Inspiring

Syekh Hasan Maksum, Ulama Pendidik dari Sumatera Utara

2 Mins read

Dalam salah satu kesempatan ceramahnya, Gus Baha pernah menyinggung ihwal guru, kyai, atau siapa saja yang menyandang status sebagai pendidik bagi masyarakat. Kurang lebih tuturnya: “Kalau ada yang ngaji kemudian dibayar, itu baik. Tetapi ia juga perlu menyediakan ruang untuk ngaji yang tidak dibayar atau gratis. Karena letak berkahnya di situ.”

Kita bisa memaknai ‘berkah’ di sini dengan ragam bentuk; popularitas, terganjar pahala di kehidupan selanjutnya, ilmunya menjadi bentuk amal jariyah, atau berkah yang merupa dalam bentuk lainnya.

Figur Syekh Hasan Maksum

Tetapi terlepas dari itu, di masa silam memang ada sekian guru, kyai, atau ulama yang mendarmakan hidupnya untuk masyarakat. Mereka bergerak sesuai dengan kondisi yang dialami, tanpa memikirkan apresiasi dan rasa terima kasih dari generasi setelahnya. Sebut saja salah satunya Syekh Hasan Maksum, ulama yang bergerak dengan giat di urusan pendidikan bagi masyarakat di Sumatera Utara dan sekitarnya.

Ulama yang memiliki nama lengkap Hasanudin bin Muhammad Maksum bin Abu Bakar ini lahir pada 1882 M. Ia lahir dari keluarga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Dari keluarganya, Hasan Maksum kecil diajari ilmu terkait dasar-dasar agama, selain juga dimasukkan ke pendidikan formal setingkat sekolah dasar berbahasa Inggris yang berada di Labuhan Deli.

Memasuki usia 10 tahun, Hasan Maksum diberi pilihan untuk mengembangkan ilmunya antara Singapura atau Makkah. Ulama yang kelak jadi mufti di Kesultanan Deli Serdang ini memilih melabuhkan tempat belajarnya di kota Makkah. Kota yang saat itu masih menjadi pilihan prioritas bagi umat Islam untuk beribadah, belajar, maupun menyemai benih-benih gerakan aktivisme melawan kolonial.

Di Makkah, ia berguru pada sejumlah ulama yang namanya masyhur dengan keilmuan bertaut-sanad kepada Kanjeng Nabi Muhammad; Ahmad Khatib Minangkabawi, Abdussalam Kampar, Ahmad Khayath, Ali Maliki (ulama nahwu), Saleh Baffadhil, Abdul Hamid Kuddus, Abdul Karim al-Mandili.

Baca Juga  Jalaluddin Rumi: Penyair dan Sufi Muslim dari Persia

Kontribusi Kepada Masyarakat dan Ajaran Islam

Sekira satu dekade berada di kota Makkah, Hasan Maksum memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Sekembalinya ini, ia mulai membuka ruang belajar bagi masyarakat di kediamannya sendiri. Beberapa masjid yang mendengar kepulangannya juga turut meminta dirinya untuk mengisi pengajian seperti Masjid Raya al-Mashun Medan, Masjid gang bengkok Kewasan Medan, Masjid Kampung Percut, Masjid Kampung Bandar Setia, dan Masjid Bagan Deli.

Dari gerak pendidikannya ini kemudian Sultan Deli, Sultan Makmum al-Rasyid memberinya gelar Imam Paduka Tuan. Gelar ini melegitimasinya sebagai ulama yang diakui otoritas keilmuannya. Pun Syaikh Hasan Maksum sebenarnya juga bisa meraup kemapanan finansial dari legitimasi tersebut.

Tetapi dalam artikel Kontribusi Syaikh Hasan Maksum dalam Bidang Pendidikan di Sumatera Utara (2017) yang ditulis Muhammad Rozali, mencatat jiwa pendidik Syekh Hasan Maksum yang selaras dengan kutipan ceramah Gus Baha di awal tulisan ini. Kutipan di artikel tersebut: “… karena (ia) beranggapan bahwa dengan menerima gaji dari suatu jabatan maka akan berkurang kebebasannya dalam mengajarkan agama”.

Catatan Kritis

Hanya saja Muhammad Rozali dalam artikelnya tersebut menggarisbawahi sikap abai kita sebagai generasi setelahnya. Padahal ada beberapa hasil karya Syaikh Hasan Maksum yang telah terbukukan tetapi tidak kita baca, bahkan tidak termiliki di khazanah naskah keislaman di negeri ini.

Kitabnya Samir as-Sibyan li Ma’rifah Furuḍ al-’Ayan dan Risālah Tażkir al-Muridīn fi Sulūk Ṭariqah al-Muhtadīn yang diterbitkan oleh Maṭba’ah Muṣṭafa al-Bābi al-Halābi wa Aulādah bi Mishr pada 1934 malah berada di Perpustakaan Universitas Brunei Darussalam. Dua karya ini intens dikaji dan dipelajari oleh mahasiswa Islam yang ada di perguruan tinggi Brunei dan Malaysia. Kita bisa menduga kitab tersebut memiliki muatan yang cukup penting bagi tumbuh-kembangnya ajaran Islam.

Baca Juga  Buya Syafii, Lip, dan Bapisah Bukanyo Bacarai

Tetapi memang tidak memiliki dan atau tidak mengetahui karya penting dari ulama terdahulu saya rasa sudah menjadi bentuk ‘kelaziman’ kita. Padahal ‘kelaziman’ itu, secara tidak sadar lamat-lamat malah memberi jarak antara kita dengan khazanah pengetahuan keislaman di masa silam. Pengetahuan yang semestinya kita pahami dan kuasai. Begitu.

Editor: Yahya FR

Avatar
10 posts

About author
Alumnus Magister Studi Agama-agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sering ngopi di Tulungagung
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds