan, bahaya serta konsekuensinya.
Langkah kecil yang saya lakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada keluarga terdekat agar dapat menjadi agen perubahan (agent of change) bagi masyarakat sekitar untuk menghilangkan praktik sunat perempuan.
Samsuriyanto (2021: 26) dalam Teori Komunikasi: Membangun Literasi Menganalisis Situasi sebagaimana mengutip Nurudin menjelaskan bahwa, manusia dapat berkomunikasi, belajar dan meminta bimbingan bersama orang lain. Bentuk komunikasi di atas sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Bidan di tingkat desa dapat melibatkan para tokoh masyarakat dan kader kesehatan untuk mengedukasi kelompok-kelompok yang berisiko melakukan sunat perempuan.
Editor: Yahya FR