Inspiring

Syamsul Anwar, Ulama Muhammadiyah Ahli Fikih yang Zuhud

4 Mins read

Nama Syamsul Anwar mungkin terasa masih asing di kalangan masyarakat Indonesia. Serangkaian aktivitasnya tak lepas dari kegemarannya menulis, membaca, dan mengajar. Mungkin inilah yang membuat dirinya sulit dikenal publik lantaran tak memiliki waktu untuk membikin sensasi pemberitaan atau akrobat pemikiran. Dalam hening yang jauh dari popularitas, Syamsul Anwar sesungguhnya layak mendapatkan sanjungan.

Latar Belakang Pendidikan Syamsul Anwar

Lahir pada tanggal 30 Maret 1956 di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sejak kecil Syamsul mendapatkan bimbingan pendidikan dari keluarganya. Kedua orang tuanya memberikan pendidikan dasar sebagai modal Syamsul untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) di Midai kampung halamannya.

Setelah sukses meraih prestasi di MII, Syamsul melanjutkan studinya ke Tanjung Pinang di mana ia masuk Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) selama enam tahun sampai tamat kelas enam pada tahun 1974. Atas saran beberapa gurunya, Syamsul meyakinkan kedua orangtuanya untuk berdiaspora menimba ilmu di Yogyakarta.

Di Kota Pelajar, Syamsul masuk Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga pada awal tahun 1975. Tak puas dengan gelar sarjana yang didapatnya pada tahun 1981, Syamsul melanjutkan studinya pada jenjang Pendidikan Strata Dua (S-2). Ia masuk di Jurusan Akidah dan Filsafat Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.

Sebelum menyelesaikan tesis, Syamsul mengikuti program belajar di Universitas Leiden tahun 1989-1990 bersama 13 dosen dari beberapa IAIN se-Indonesia.  Setahun penuh belajar Islamic Studies di Negeri Kincir Angin, Syamsul pulang ke Indonesia dan menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 1991.

***

Pada tahun 2001, Syamsul sukses menyandang predikat sebagai doktor dalam bidang hukum Islam di IAIN Sunan Kalijaga. Disertasinya berjudul “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustaṣfa Karya al-Gazzali.” Judul tersebut dipilihnya lantaran pemikiran al-Ghazali telah banyak dibahas, namun masih berpusat pada aspek teologi, filsafat, dan tasawuf.

Pemikiran hukumnya tenggelam oleh kepopulerannya sebagai teolog, filsuf, dan sufi. Syamsul mencoba meneliti pemikiran hukum al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa, suatu topik yang jarang dibahas. Melalui al-Ghazali, ia memeroleh landasan paradigma baru dalam hukum Islam terutama dalam upaya menghadapi tantangan modern.

Baca Juga  Buya Hamka: Menulis Berarti Menggubah untuk Mengubah

Beberapa tahun kemudian setelah menyandang predikat doktor, Syamsul diangkat menjadi Guru Besar di IAIN Sunan Kalijaga dalam bidang hukum Islam. Sebagai perwujudan keulamaan dan kecendekiawanannya, Syamsul menulis banyak sekali karya dalam bentuk buku maupun artikel keislaman.

Karya-karya tersebut lahir dari kegemarannya mengikuti seminar, simposium, lokakarya atau sejeninsnya pada tingkat lokal, nasional atau internasional, baik sebagai perserta maupun sebagai pemateri. Sebagian besar karyanya seputar teori hukum Islam dan ilmu falak.

Kritik terhadap Fikih Klasik

Syamsul Anwar menilai fikih klasik setidaknya memiliki dua kekurangan: kelemahan sistematisasi (lack of sistematizatioan); dan kelemahan dalam hal kurang empiris (lack of empiricism). Kedua kekurangan itu terjadi lantaran fikih lebih terpusat pada suatu analisis tekstual belaka dengan model deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nas-nas, sehingga ilmu hukum lebih merupakan ilmu nas. Hal inilah yang menjadikan fikih terkesan sebagai bagian dari renungan teoretis fukaha di dalam kamar studinya tanpa terlalu banyak melihat dunia nyata di lapangan.

Menurut Syamsul, pandangan tentang kurangnya relevansi materi fikih dalam sejumlah kasus dengan kenyataan masyarakat ini bukan hanya fenomena modern, tetapi juga telah merupakan keluhan tua. Buktinya, al-Ghazali melalui kitab Ihya Ulumi al-Din berkata, “Jika Anda bertanya kepada ahli fikih tentang li‘an (menuduh istri berzina), zihar (metafor ungkapan talak), pacuan dan pemanahan, maka ia akan menyajikan kepadamu berjilid-jilid percabangan fikih yang rumit yang sampai akhir zaman sekalipun tidak pernah dibutuhkan”.

