Jika anda pernah merasakan hidup dalam tubir kemiskinan, maka tenanglah. Ini karena, penderitaan hidup tidak membuat kita kehilangan apapun, apalagi orang yang dicintai. Karena ada yang lebih miskin. Ia adalah Syafii Maarif yang harus kehilangan anaknya ketika lahir karena kurang gizi dan meninggal dalam pangkuan istri dan dirinya.
Jika anda merasa kredit cicilan terasa memberatkan, maka kuatkanlah. Ini karena, ada seseorang yang berhutang meskipun itu sebenarnya bisa menjadi haknya. Di penghujung periode kepemimpinannya di Muhammadiyah ternyata buya Syafii mendapatkan uang dari seorang donatur.
Ia pikir uangnya itu untuknya, tetapi untuk Muhammadiyah. Ia pun menggantinya. Tidak dengan membayar lunas, karena ia tidak memiliki uang sebanyak 70 juta. Uang itu pun dibayarnya dengan cara mencicil. Padahal, kalau ia mau, ia bisa langsung orang berkuasa di negeri ini untuk membayar uang cicilannya yang seberapa itu.
Meminjamkan Uang kepada Orang yang Tak Dikenal
Jika anda merasa bodoh karena meminjamkan uang kepada orang karena khawatir tidak dikembalikan, maka tidak perlu khawatir. Ada yang lebih bodoh dari itu. Ia adalah tetangga barunya Syafii Maarif. Ia merasa kebingungan karena harus menutup hutang dari usahanya yang rugi.
Ia kebingungan mau pinjam dengan siapa. Ia lalu datang ke rumah Syafii Maarif. Ia mengetuk pintu dan berkehendak meminjam uang. Alih-alih tahu menanyakan lebih jauh siapa orang yang meminjamkan uang tersebut.
Syafii Maarif lalu memintanya untuk membuat surat kuasa di atas kertas. Agar ia dapat ke Bank untuk mendapatkan uang sebesar 15 juta sebagai pinjaman di tengah ke tergesa-gesa Syafii Maarif ingin ke bandara, “Tidak usah kamu pikirkan kapan uang itu diganti”. Sebagaimana kisah ini diceritakan Sanjaya Kuss Indarto.
Kecintaan Syafii Maarif kepada Mu’allimin
Jika anda merasa jatuh cinta kepada seseorang dan memberikan semua yang anda punya, itu merupakan tindakan yang biasa. Ini karena, ada orang yang lebih gila dari anda. Ia adalah Syafii Maarif.
Setelah gedung Madrasah Muallimin Yogyakarta runtuh karena gempa di Jogja, ia orang yang paling sibuk menjadi ketua panitia. Mencarikan uang untuk pembangunan gedung sekolah warisan Ahmad Dahlan, tempat di mana ia belajar dahulu.
Tidak sedikit yang mengkritik bangunan itu sekuat banteng karena ada yang memberikan sumbangan cukup besar. Tapi ia tidak peduli. Baginya, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta adalah cinta mati untuknya. Di sini ia merasa pengetahuan dasarnya dibentuk di sini.
Syafii Maarif: Tak Pernah Absen dari Masjid
Jika anda merasa jauh dari masjid karena terlalu sibuk, maka tidak usah gundah. Ini karena kita sudah ada wakil kepala batu yang selalu mendekatkan hatinya untuk bersujud di masjid dan salat tepat waktu.
Ia adalah Syafii Maarif tokoh yang dianggap Islam liberal bagi yang tidak menyukai pemikirannya. Padahal, ia adalah orang yang paling kepala batu agar selalu tunduk untuk salat tepat lima waktu. Ia juga yang selalu memaksakan diri untuk wajib ke masjid saat berada di rumahnya.
Jika anda pernah merasakan bahwasanya Pancasila bukan bagian dan tidak sesuai dengan Islam. Maka, anda gift perlu gelisah. Jauh sebelum anda, ada figur Syafii Maarif yang sangat menantang Pancasila menjadi fondasi bangsa Indonesia.
Ia bahkan pernah mengutuknya sebagai kafir. Namun, melalui interaksi gurunya Fazlur Rahman, ia justru yang menjadi pembela keras Pancasila sebagai bagian dari Islam. Ia bahkan percaya bahwasanya Pancasila inilah yang bisa menaungi kemajemukan masyarakat Indonesia.
Berdiri di Atas Kebenaran, Tak Peduli Harga Diri
Jika anda merasa harga diri lebih penting ketimbang dengan mengatakan kebenaran, maka anda sudah benar. Jangan tiru Syafii Maarif. Ia membela Ahok dengan mengatakan tidak bersalah di tengah gelombang pasang umat Islam sedang marah kepadanya.
Syafii Maarif tidak gentar. Ia merasa tidak ada yang perlu dipertaruhkan, meskipun harus kehilangan nama besar yang dibangunnya dengan air mata dan dedikasi yang keras. Parahnya, dalam melakukan itu, ia pun tidak mendapatkan apa-apa atas apa yang dibelanya. Kecuali, caci maki yang justru datang dari anggota organisasi yang ia turut membesarkannya.
Setia untuk Mengayuh Sepeda
Jika anda merasa bahwasanya kurang berolahraga dan kemudian membeli sepeda agar bisa lebih bergerak. Anda sudah dalam jalan yang benar. Jauh sebelum itu, ada lelaki tua yang mengayuh sepeda ontelnya sendiri di jalan-jalan keras Jogja yang tergantikan dengan revolusi motor leasing.
Ia sendiri untuk menghadiri pengajian Muhammadiyah dan acara-acara Muhammadiyah. Ia bukan tidak mampu untuk membeli sepeda terbaru yang paling mahal dan keren seperti model terbaru saat ini. Ini karena itulah jalan hidupnya, yang sulit diterima oleh dunia yang membutuhkan solek editan di dunia maya.
Jika anda merasa marah dengan antrian panjang untuk menyelesaikan sebuah kebutuhan adminstrasi ataupun berada di rumah sakit. Anda berhak untuk melakukan kemarahan itu. Ini karena, ada orang yang memiliki hak istimewa tapi ia tidak mau melakukannya.
Dia lelaki bodoh yang mau mengantri dengan sabar saat berada di rumah sakit milik Muhammadiyah untuk berobat. Padahal, ia bisa langsung menelepon ayahanda Haedar Nashir untuk memanggil dokter terbaik Muhammadiyah langsung ke rumahnya.
Kesederhanaan Syafii Maarif dan Pemimpin Muhammadiyah Lainnya
Muhammadiyah memang memiliki banyak usaha dengan bangunan yang sangat megah. Muhammadiyah memiliki aset triliunan rupiah. Namun, para pemimpinnya tidak pernah terlihat semegah bangunan yang dibikinnya.
Kesederhanaan dan kesajahaan adalah ciri khas organisasi modern Islam, begitu juga orang yang memimpinnya. Buya Syafii Maarif adalah figur pemimpin yang mewarisi tradisi kesederhanaan dalam Muhammadiyah itu.
Pengalaman hidup yang pahit karena kemiskinan ekonomi sekaligus kehilangan anak-anaknya yang meninggal karena kurang gizi membuatnya belajar tentang kerendahan hati, “Saya bisa seperti sekarang, bukan karena kehebatan saya, tapi semata-mata karena belas kasihan laut yang mendorong ombak membawa saya akhirnya sampai ketepian”.
Selamat jalan Buya Syafii Maarif. Sungguh, bukan Indonesia yang merasakan kehilangan guru bangsa dan kader terbaik Muhammadiyah, melainkan kebanyakan dari kami, orang biasa, yang merasa betapa hidup sia-sia melakukan kebaikan-kebaikan kecil pada orang yang tak dikenal, padahal itu memberikan dampak yang besar.
Editor: Yahya FR