Falsafah

Simulakra Jean Baudrillard: Hidup Manusia Modern Hanyalah Simulasi

3 Mins read

Jean Baudrillard muncul sebagai pemikir postmodern yang namanya patut diperhitungkan. Gagasan fenomenalnya adalah Simulakra dan Simulasi. Baudrillard memulai pemikirannya dengan mengkritik Marx dan Marxis tradisional. Baginya, gagasan mode of production milik Marx sudah tidak relevan di zaman modern ini. Dewasa ini proses produksi bukanlah suatu hal yang utama dalam kehidupan, posisinya sudah digeser oleh pola konsumsi.

Masyarakat tidak lagi memandang siapa yang paling banyak memproduksi tapi siapa yang paling banyak mengkonsumsi. Sebagai orang yang memiliki banyak uang belum tentu bisa terpandang dalam masyarakat kalau berpenampilan sederhana. Berbeda dengan orang yang memiliki mobil mewah, pakaian bagus, barang-barangnya bermerek, ia pasti akan dinilai kaya walaupun beli barang tersebut dari hutang. Tolak ukur masyarakat dalam memberikan penilaian adalah lewat seberapa banyak yang dikonsumsi seseorang.

Fenomena di atas oleh Jean Baudrillard disebut sebagai simulakra. Dalam konsep simulakra Baudrillard ingin menjelaskan bahwa, kehidupan manusia modern terbentuk oleh pikiran imajiner. Dengan demikian realitas yang hadir dalam hidup manusia sudah kehilangan esensinya. Manusia digiring untuk meyakini sesuatu yang abstrak padahal itu belum tentu konkrit. Mereka juga terjebak dalam simbol-simbol yang manipulatif. Seperti halnya ketika membeli sebuah barang, manusia hari ini kebanyakan tidak melihat daya gunanya tapi melihat simbolnya atau mereknya. Tidak melihat esensi barang yang dibeli tapi melihat seberapa ternilai simbol itu dalam masyarakat.

Simulakra membawa manusia modern pada kehidupan yang melampaui realitas sehingga penuh dengan kebohongan (hiperrealitas). Banyaknya hal yang manipulatif membuat hidup manusia semakin kacau. Dampak buruk yang dihasilkan begitu banyak dan masuk secara halus dalam hidup manusia.

Konsumsi Simbol

Manusia menjadi makhluk yang cukup kuat dalam mengkonsumsi simbol. Orientasi konsumsi bukanlah untuk memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk memenuhi gaya hidup. Manusia lebih mementingkan simbol daripada kegunaan. Mereka mengkonsumsi sesuatu untuk kebutuhan status, kebutuhan gengsi, kebutuhan citra bukan karena kegunaannya. Konsumsi seperti ini oleh Herbert Marcus disebut sebagai konsumsi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan palsu. Suatu konsumsi yang sebenarnya tidak dibutuhkan tapi tetap dilakukan.

Baca Juga  Maqasid al-Shari`ah sebagai Basis Teori Keadilan Sosial

Drugstore

Jean Baudrillard menyebutkan bahwa dewasa ini banyak drugstore atau toko-toko yang beroperasi 24 jam penuh. Toko tersebut berupa supermarket 24 jam atau toko online yang bisa kapan dan dimana saja bisa diakses. Manusia diiming-imingi untuk menikmati kebutuhan secara mudah dengan adanya drugstore. Semua kebutuhan bisa didapatkan kapanpun dan  dimanapun tanpa kesulitan. Hadirnya toko yang beroperasi selama seharian penuh adalah sebuah upaya untuk menekan konsumerisme.

Kenyamanan dan kemudahan dari drugstore telah memanipulasi manusia sehingga lupa bahwa hal tersebut sebenarnya proses dehumanisasi. Manusia tidak sadar bahwa mereka adalah komoditas yang diserap terus-menerus. Manusia sebenarnya sedang dieksploitasi oleh para pemilik drugstore itu. Namun, mereka lalai karena sudah terlelap pada manipulasi kejam yang telah terbiasa dilakukan itu.  

