Ide pembuatan tulisan ini berawal dari diskusi penulis bersama salah seorang kawan yang juga kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Kami berdiskusi soal Sunni dan Syi’ah. Kawan tersebut menyatakan bahwa dirinya menolak Syi’ah secara tegas dan telak. Ia menganggap bahwa Syi’ah adalah kelompok yang berbahaya. Karenanya harus diwaspadai.
Penulis maklum dengan sikapnya yang demikian. Karena gambaran-gambaran soal Syi’ah rata-rata ia dapatkan dari para pembenci Syi’ah. Gambaran yang tentunya penuh sentimen dan jauh dari kata objektif. Ia mendengarkan penjelasan tentang Syi’ah bukan dari ulama Syi’ah dan buku-buku otoritatif (rujukan utama) mereka secara langsung. Akibatnya, kesalahapahaman menjadi hal yang tak terelakkan.
Terhadap kawan tersebut, penulis juga menyampaikan beberapa pandangan penulis terhadap Syi’ah. Dalam menyampaikan pandangan tersebut, karena sadar akan kapasitas diri, penulis merujuk pada ulama-ulama Islam yang secara internasional telah diakui keluasan ilmu dan pandangannya. Di antara ulama yang penulis kutip: Prof. Dr. Yusuf Qardhawi dan Prof. Dr. Ali Jum’ah. Keduanya adalah ulama besar asal Mesir.
Tidak sampai di situ, untuk meyakinkan kawan tersebut, karena pertimbangan sesama kader Muhammadiyah, penulis akhirnya terpaksa mengeluarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh Muhammadiyah terhadap Syi’ah. Hal yang akan menjadi fokus kita pada kesempatan kali ini.
Pandangan Tokoh Muhammadiyah
Sebelum jauh melangkah ke pembahasan utama, penulis terlebih dulu akan menjelaskan sekaligus membatasi siapa saja tokoh-tokoh Muhammadiyah yang penulis anggap bersepakat bahwa Sunni-Syiah tidak usah dipertentangkan. Tokoh-tokoh itu antara lain adalah: (1) Prof. Dr. Amien Rais, (2) Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan terkahir, (3) Prof. Din Syamsuddin. Semuanya adalah mantan ketua umum Muhammadiyah.
1. Amien Rais
Beliau adalah ketua umum Muhammadiyah periode 1995-1998. Melacak bagaimana pandangannya terhadap Syi’ah penulis anggap cukup mudah. Ia adalah cendekiawan muslim Indonesia yang secara pemikiran banyak dipengaruhi oleh Ali Shariati, seorang intelektual asal Iran, yang tentunya bermazbah Syi’ah.
Amien Rais bahkan dalam banyak kesempatan secara terang-terangan mengungkapkan kekagumannya terhadap pemikir Syi’ah tersebut. Beliau bisa dibilang adalah orang-orang yang cukup berjasa mengenalkan pemikiran-pemikiran Ali Shariati di tanah air, terutama melalui buku Ali Shariati yang ia terjemahkan dengan judul: Tugas Cendekiawan Muslim.
Dalam kata pengantar buku tersebut, tergambar dengan terang bagaimana pandangan Amien Rais terhadap Syi’ah. Ia menulis: Dr. Ali Shariati adalah seorang muslim Syi’i. Sedangkan penerjemah adalah seorang muslim Sunni. Dorongan untuk menerjemahkan buku ini bukanlah untuk menawarkan percikan-percikan pemikiran Syi’ah di Indonesia. Bagi penerjemah, perbedaan Sunnah-Syi’ah adalah warisan historis kuno yang telah menyebabkan lemahnya umat Islam secara keseluruhan (hal. IX).
Selain itu, sikap Amien Rais juga dapat kita lihat pada pernyataannya dalam acara Konferensi 6 BKPPI se-Timur Tengah yang diselenggarakan di Aula Universitas Imam Khomeini, Qum. Ia menegaskan: Sunni dan Syi’ah adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah dalam Islam (Ismail Amin: 2014).
