Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak informasi berseliweran yang keliru dan tidak dapat diverifikasi. Hal tersebut karena literasi, terutama membaca, belum menjadi budaya di negeri ini.
Membaca, sebagai sebuah budaya, sebetulnya merupakan salah satu perintah Tuhan, sekaligus wahyu pertama kepada Nabi Muhammad. Wahyu pertama tersebut diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, ketika beliau sedang bertafakur di Gua Hira. Saat itu, Jibril menyuruh Nabi Muhammad untuk membaca, tetapi Nabi mengatakan bahwa beliau tidak mampu membaca. Jibril terus menerus menyuruh Nabi untuk membaca, meski Nabi sudah melontarkan jawaban yang sama.
Pada akhirnya, Jibril pun mengatakan “bacalah (dengan) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan qalam (pena). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Kalimat tersebut merupakan surah Al-Alaq ayat 1-5, sekaligus wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Apa yang dimaksud membaca dalam surah tersebut? Mengapa wahyu pertama justru adalah perintah untuk membaca, bukan perintah untuk salat, zakat, puasa dan ibadah lainnya?
Apa yang Harus Dibaca?
Surah Al-Alaq memang tidak secara eksplisit menjelaskan apa obyek yang harus dibaca. Kitab suci memang tidak boleh dipahami secara tekstual semata. Ia perlu dipahami secara kontekstual. Berkat usaha para pakar tafsir dalam membedah makna ayat-ayat dalam kitab suci, teka-teki di dalamnya pun dapat dipecahkan.
Dalam Tradisi Baca Tulis dalam Kajian Terhadap Teks Al-Qur’an Surah Al’Alaq Ayat 1-5 oleh Mustolehudin, Quraish Shihab menjelaskan bahwa membaca dalam lima ayat surah tersebut berarti melakukan aktivitas menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan menghimpun ilmu pengetahuan, dan informasi yang diperoleh oleh seseorang. Quraish Shihab mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dari membaca dapat berupa pengetahuan umum ataupun agama. Jadi, obyek bacaan dalam surah Al-Alaq tersebut tidak terbatas pada ayat-ayat tertulis dan bacaan yang bersumber dari Tuhan semata.
Mengutip skripsi Mirnawati berjudul Urgensi Membaca dalam QS Al-Alaq Ayat 1-5 dan Implementasinya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Chabib Toha menjelaskan bahwa semangat membaca dalam surah Al-Alaq memiliki empat prinsip, yaitu: 1) Membaca Asma dan kemuliaan Allah; 2) Membaca teknologi genetika; 3) Membaca teknologi komunikasi; dan 4) Membaca segala yang belum terbaca.
Sudah jelas, bahwasanya obyek bacaan yang terdapat dalam surah Al-Alaq sangatlah luas. Melalui kegiatan membaca, manusia dapat memahami apa yang ada di sekelilingnya. Membaca adalah kunci untuk menguak rahasia alam raya, dan mengenal Tuhan sebagai pemilik pengetahuan yang sempurna.
Membaca untuk Memahami Agama
Perintah untuk membaca memang tidak termasuk ke dalam rukun Islam. Namun, Tuhan jelas punya alasan mengapa membaca menjadi perintah pertama sebelum salat, puasa, ataupun zakat. Hal tersebut, tentunya, karena beragama harus disertai dengan ilmu, dan ilmu dapat didapatkan dengan membaca.
Seseorang yang beragama tanpa dilandasi dengan ilmu, maka keberagamaannya akan terasa hambar. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup, akan mudah sekali untuk menghakimi cara beragama orang lain karena ketidaktahuannya. Semangat keagamaan yang menggebu-gebu, tanpa dibarengi dengan ilmu, akan membuat seseorang terjebak pada fanatisme.
Oleh karena itu, dalam Islam, terdapat spesifikasi ilmu yang membahas persoalan-persoalan agama seperti misalnya fikih dan kalam. Fikih berisi pembahasan mengenai tata cara ritual ibadah atau hukum-hukum Islam, sementara kalam berisi pembahasan mengenai masalah ketuhanan dengan pendekatan rasional. Berbagai persoalan keagamaan sudah memiliki porsinya tersendiri dalam Islam.
Namun, umat Muslim seringkali terlihat enggan untuk mempelajari agama. Alih-alih belajar agama dari membaca dan belajar dari orang yang diakui kapabilitasnya, mayoritas Muslim terutama generasi muda saat ini lebih suka belajar agama secara instan melalui media sosial. Fenomena ini patut disayangkan, karena umat Muslim seakan-akan mengabaikan perintah Tuhan untuk membaca, terutama dalam melakukan telaah kritis.
Seandainya mayoritas Muslim Indonesia hari ini memiliki kesadaran yang tinggi terhadap membaca, barangkali Islam akan menancapkan kejayaannya kembali, dan menjadi agama terdepan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, seperti pada masa silam.
Editor: Ahmad