Bisri Musthofa merupakan seorang ulama kharismatis dan materialistis asal Rembang Jawa Tengah yang memiliki karya tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal. Ia beri judul al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz.
Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga surah al-Nas. Tafsir Al-Ibriz termasuk salah satu tafsir yang menggunakan bahasa Jawi Pegon sebagai media penulisannya.
Tafsir Al-Ibriz ditulis menggunakan bahasa Jawa Ngoko, walau kadang-kadang dicampur sedikit dengan istilah Indonesia seperti kata “nenek moyang”, “pembesar”, “terpukul”, atau kata “berangkat” dan “mempelajari”.
Meskipun padanan kata tersebut sudah tersedia dalam bahasa Jawa, secara teknis, pilihan menggunakan bahasa Jawa Ngoko mungkin demi fleksibilitas dan supaya mudah dipahami. Karena dengan cara Ngoko, pembicara dan audiennya menghilangkan jarak psikologis dalam berkomunikasi.
Keduanya berdiri satu level, sehingga tidak perlu mengusung sekian basa-basi seperti ketika menggunakan Kromo Madyo atau Kromo Inggil.
Sistematika Penulisan Tafsir Al-Ibriz
Mengenai sistematika penulisan Tafsir Al-Ibriz secara tegas dapat dijumpai dalam muqadimah kitab. Secara garis besar, Tafsir Al-Ibriz ditulis dalam makna gandul di bagian dalam dan bagian luar yang dibatasi dengan garis. Dijelasakan mengenai tafsirannya yang diberi nomor sesuai dengan nomor ayat.
Pada ayat-ayat tertentu, terkadang penafsir memberikan catatan tambahan selain penafsirannya sendiri, dalam bentuk faedah, kisah, tanbih, muhimmah, dan sebagainya. Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan ayat yang lain.
Sistematika Tafsir Al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya atau biasa disebut mushafi. yaitu berpedoman pada susunan ayat dan surat dalam mushaf. Dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat al-Nas. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-ayat berikutnya sampai selesai.
Sumber Tafsir
Tafsir Al-Ibriz banyak mengambil dari sumber-sumber tafsir terdahulu, baik klasik maupun kontemporer. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di-muqadimah-nya yaitu mengambil seperti pada kitab Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhowi, Tafsir Khazin, dan sebagainya.
Selain dari kitab yang telah disebutkan, KH Bisri mustofa juga telah banyak membaca dan menelaah banyak kitab tafsir dan seringkali mendiskusikan dengan muridnya. Di antara kitab tersebut adalah kitab tafsir modern seperti Tafsir Al-Manar, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, Tafsir al-Jawahir, Mahasin At-Takwil, dan Mazaya al-Qur’an.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir Al-Ibriz adalah menggunakan metode analitis (tahlili) yang memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata. Diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat yang disertai dengan membahas munasabah (korelasi) ayat-ayat.
Serta, menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Disamping itu juga menjelaskan asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, dan para tabi’in yang juga disertai pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai dengan latar belakang pendidikannya dan kondisi sosial masyarakat pada saat itu.
Pendekatan dan Corak Tafsir Al-Ibriz
Sedangkan dilihat dari pendekatan dan corak Tafsir Al-Ibriz, yakni ciri khas atau kecenderungannya, Tafsir Al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Karena di dalamnya mencakup masalah hukum, sosial-kemasyarakatan, dan tasawuf.
Tafsir Al-Ibriz termasuk pada kategorisasi tafsir dengan bentuk bi al-ma’sur. Kategorisasi ini ditunjukkan dari dominasi sumber-sumber penafsirannya. Karena penafsir mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi Muhammad.
Sedangkan dalam penggunaan ra’yu dalam Tafsir Al-Ibriz tersebut, prosentasenya relatif kecil sebagai pelengkap dan penyelaras riwayat. Penggunaan ra’yu dalam tafsirnya, khusus ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Hal ini selaras dengan keluasan keilmuannya dan keterpengaruhannya terhadap tafsir modern yang sebelumnya pernah beliau diskuisikan bersama murid-muridnya.
Contoh Penafsiran
Contoh penafsirannya, dapat dilihat dalam penafsiran kata مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ dalam Qs. An-Nisa:1
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ …
Bisri Musthofa menafsirkannya sebagai berikut:
“Wong-wong Islam ing zaman awal, yen ana kang ngerumat yatimah ing mangka kabeneran ora mahram (anak dulur upamane) iku akeh-akehe nuli dikawin pisan. Nalika iku nganti kedadeyan ana kang ndue bojo wolu utawa sepuluh. Bareng ayat nomer loro mahu tumurun , wongwong mahu nuli pada kuatir yen ora bisa adil, nuli akeh kang pada sumpek, nuli Allah Subḥānahu wa Ta’ālā nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane: yen sira kabeh kuatir ora bisa adil ana ing antarane yatim-yatim kang sira rumat, iya wayoh loro-loro bahe, utawa telu-telu bahe utawa papat-papat, saking wadon-wadon kang sira senengi, ojo nganti punjul sangking papat. Lamun sira kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir, mangka nikaha siji bahe, utawa terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat utawa siji, utawa ngalap cukup jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora mlempeng)”.
Artinya: Orang-orang Islam masa awal, ketika merawat anak yatim perempuan yang kebetulan bukan mahram (seumpama anak saudara) kebanyakan dinikahi juga.
Ketika itu, sampai banyak terjadi fenomena ada yang mempunyai istri delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomer dua turun (maksudnya Surat Al-Nisa’ ayat kedua), orang-orang tadi lalu khawatir tidak bisa berbuat adil, lalu banyak yang galau. Kemudian Allah SWT.menurunkan ayat nomer tiga (Surat Al-Nisa’ ayat ketiga) yang isinya: ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang kalian pelihara, maka nikahilah dua-dua, tiga-tiga, atau empatempat dari wanita-wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih dari empat.
Ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil dalam menafkahi dan menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau merasa cukup dengan jariyah yang kamu miliki, menikah empat atau satu, atau merasa cukup jariyah itu sebenarnya lebih menjamin keadilan.
Editor: Yahya FR