Perspektif

Syu’ûbiyah dan ’Ashabiyyah: Embrio Nasionalisme Islam

3 Mins read

Oleh: Ustadi Hamzah

Istilah nasionalisme berasal dari kata natio (Latin) yang berarti orang atau kelompok orang. Kata ini pada awalnya bermakna negatif, yakni penyebutan bagi kelompok kecil orang di sebuah masyarakat yang hidup menyendiri dan tidak membaur. Kata nation  dalam bahasa Perancis justru sebaliknya, menggambarkan kelompok elit yang berada di masyarakat. Kata nation dilawankan dengan istilah plèbe (rakyat jelata yang rendah). Dalam perkembangannya, istilah natio diserap dalam bahasa Inggris yang maknanya bangsa, seperti yang kita pahami sekarang ini. Dari istilah nation (bangsa) lahirlah istilah nasionalisme (Pleşu, 2002). Lalu bagaimana dengan nasionalisme Islam?

Nasionalisme Islam

Istilah nasionalisme yang dalam bahasa Arab dikenal dengan syu’ûbiyyah merupakan sebuah kesadaran yang lahir pada awal abad ke-20. Istilah ini merujuk pada sebuah kesadaran akan adanya negara berbasis bangsa (nation state). Istilah nation (bangsa) merupakan kumpulan dari berbagai suku-bangsa atau ras yang berbeda-beda. Suku-suku bangsa dan berbagai ras tersebut berkumpul menjadi satu dengan membawa tujuan yang sama yang diwujudkan dalam bentuk kesatuan politik, yakni negara. Seluruh anggota bangsa yang berada dalam sebuah negara mempunyai kewajiban, yakni menyintai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan mereka (Sauers & Weber, 2010).

Nasionalisme sebagai sebuah worldview lahir ketika “negara-negara” terbebas dari kolonialisme Eropa. Sementara itu, di Eropa sendiri atau di wilayah-wilayah lain, kesaradan nasionalisme telah berjalan, sebagaimana dikonsepkan oleh Ernest Renan tahun 1882, namun belum terurai dengan baik sebagai sebuah konsep. Kesadaran itu baru diungkap pada saat konsep nasionalisme muncul secara massive setelah kolonialisme Eropa (Zimmer, 2003).

Kebangkitan untuk merdeka telah menjadi landasan bersatunya berbagai kepentingan, suku-suku bangsa, dan golongan-golongan untuk menata kehidupan bersama dengan satu identitas yang terhimpun dalam konsep negara bangsa (nation state) dengan tujuan-tujuan bersama. Etos untuk membangun loyalitas kepada negara-bangsanya menjadi dasar bagi perjuangan hak, martabat, kehormatan, dan kedaulatan negara sehingga lahirlah kesadaran nasionalisme.

Baca Juga  Peran Muhammadiyah dan NU Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Pelaksanaan Konsep Nasionalisme

Sebagai sebuah kesadaran, nasionalisme kemudian berkembang menjadi sebuah pandangan politik yang meniscayakan kesetiaan tertinggi pada negara dan bangsanya demi kemajuan, kehormatan, dan kedaulatan. Dengan demikian, nasionalisme dibentuk oleh beberapa hal, selain yang telah disebutkan di atas, yakni kesatuan dari beberapa suku bangsa dan ras menjadi sebuah kesadaran tunggal, di antaranya adalah adanya ancaman dari bangsa dan negara lain, seperti penjajahan; kesamaan nasib dan perjuangan; dan menempati sebuah wilayah tertentu yang terikat dalam sebuah kesatuan kebangsaan (geopolitics). Saluran-saluran kesadaran nasionalisme ini diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara seperti politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya.

Dalam menjalankan konsep nasionalismenya, sebuah bangsa akan terikat dengan ideologi sebagai sistem nilai yang dianut secara kolektif. Ideologi inilah yang akan memberi warna dan corak nasionalisme dalam sebuah negara (Lampe & Mazover, 2004). Di Indonesia, misalnya, ideologi Pancasila telah mengarahkan bagaimana bangsa Indonesia menciptakan kemajuan dan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Ketika ideologi dipahami sebagai sebuah sistem nilai, maka akan berdampak positif bagi nasionalisme itu sendiri.

Akan tetapi, apabila ideologi digunakan sebagai dasar pemikiran yang sempit, maka nasionalisme akan berubah menjadi jingo nationalism (nasionalisme yang membabibuta) atau bahkan chauvinistic yang merendahkan kemanusiaan bangsa lain dengan merasa bahwa bangsanya superior atas bangsa lain. Pandangan ini akan melahirkan ideologi lain yang eksklusif, seperti fascism (Hitler di Jerman, Musollini di Itali, Teno Haika di Jepang), yakni sebuah pandangan nasionalisme yang menganggap bangsanya superior atas bangsa lain.

Konsep Syu’ûbiyyah dan ’Ashabiyyah

Sementara itu, jika ideologi yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan warisan luhur tradisi bangsanya akan membawa kepada kebersamaan, solidaritas, kesetaraan, akan melahirkan pandangan nasionalisme yang tidak saja loyal pada negara dan bangsanya sendiri, tetapi juga tetap merasa menjadi bagian dari bangsa-bangsa di dunia secara setara. Dalam konteks inilah, konsep ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan) berbeda dengan nasionalisme (syu’ûbiyyah —kebanggaan terhadap bangsa-negara).

Baca Juga  Guru dan Budaya Literasi

’Ashabiyyah akan cenderung membawa pada kesadaran fanatis pada kesukuannya dengan diiringi penilaian kurang simpatik terhadap suku bangsa lain, sedangkan nasionalisme (syu’ûbiyyah) menekan pada loyalitas pada kesatuan, martabat, dan kedaulatan bangsa sendiri yang terdiri dari unsur suku-suku bangsa yang beragam .

Dengan memperhatikan pandangan itu, sistem nilai (ideologi) dalam konsep nasionalisme menjadi tolok ukur bagi eksistensi nasionalisme itu sendiri. Secara teoritis, nasionalisme bukanlah tujuan dalam berbangsa dan bernegara itu sendiri, namun hanya sebagai alat. Tujuan utama nasionalisme adalah berjalan-efektifnya sistem nilai (ideologi) yang melandasi sebuah sistem kenegaraan. Dalam konteks Islam, nasionalisme tetap melekat pada konsep negara bangsa, namun yang paling utama adalah bagaimana nilai Islam terakomodasi dan menjiwai perjalanan negara bangsa tersebut (Natsir, 1973).

Oleh karena itu, nasionalisme Islam bukan tersekat pada sebuah geopololitik yang berwujud negara Islam atau khilâfah (Islamic State), tetapi lebih kepada kehidupan Islami dalam sebuah negara. Dengan demikian, apapun bentuk negara, konsep nasionalisme di atas dapat dilakukan dengan baik. Dalam konteks yang lebih spesifik, Islam bertemu secara sinergis dengan konsep demokrasi.

Satu hal yang paling prinsip dalam nasionalisme Islam adalah bahwa nasionalisme bukanlah tujuan. Tetapi sebagai alat berjalannya sistem nilai Islami dalam kehidupan bernegara yang menjunjung tinggi kesetaraan, kemakmuran, kesejahteraan. Dengan demikian, masyakarat muslim wajib loyal kepada negara yang menjalankan sistem nilai tersebut.

Sumber: Al-Manar no. 03 Th. 2014
Editor: Arif & Nabhan

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds