Muhammad Syuhudi Ismail adalah salah satu ulama dari Indonesia yang memiliki pengaruh besar terhadap ilmu hadis. Menurut Syuhudi Ismail, ada enam faktor penyebab mengapa penelitian hadis begitu penting untuk dilakukan. Sebagaimana yang akan coba diuraikan dalam tulisan ini.
Hadis Nabi sebagai Salah Satu Sumber Ajaran Islam
Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Hal ini sebagaimana dalam al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad. Adapun ayat tersebut:
1. Al-Qur’an, surah Ali Imran (3: 32)
قُلْ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya: “Katakanlah Taatilah Allah dan Rasul-Nya, apabila engkau berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”
2. Al-Qur’an, surah An-Nisa (4: 80)
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
3. Al-Qur’an Surah Al-Ahzab (33: 21)
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Para ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk sesungguhnya bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk al-Qur’an, sedangkan bentuk ketaatan kepada Rasulullah yaitu dengan mengikuti sunnah atau hadis beliau.
Tidak Seluruh Hadis Tertulis pada Zaman Nabi
Menurut sejarah, penulisan hadis nabi terjadi karena para sahabat ada yang mencatat hadis-hadis nabi namun hal itu sebagai catatan pribadi. Kemudian penulisan hadis terjadi karena berisi tentang ajakan Nabi untuk memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang saat itu belum memeluk Islam. dan ada juga hadis-hadis Nabi yang ditulis oleh sahabat namun hanya untuk koleksi pribadi. (Syuhudi Ismail, 1998)
Penulisan hadis pada saat itu menjadi sebuah kesulitan yang dialami oleh para sahabat, dengan demikian hadis pada zaman nabi yang berkembang lebih banyak pada hafalan para sahabat daripada tulisan. Akibatnya dokumentasi hadis Nabi secara tertulis tidak mencakup seluruh hadis yang ada. Namun selain itu hadis-hadis yang tercatat pasti dilakukan pemeriksaan langsung kepada Nabi, Tanpa disadari seluruh hadis yang tercatat dan dihafal oleh sahabat tidak terhindar dari keharusan untuk diperiksa secara teliti. (’Abdil, n.d.)
Selain itu, apa yang disebut sebagai hadis menurut ulama hadis yaitu, segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal ihwal Nabi Muhammad. tidak selalu terjadi dihadapan orang banyak. Seperti beberapa hal terkait hubungan dengan istri-istri Nabi, maka apa yang telah dilakukan Nabi hanya diketahui oleh istri beliau saja. Padahal apapun yang telah berlangsung antara Nabi dan istri beliau itu termasuk bagian dari hadis.
Telah Timbul Berbagai Pemalsuan terhadap Hadis Nabi
Dalam rekaman sejarah, kata Syuhudi Ismail, pemalsuan terhadap hadis Nabi pada zaman Nabi belum pernah terjadi, walaupun ada beberapa gugatan terkait hal tersebut, namun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kejadian pemalsuan hadis menurut pendapat ulama mulai muncul dan berkembang pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656-661 M).
Pada mulanya, faktor yang memicu seseorang melakukan tindakan memalsukan hadis yaitu sebab kepentingan politik. Dimana saat itu khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan masing-masing tokoh telah melakukan berbagai cara untuk memenangkan tokoh pilihan mereka. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh sebagian dari mereka ialah membuat hadis-hadis palsu. (Al-Khatib, 1963).
Selain itu faktor ekonomi yang timbul dari pertentangan politik ikut menjadi pemicu terciptanya hadis palsu, seperti contoh, untuk menyenangkan hati pejabat, masyarakat menyemarakkan pembuatan hadis-hadis palsu. Bahkan ada juga yang mengatakan seorang pemalsu hadis diberikan uang sejumlah satu dirham saja ia langsung bersedia membuat hadis palsu sebanyak lima puluh buah. (Syakir, 1974).
Berbagai pemalsuan hadis yang sangat ironis tersebut mengakibatkan sulitnya umat Islam untuk mengetahui mana hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw, sungguh merupakan karunia agung dari Allah bahwa para ulama hadis telah menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari kehancuran yang dilakukan para pemalsu hadis. Upaya para ulama hadis dalam menyelamatkan hadis-hadis Nabi berupa susunan kaidah keilmuan hadis yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian hadis. (Al-Qadi, 1975).
Proses Penghimpunan Hadis
Syuhudi Ismail menjelaskan, proses penghimpunan hadis secara resmi dan massal menurut sejarah terjadi saat pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/ 720 M). (24) dimana posisi beliau sebagai kepala negara memerintahkan untuk menghimpun hadis-hadis Nabi pada zaman pemerintahannya. Ayahanda beliau yaitu Abdul Aziz bin Marwan (w. 85 H/ 704 M) (26) saat menjabat sebagai gubernur Mesir juga sempat memerintahkan untuk penghimpunan hadis.
Tetapi saat itu tidak banyak orang yang bergegas melakukannya karena jabatan Abdul Aziz bin Marwan hanya sebagai gubernur, jadi dinilai sebagai perintah pribadi saja. Saat Umar bin Abdul Aziz memerintahkan penghimpunan hadis maka tidak lain adanya dorongan yang menginspirasi bahwa dari apa yang dilakukan oleh gubernur Abdul Aziz bin Marwan. Maka degnan kedudukan Umar bin Abdul Aziz sebagai kepala negara proses penghimpunan hadis dilakukan secara massal pada saat itu. (’Ajjaj al-Khatib, 1963).
Kemudian saat sebelum wafatnya khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ada seorang ulama hadis yang telah berhasil melakukan perintah dari khalifah yaitu Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H/ 742 M), berasal dari negeri Hijaz dan Syam. Berbagai kitab karangan Az-zuhri langsung dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk penghimpunan hadis selanjutnya. (al-Asqalani, 1960).
Hingga pada pertengahan abad ke-2 Hijriah, telah muncul karya-karya himpunan hadis di berbagai kota besar, seperti Makkah, Madinah, dan Basrah. Dan puncaknya penghimpunan hadis terjadi pada pertengahan abad ke-3 Hijriah. (Syuhudi Ismail, 1998) dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan hadis dengan wafatnya Nabi Saw cukup lama. Hal tersebut menimbulkan kehati-hatian dalam meneliti kitab-kitab hadis dengan seksama agar terhindar dari penggunaan dalil hadis yang validitasnya masih diragukan.
Penyusunan Kitab-kitab Hadis yang Sangat Banyak dan Beragam
Setelah para ulama menghimpun hadis dan menjadi sebuah kitab hadis dengan perawi-perawinya. Maka jumlah angka pada saat itu sangat sulit dipastikan, sebab mukharijul hadis (ulama yang meriwayatkan dan menghimpun hadis) juga sangat banyak, terlebih ada sebagian mukharij yang menghasilkan lebih dari satu kitab hadis. Dan masing-masing kitab ditulis dengan metode penyusunan yang berbeda.
Namun kitab-kitab hadis tersebut yang beredar di masyarakat hingga saat ini hanya berjumlah belasan kitab saja, seperti kitab Shahih al-Bukhari karangan Imam al-Bukhari (w.256 H/ 870 M), kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H/ 875 M), Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud (w. 275 H/ 892 M), Sunan at-Tirmidzi karya Imam Tirmidzi (w. 279 H/ 889 M), Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah (w. 273 H/ 887 M), Sunan ad-Darimi, karya Imam ad-Darimi (w. 255 H/ 868 M), Musnad Ahmad bin Hanbal karya Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H/ 855M), Muwatta’ karya Imam Malik bin Anas (w.179 H/ 795 M), Shahih Ibnu Khuzaimah karya Imam Ibnu Khuzaimah (w.311 H. 924 M) dan seterusnya.
Penyusunan kitab-kitab di atas tidak ada yang seragam, sebab yang lebih ditekankan dalam kegiatan penulisan hadis bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya. Dan masing-masing mukharij dalam penyusunan sistematikanya, topik, kriteria kualitas hadisnya, menggunakan metodenya sendiri. Maka tidak heran saat itu ulama membuat sebuah kriteria tingkatan kualitas pada kitab-kitab hadis, seperti Kutubul-Khamsah (lima kitab hadis yang standar), Kutubus-Sittah (enam kitab hadis yang standar) dan Kutubus-Sab’ah (tujuh kitab hadis yang standar). (Abu Zahw, n.d.)
Untuk mengetahui kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut, bagi Syuhudi Islamil, diperlukan sebuah penelitian. Dengan melakukan penelitian maka diharapkan dapat terhindar dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi kriteria agar dapat dijadikan hujjah.
Terjadinya Periwayatan Hadis Secara Makna
Periwayatan hadis dengan cara menjelaskan makna teks hadis, telah terjadi perbedaan pendapat, sejak zaman Nabi sahabat yang biasa meriwayatkan hadis secara makna yaitu, Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah. Sedangkan sayyidina ‘Umar bin Khattab, Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Arqam melarang periwayatan hadis secara makna. (Muhammad Ajjaj al-Khatib, n.d.)
Kemudian zaman setelah sahabat, para ulama yang membolehkan periwayatan hadis secara makna memberikan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya, untuk perawi diharuskan memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa Arab,hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ibadah, seperti bacaan dalam shalat, dan periwayatan secara makna dibolehkan jika keadaan terdesak/terpaksa. (Salah, 1972)
Maka dengan persyaratan-persyaratan di atas, perawi hadis yang meriwayatkan secara makna memiliki aturan agar keaslian hadis tetap terjaga. Demikian lah faktor-faktor yang menjadikan penelitian hadis sangat penting menurut Muhammad Syuhudi Ismail. Pesan yang diharapkan oleh Syuhudi Ismail adalah semua faktor di atas masih dapat bertambah lagi, dan mudah-mudahan dapat menjadi pertimbangan yang cukup kuat.
Editor: Soleh