Distingsi

Simulasi dalam kehidupan manusia bisa menambah distingsi atau jarak sosial. Manusia terpetakan tidak hanya karena persoalan kaya dan miskin. Hiperrealitas bisa memetakan manusia berdasarkan seleranya. Seperti misalnya, ada pemisah antara orang yang suka angkringan dengan orang yang suka warung kopi mewah. Anggapan yang muncul adalah orang yang suka ngopi di angkringan memiliki budaya rendahan. Sedangkan orang yang ngopi di warung kopi yang mewah memiliki budaya tinggi.

Keduanya merupakan bentukan dari simulakra yang membentuk daya imajiner palsu. Belum tentu orang yang suka angkringan itu miskin atau rendahan, sebaliknya belum tentu yang suka warung kopi mewah adalah kelas atas. Berdasarkan realitas ini simulakra memunculkan kelas pemisah baru.

Runtuhnya Ruang Publik dan Berakhirnya Kehidupan Sosial

Simulakra membawa manusia kontemporer pada kemabukan komunikasi. Baudrillard menyatakan bahwa, dalam dunia modern ruang publik bukanlah tontonan dan ruang privat bukanlah rahasia. Semua bercampur menjadi satu dan menyebabkan kekacauan dalam aspek kehidupan.

Baca Juga  Eksistensi Tuhan: Argumentasi Ontologis dan Kosmologis

Manusia tahu ruang privat orang lain karena aktivitas media sosialnya. Hal ini menghilangkan privasi dari tiap manusia melalui virtualisasi media. Selain ruang publik yang runtuh kehidupan sosial pun juga akan runtuh. Semua orang bisa berinteraksi dengan orang lain tanpa bertemu secara langsung. Mungkin dalam keadaan ini manusia tetap berinteraksi lewat virtual. Akan tetapi, itu hanya sebuah upaya untuk memanipulasi manusia.

Mereka dibuat seakan-akan berinteraksi tapi itu bukanlah komunikasi yang sejati. Hilangnya interaksi langsung antar manusia membuat dinamika sosial mati. Persentuhan yang dilakukan secara tidak langsung semakin hari menggerus sifat sosial manusia. Manusia berubah menjadi pribadi yang sangatlah individualis, sehingga kepekaan terhadap realitas sosial berkurang.

Konklusi

Apa yang telah dipaparkan oleh Jean Baudrillard memang fenomena yang benar terjadi. Manusia hidup dalam ruang manipulatif. Semua terasa nyata tapi sebenarnya itu hanyalah simulasi yang dibuat. Manusia gemar mengkonsumsi simbol-simbol dan memilih untuk bersikap individualis. Namun, manusia tidak merasakan bahwa pada titik itu mereka salah. Perasaan tidak bersalah tersebut tertutupi oleh kenyataan yang bias. Mereka tidak merasa salah karena mereka yakin bahwa itu nyata bukan rekaan. Padahal, kehidupan manusia modern sebenarnya hanyalah simulasi dari kenyataan yang sejati.

Pembacaan Baudrillard terhadap kehidupan hari ini cukup tajam dan rinci. Uraian di atas merupakan sebuah analisa hebat yang lahir dari Baudrillard. Pemahaman mengenai realitas postmodern semakin terang. Dibantu dengan analisa yang ciamik tersebut haruslah lahir sikap yang jelas dalam menjalani hidup di zaman serba baru ini.

Sebagai manusia yang beragama harus mampu memposisikan diri sebaik mungkin. Jangan sampai terbawa pada arus yang kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia tersebut. Dehumanisasi yang diakibatkan simulakra harus dilawan semaksimal mungkin. 

Baca Juga  Konsep Being Menurut Jean Paul Sartre dan Muhammad Iqbal

Sebagai suatu produk analitis, pemikiran Baudrillard cukup membantu manusia dewasa ini dalam menghadapi tantangan zaman. Dari hasil analisa tersebut, kita bisa menentukan jalan untuk melanjutkan hidup. Oleh karena itu, pemikiran barat tidak bisa ditolak begitu saja sebagai pemikiran yang haram. Memang sebagai pemeluk agama Islam kita harus menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pondasi kehidupan. Akan tetapi, perlulah ada sedikit kelonggaran untuk menerima pemikiran barat sebagai alat bantu melihat realitas dunia modern ini.

Editor: Soleh

Muhamad Fatkhul Huda
1 posts

About author
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Kudus
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *