IBTimes.ID – Baru baru ini, SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merilis hasil survei terkait situasi dan kondisi toleransi siswa Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan pada tahun 2023.
Program Manager HAM & Demokrasi INFID Abdul Waidl menyampaikan, ada beberapa temuan dari hasil surveinya itu. pertama, ada kecenderungan positif dari Gen Z untuk semua pertanyaan terkait dengan toleransi. Sebanyak 99,3% responden memberikan penerimaan terhadap perbedaan keyakinan, 99,6% penerimaan perbedaan kelas dan etnis, lalu 98,5% penerimaan perbedaan agama dan keyakinan, kemudian 93,8% penerimaan terhadap kesetaraan gender. Ini angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tetapi di samping itu, kata Abdul Waidl dalam Live Interview bersama Liputan6 (9/8/23) ada catatan penting yang perlu kita garisbawahi. Salah satunya adalah ketika pernyataan-pernyataan itu diuji secara lebih ideologis, kecenderungan toleransi semakin menurun.
“Jadi misalnya ada pertanyaan, apakah bisa menahan diri melakukan kekerasan dalam merespon penghinaan terhadap agama yang dianut, itu 20,2% responden mengatakan tidak bisa menahan diri. Lalu setengah 51,8% responden setuju kalau negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Australia, dianggap sebagai ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia,” ungkapnya.
Memang secara kognitif mereka mengatakan tidak menerima terhadap ekstrimisme. Tetapi ada kekhawatiran ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya ideologis. Hal ini terlihat pada sikap dan tindakan, mereka justru memiliki kecenderungan untuk berbuat ekstrem.
Kedua, tentang syariat Islam atau Pancasila sebagai landasan negara. Ada 56,3% responden itu setuju dengan syariat Islam sebagai landasan bernegara. Dan sebanyak 83,3% responden itu mengatakan Pancasila bukan ideologi yang permanen, alias bisa diganti.
“Jadi berdasarkan 12 pertanyaan yang kami ajukan, kami mendapatkan indeks seperti ini. Ada 0,6% pelajar SMA itu punya potensi terpapar; sebanyak 5,0% itu intoleran aktif, 4,2% intoleran pasif, dan 70,2% itu toleran. Jadi, yang toleransi itu ada 70% tetapi yang sudah terpapar intoleran itu hampir mencapai 30%,” ungkapnya.
Menurut Abdul Waidl, hasil temuan di atas memberikan indikasi sekaligus evaluasi bagi kita semua bahwa pemahaman terhadap Pancasila sebagai sebuah landasan bernegara itu masih kurang dan masih ada pemahaman untuk mempertentangkan antara syariat Islam dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
“Jadi bahkan kami memandang, mereka tidak bisa membedakan antara ideologi dan agama sejak dini,” imbuhnya.
(Soleh)