“Prinsip utama Survival Management adalah menerima realitas tanpa diikuti kecemasan berlebihan. Di satu sisi peka terhadap krisis, di sisi lain bersikap positif sehingga tidak kehilangan harapan dan larut dalam kecemasan”
(DR. A.B Susanto)
Kita bisa lihat dan cermati bersama di mana sekarang adalah era yang sangat fluktuatif. Naik turun irama global mewarnai kehidupan, analisa terhadap ekonomi pun kian sulit diprediksi, dan ketahanan model bisnis diharuskan berubah setiap saat. Selamat datang di era tak menentu, era turbulensi yang membuat orang tidak siap menjadi tenggelam, yang membuat orang tidak mau berubah menjadi hancur tak terselamatkan.
Kesiapan Organisasi yang Dipertanyakan di Era Turbulensi
Kita yang hidup di era ini tidak bisa berprinsip pada masa lalu yang mebawa kesuksesan. Kita hidup di era turbulent, mau tidak mau akan berhadapan dengan segala keberagaman situasi dan kondisi dan kita harus siap dengan resiko yang dihadirkan.
Kesiapan organisasi memasuki era ini sangat amat dipertanyakan. Bagaimana strateginya? Apa aja action plan untuk mempersiapkan segala resiko? Bagaimana re-branding produk dengan musuh – musuh baru yang muncul? Banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga dibuatlah matriks jawaban, apakah organisasi kita pantas layak tetap hadir berkontribusi di era fluktuatif ini.
Banyak eksekutif berada di puncak dalam beberapa tahun terakhir di mana setelah periode panjang yang cukup sukses, mereka telah jatuh dan tereliminasi. Atau kita bisa lihat orang-orang yang kita kenal di posisi yang kurang menonjol, mungkin orang yang mempelopori inisiatif perubahan signifikan dalam organisasi mereka, yang tiba-tiba mendapati diri mereka keluar dari pekerjaan.
Jika kita berpikir bahwa yang terjadi itu adalah diri kita dalam menjalankan kepemimpinan, apakah kita pernah dipindahkan atau disingkirkan? Sebagai pemimpin dalam menciptakan sebuah kesuksesan dalam organisasi adalah nawacita yang baik, akan tetapi kesuksesan tersebut tidak bisa menjadi garansi lifetime yang lama bagi organisasi tersebut. Diperlukan adanya modifikasi atau sesuatu yang baru dari waktu ke waktu. Sebuah cara lama tidak bisa menjadi standar lagi untuk kesuksesan di masa depan.
Dalam era yang tak menentu ini ditambah dengan banyaknya kasus pandemi COVID 19 (corona virus) menyebabkan gonjang – ganjing performa kinerja organisasi, di mana terdapat mekanisme proses bekerja berbeda dari biasanya. Ada yang kerja di kantor dengan pembatasan jumlah orang, ada yang kerja dari rumah atau biasa disebut work from home (WFH), ada yang integrase dengan virtual learning atau virtual job, dan masih banyak lagi hal yang berbeda dilakukan.
Ini jelas merubah ritme proses internal organisasi, apa yang dihasilkan organisasi entah itu produk atau jasa akan mengalami perubahan drastis dan berefek pada internal. Perubahan tersebut bisa jadi perubahan yang positif atau justru perubahan negatif. Bagaimana bila sebuah organisasi mengalami perubahan negatif? Artinya output produk atau jasa yang ditawarkan tidak dilirik oleh market sama sekali.
Kepemimpinan Mejadi Kunci
Era ini menekankan mengenai pentingnya pemimpin untuk mempelajari pengetahuan dan melakukan analisis mendalam untuk merencanakan dan melaksanakan aksi. Terdapat fource majour plan yang harus disiasati agar siap menghadapi berbagai situasi. Kondisi ini menekankan mengenai pembelajaran dan aksi untuk mempertahankan diri (survival) dan berkembang (growth).
Kata kunci pertama adalah survival, bertahan dulu saja. Eksistensi organisasi diuji berbagai problem yang ada, sehingga sebagai pemimpin harus mengambil sikap bagaimana untuk bertahan terlebih dahulu. Bertahan adalah cara pertama dan yang perlu dilakukan. Dengan bertahan, organisasi ada peluang terbuka untuk terus eksis, tumbuh dan berkembang. Ketika organisasi tersebut tidak bisa bertahan, maka rencana sebesar apapun untuk tumbuh dan berkembang akan hanyut kelam.
Pemimpin memiliki kekuatan untuk plan, do, check dan action (PDCA). Siklus ini menjadi tools modal dalam mengevaluasi seluruh kinerja organisasi. Pemimpin harus bisa mengarahkan fokus dalam mengatasi zaman yang penuh dengan lika – liku. Ada persiapan yang benar – benar matang, tidak bisa dikesampingkan ataupun ditunda.
Adanya pandemi virus tersebut, ekonomi berbagai negara lesu dan daya juang market pun berubah drastis. Maka pemimpin segera merubah sebuah kebiasaan elemen organisasinya, semua harus berpikir sama, yakni bertahan. Survival mode culture menjadi perjuangan berat untuk mempertahankan eksistensi organisasi, dan pemimpin harus mengarahkan semangat kea rah tersebut.
Untuk menciptakan survival mode culture adalah dengan membangun sebuah survival sense dalam lingkup organisasi. Pemimpin mengajak seluruh elemen organisasi agar memiliki budaya “bertahan”, budaya mawas diri dan selalu siap dengan segala kondisi. Survival sense adalah langkah awal dalam menerapkan budaya bertahan.
Bertahan sengan strategi – strategi yang baik serta massive dalam implementasi strategi. Bila tidak bisa bertahan dengan baik, maka pondasi – pondasi organisasi yang sudah dibangun sejak lama akan runtuh diterjang badai kompetitor baru yang tak terlihat. Bangunlah survival sense dalam lingkungan organisasi, bentuklah survival mode culture agar organisasi kita tetap ada, tetap bisa tumbuh dan berkembang serta berkontribusi pada Bangsa dan Negara.
Gambar 1. MAPS on Survival (source: Author)
Ramuan Kuat Bertahan dengan MAPS
Untuk membudayakan strategi survival mode adalah dengan pendekatan MAPS, yakni massive, agile, persistence dan spirit. Ini empat ramuan jamu yang handal bagi seorang pemimpin untuk mengajak semua elemen organisasi turut bertahan dalam era turbulent dan tetap memberikan kinerja terbaik bagi performa organisasi.
Massive artinya masal, bergerak secara besar. Artinya segala rancangan program strategis harus digerakkan secara besar – besaran dari atas sampai bawah sub ordinat organisasi merasakan manfaat program tersebut. Agile yang bermakna lincah atau gesit. Segala problem organisasi dikerjakan secara tuntas dan cepat, tidak berlarut – larut sehingga memberikan dampak luar biasa bagi keberlangsungan organisasi.
Persistence berarti tekun atau gigih. Pemimpin mengajak semuanya turut gigih dan semangat dalam melakukan perbaikan sehinggan survival sense bisa digelorakan. Dan tak kalah penting adalah spirit yang artinya semangat. Tanpa semangat apalah arti semua program strategis, hanya wacana implementasi.
Maka MAPS menjadi panduan untuk menggerakkan budaya survival mode dan ini tugas pemimpin bersama seluruh anggota organisasi agar organisasinya tetap eksis sehingga bisa tumbuh berkembang dan bahkan bisa bersaing dengan kompetitor – kompetitor pemain baru tak terlihat. Selamat menajalankan Survival Mode Culture!