Berkat sikapnya tersebut, sebagaimana cendekiawan yang lain, Amien Rais juga tidak lepas dari tuduhan Syiah. Tuduhan tersebut didasarkan pada, selain karena alasan di atas, juga karena Amien Rais teramat sering memuji Revolusi Islam Iran. Pujian tersebut bahkan dibuatkan sub-bab tersendiri dalam bukunya: Cakrawala Islam.
Namun bukan Amien Rais jika masih terusik dengan tuduhan-tuduhan tersebut. Ia hanya menyikapinya santai. Karena ia sepenuhnya sadar bahwa apa yang ia sampaikan masih dalam kerangka objektif.
2. Ahmad Syafii Maarif
Tokoh Muhammadiyah kedua yang akan dijelaskan bagaimana pandangannya terhadap Syi’ah adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Syafi’i. Beliau adalah ketua umum Muhammadiyah setelah Amien Rais.
Buya adalah salah satu di antara cendekiawan muslim Indonesia yang sangat getol menolak sektarianisme. Ia selalu menganjurkan umat Islam agar keluar dari sekat-sekat kelompok dan perpecahan di dalamnya. Ia berharap agar dalam beragama, umat Islam harus senantiasa berpedoman pada Al-Qur’an, sunnah Nabi, akal sehat, dan hati nurani.
Sebagai konsekuensi dari sikapnya tersebut, ia kemudian menolak pengkotak-kotakkan yang sekarang jamak terjadi pada masyarakat Indonesia. Bentuk pengkotak-kotakkan yang paling dekat, dan sering ditentang Buya Syafi’i adalah kotak Sunni dan kotak Syi’ah. Hal ini bisa kita lihat dalam tulisannya: Kotak Sunni, Kotak Syiah, Tinggalkan Kotak!
Dalam tulisannya itu, Buya dengan amat jelas mengharapkan supaya umat Islam tidak usah lagi ribut dan mempertentangkan masalah Sunni dan Syi’ah. Karena keduanya adalah sekte yang lahir pasca wafatnya Nabi. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Rasulullah.
Buya menulis: Baik Sunnisme maupun Syi’isme, seperti telah disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.
Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak sunni dan kotak syi’i itu karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat (Jurnal MAARIF: 2015).
3. Din Syamsuddin
Tokoh yang terakhir adalah Din Syamsuddin. Putra kelahiran Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Beliau adalah ketua umum Muhammadiyah pasca Buya Syafi’i. Sebagaimana Amien Rais, mengetahui sikap Din terhadap Syi’ah juga tidak susah. Pernyataan dan pikiran-pikirannya soal Syi’ah banyak terpampang di media nasional.
Hal ini misalnya dapat kita lihat pada respon beliau terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur tentang kesesatan Syi’ah. Terkait fatwa tersebut, sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Din mengatakan: Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syi’ah adalah sama-sama muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apa pun mazhabnya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa baik Sunni atau Syi’ah, sama-sama memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Karenanya ia harus disikap dengan mengedepankan sikap saling menghargai dan penuh tolerasi. Lagi pula, masih menurut Din, kedua kelompok itu lahir setelah masa Nabi. Makanya harus dipandang secara kritis dan tidak perlu dipertentangkan.
Rekomendasi
Sebagai akhir dari tulisan ini, dengan menampilkan sikap dan pandangan tokoh-tokoh Muhammadiyah di atas, penulis mengharapkan agar warga Muhammadiyah tidak ikut terseret dalam pusaran konflik Sunni-Syi’ah. Karena, meminjam bahasa Buya Syafi’i, konflik Sunni-Syiah saat ini tidak terlepas dari kompetisi antara dua kekuatan tradisional di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi dan Iran.
Warga atau kader Muhammadiyah, sebagaimana karakter Muhammadiyah yang moderat, harus bijak dan arif dalam memandang perbedaan dan keragaman pandangan. Warga Muhammadiyah, dalam menyelesaikan masalah, harus senantiasa mengedepankan dialog dan tidak menggunakan tindakan-tindakan represif sebagaimana halnya pada tragedi penyerangan warga Syi’ah di Sampang, Madura.