Metode Pertingkatan Norma: Solusi Bagi Konsep Fikih Klasik

Dalam mengatasi kekurangan konsep fikih klasik, Syamsul menawarkan metode pertingkatan norma dalam Usul Fikih. Jenjang norma tersebut meliputi (1) nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) berupa norma-norma abstrak yang merupakan nilai paling esensial dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, dan lain-lain; (2) prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam seperti asas-asas hukum Islam (an-nazzariyat al-fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid al-fiqhiyyah); dan (3) ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah), berupa kesimpulan hukum taklifi, ketentuan wad’i,dan bersifat instrumentalis.

Baca Juga  Syekh Abdul Latif Syakur, Ulama Produktif dari Minangkabau

Adanya pertingkatan norma ini menjadikan fikih tidak lagi terlihat seperti suatu kumpulan besar atom-atom hukum tetapi satu sistem hukum yang terajut secara erat dan memadai. Tidak hanya terbatas pada penemuan peraturan hukum konkret an sich, tetapi juga diarahkan kepada penelaahan nilai-nilai filosofis dan asas-asas umum. Dengan pertingkatan norma ini juga, fikih tidak terlalu fokus pada debat melelahkan seputar halal-haram, tetapi menyusun kerangka kategori-kategori yang bersifat relasional.

Selain itu, fikih tidak hanya dicari di dalam teks-teks syariah saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pranata sosial kehidupan masyarakat. Teks-teks syariah tetap menjadi sumber utama yang memberikan bimbingan dalam kehidupan, tetapi pengalaman eksistensial kehidupan dalam suatu ruang sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks-teks syariah itu harus ditafsirkan. Singkatnya, pertingkatan norma untuk fikih merupakan metode untuk mencari jalan paling maslahat antara idealisme hukum dengan realitas sosial.

Contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini, misalnya: nilai dasar persamaan, diturunkan ke prinsip umum menjadi setaranya antara hak laki-laki dan perempuan, dan norma konkretnya adalah kebolehan menjadi pemimpin struktural baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Syarat Mengubah Suatu Hukum

Agar tidak terjerumus kepada apa yang disebut sebagai “upaya liberalisasi berkedok syariah”, Syamsul juga menjelaskan syarat-syarat perubahan hukum. Menurutnya, ada empat syarat yang harus terpenuhi untuk suatu hukum itu dapat berubah, yaitu: (1) adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, yang berarti bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah; (2) hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdlah, karena pada dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak tedas makna; (3) hukum itu tidak bersifat qath‘i, apabila hukum itu qath‘i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadan; dan (4) perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu sesungguhnya tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.

Baca Juga  Al-Jubbai: Pertaubatan yang Tidak Sah

Dengan demikian, Hukum Islam bukanlah hukum yang kaku. Dalam sejumlah hal hukum Islam dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan kemaslahatan manusia pada zaman tertentu. Namun hukum itu tidak boleh juga asal berubah, hanya semata-mata absah secara teori pertingkatan norma. Dengan adanya penjelasan Syamsul tentang syarat perubahan hukum, ia berhasil menutup rapat-rapat kritik pedas dan sadis yang mungkin datang dari golongan konservatif di satu sisi dan apresiasi yang berlebih dari kalangan liberalis di sisi yang lain.

Ulama yang Zuhud

Membaca tulisan-tulisan Syamsul Anwar, saya merasa bahwa beliau bukanlah seorang yang murni intelektual, kalau kita menggunakan ukuran-ukuran sebagaimana dikemukakan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual adalah manusia yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya untuk bergelut dengan dunia pemikiran.

Intelektual bagi Benda nampaknya seperti seorang yang berdiri di menara gading. Kepalanya tidak menyentuh langit dan kakinya tidak menginjak bumi. Syamsul pada dasarnya adalah seorang ulama cum aktivis. Beliau terlibat dalam berbagai pergerakan, salah satunya menjadi Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2000-sekarang.

Dengan segudang ilmu yang dimiliki, Syamsul sesungguhnya bisa menempati posisi-posisi strategis, khususnya di Muhammadiyah. Akan tetapi, ia berkali-kali meminta agar tidak lagi menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih. Keinginannya menulis karya “magnum opus” menjadi salah satu alasan mengapa Syamsul kurang begitu ambisius mengejar jabatan baik di tubuh persyarikatan maupun di luar seperti MUI misalnya.

Editor: Yahya FR

Avatar
5 posts

About author
Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds