IBTimes.ID – Di Bulan Ramadhan kali ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan agenda rutin tahunan Pengajian Ramadhan 1442 H yang diselenggarakan sejak tanggal 16-18 April 2021 M dengan tema “Tajdid Organisasi: Muhammadiyah di Era Perubahan”. Pengajian kali ini diselenggarakan via Zoom Meeting yang dipanitiai oleh civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam kesempatam bicaranya, Syafiq Mughni berbicara tentang tema “Rekonstruksi Nilai, Etika, Budaya Organisasi Muhammadiyah”
Budaya Fundamental Muhammadiyah Menurut Syafiq Mughni
Syafiq Mughni mengatakan bahwa Muhammadiyah mempunyai budaya-budaya organisasi yang senantiasa harus dijaga dan dirawat. Dalam kesempatannya, Syafiq Mughni memaparkan “Budaya Fundamental” yang selama ini dirawat dan harus selalu dikembangkan dalam Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah adalah gerakan yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunah. Menurut Syafiq, budaya ini menjadi garis perjuangan yang penting bagi Muhammadiyah, bukan hanya dalam persoalan fikih saja dan teologis, tapi seluruh sepak terjang pada hidup harus bersumber pada Al-Qur’an dan sunah.
“Mungkin penafsiran, penjabaran, dan penerapannya di organisasi (dari pemahaman Al-Qur’an dan sunah-red) atau individu terdapat variasi dan berkembang dari waktu ke waktu. Namun, secara keseluruhan, harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah. Meskipun terdapat perbedaan tafsir terhadap pengertian kembali pada Al-Qur’an dan sunah” kata Syafiq.
Kedua, mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Menurut Syafiq, poin ini sudah menjadi topik perdebatan selama 10 tahun tentang bagaimana indikator-indikator spesifik bagaimana suatu masyarakat bisa dikategorikan sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Ketiga, dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Terhadap poin ini, Syafiq Mughni berkata, “Saya menyebutnya sebagai trilogi, tidak hanya amar amar ma’ruf nahi munkar saja, tapi juga dakwah. Sebagaimana yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 104” ujar Syafiq Mughni.
Keempat, budaya Ijtihad, tajdid, puritanisme, anti syirik, takhayul, khurafat, bid’ah, jumud, dan taklid. Poin-poin tersebut, menurut Syafiq, bisa diartikan dengan banyak penafsiran.
“Misalnya terma jihad, apakah bisa kembali pada tafsir yang lama (badzlul juhdi), atau bisa dimaknai yang lebih luas dari pada itu. Perlu ada rekonstruksi bagaimana penjelasan dari tema-tema di atas dan bagaimananya hubungan dengan dakwah dalam rangka menunjukkan sikap anti berbagai kemunduran sikap Islam” tegas Syafiq.
Kelima adalah Islam berkemajuan, yang tentunya sangat melekat sebagai jargo Muhammadiyah. Keenam, tidak bermazhab. Ketujuh, keikhlasan. Kedelapan, Gerakan pencerahan.
***
Mengenai poin keikhlasan, Syafiq Mughni menunjukkan jargon ikonik khas Muhammadiyah yang sudah jamak diketahui oleh warga persyarikatan yakni, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah”.
Bagi Syafiq, orang-orang Muhammadiyah pada periode awal hampir semua memiliki semangat untuk menghidupi Muhammadiyah. Namun dalam konteks kehidupan dan kontemporer seperti sekarang, pengertian tentang keikhlasan itu perlu dimaknai ulang karena adanya tuntutan profesionalisme dalam mengurus persyarikatan.
“Dalam Muhammadiyah juga, para warganya tidak berebut jabatan. Tapi jika diberi jabatan, mereka tidak menolak. Kenapa Muktamar Muhammadiyah itu santun dan dingin, ya karena mereka tidak berebut jabatan” ujar Syafiq Mughni.
“Jika tak punya budaya organisasi kuat, maka Muhammadiyah akan lemah! Konflik itu muncul bukan karena penyimpangan peraturan, tapi budaya organisasi tidak berjalan. Karena tidak dapat mendalami nilai-nilai yang diusung oleh Muhammadiyah” tutup Syafiq.
Reporter & Editor: Yahya FR