Menurut Tim penulis Tafsir At-Tanwir, muncul dan berkembangnya berbagai macam problem di atas yang melanda bangsa Indonesia saat ini, membutuhkan penanganan dan usaha yang multidimensional dan berkebersamaan. Dalam memecahkan problem-problem tersebut setiap segmen masyarakat dapat mengambil bagian dan perannya sesuai dengan keadaan dan kapasitas masing-masing.
Di sinilah, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar dapat memainkan berbagai peran dalam memecahkan problem-problem bangsa Indonesia tersebut. Dan salah satu langkah yang Muhammadiyah ambil adalah memanfaatkan modal simbolis berupa tuntunan yang dapat digali dari kitab suci al-Qur’an.
Dari latar belakang terebutlah kemudian Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menulis kitab Tafsir At-Tanwir ini.
Tafsir At-Tanwir dan Keindonesiaan
Selain untuk menjawab berbagai macam problematika ke-Indonesiaan tersebut, lahirnya Tafsir At-Tanwir ini memiliki arti penting bagi Muhammadiyah. Baik dalam rangka memberikan tuntunan keagamaan bagi warga Muhammadiyah secara khusus, maupun dalam rangka menjalankan misi dakwah Islam secara umum.
Misi dakwah Islam yang diemban oleh Muhammadiyah melalui Tafsir At-Tanwir ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan peradaban dan pembinaan karakter bangsa Indonesia yang berkemajuan. Selain merupakan amanah muktamar Muhammadiyah satu abad, penulisan Tafsir At-Tanwir ini—sebagai mana yang telah dijelaskan dalam Kata Pengantar dari Tafsir At-Tanwir—memiliki tujuan, yaitu:
Pertama, Tafsir At-Tanwir ini ditulis dengan tujuan untuk menyediakan satu bacaan tafsir al-Qur’an dalam kerangka misi dan tugas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar dan tajdid.
Kedua, Tafsir At-Tanwir ini ditulis untuk memenuhi aspirasi warga Muhammadiyah yang menginginkan adanya bacaan yang disusun secara kolektif oleh ulama, cendekiawan, dan tokoh Muhammadiyah.
Ketiga, Tafsir At-Tanwir ini ditulis dengan tujuan untuk memanfaatkan modal simbolis umat yang dapat digali dari tuntunan kitab suci al-Qur’an dalam rangka membangkitkan etos umat dan membangun peradaban Indonesia yang berkemajuan.
Pentingnya Tafsir Muhammadiyah
Selain beberapa latar belakang dan tujuan disusunnya Tafsir At-Tanwir tersebut di atas, lahirnya Tafsir At-Tanwir ini memiliki arti penting bagi Muhammadiyah. Menurut Haedar Nashir ada dua alasan pentingnya tafsir khas Muhammadiyah ini.
Pertama, Muhammadiyah sejak awal berdiri menggelorakan al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, yaitu kembali pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih atau makbulah. Haedar Nashir menegaskan bahwa kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah jangan hanya menjadi slogan.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan harus menunjukkan ikhtiar untuk “Kembali pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah”. Lahirnya Tafsir At-Tanwir ini merupakan bukti bahwa Muhammadiyah telah mewujudkan ihktiar teresebut.
Kedua, berbagai tafsir Al-Qur’an baik klasik maupun mutakhir banyak dilahirkan dari para ulama berbagai kalangan umat Islam, termasuk dari tokoh Muhammdiyah sendiri. Sebut saja misalnya yang paling popular Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka (1967) dan Tafsir An-Nur karya TM. Hasbi Ashshiddieqy (1995).
Namun belum ada tafsir al-Qur’an yang utuh dan menyeluruh yang disusun secara kolektif atas nama Muhammadiyah. Memang Muhammadiyah pernah menulis sebuah tafsir, dengan judul Tafsir Tematik al-Qur’an tentang hubungan Sosial Antarumat Beragama yang terbit pada tahun 2000. Namun tafsir tersebut kajiannya masih terbatas, karna sifatnya tematik.
Menurut Ahmad Najib Burhani,terbitnya Tafsir At-Tanwir telah menjawab dua tantangan sekaligus: pertama, Tafsir At-Tanwir telah memberikan sebuah pemahaman yang lebih utuh dan tematik bagi masyarakat Muslim tentang ayat-ayat al-Quran. Sehingga, lanjut Burhani, ayat-ayat tersebut tidak dibaca sepotong-sepotong dan umat tidak hanya disodori dengan kutipan instan melalui media sosial.
Kedua, penerbitan Tafsir At-Tanwir memberikan jawaban terhadap tantangan yang diberikan beberapa pengamat asing yang meminta kader-kader Muhammadiyah tidak hanya menerbitkan kumpulan tulisan-tulisan pendek. Tafsir At-Tanwir bisa disebut sebagai monograf atau tulisan utuh, bukan kumpulan tulisan pendek. Sehingga pentingnya tafsir khas muhammadiyah pun makin nyata.
Metodologi Penafsiran
Al-Farmawi menguraikan bahwa ada empat metode yang populer dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i (Al-Farmawi: 1994). Lalu bagaimana dengan metode yang digunakan Tafsir At-Tanwir? Dalam Tafsir At-Tanwir yang digunakan adalah metode tahlili cum tematik. Tafsir yang memadukan dua metode sekaligus, yaitu metode tahlili dan madhui.
Model tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Metode tahlili, atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’i, adalah satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushhaf.
Namun metode tahlili yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir berbeda dengan meode tahlili yang digunakan pada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada pemberian tema-tema tertentu di beberapa ayat yang ditafsirkan. Inilah yang kemudian disebut dengan metode tahlili cum tematik.
Tafsir yang memadukan dua metode sekaligus, tahlili dan madhui. Penggunaan dua metode ini selain memudahkan para pembaca, juga merupakan langkah yang unik dan menarik. Karena jika melihat metode tahlili pada umumnya hanya menoton tanpa ada tema-tema yang diberikan dari setiap ayat yang ditafsirkan.
Model penyajian Tafsir at-Tanwir merupakan trobosan baru dan unik pada model tafsir tahlili. Model penyajian seperti Tafsir at-Tanwir dapat memudahkan para pembaca dalam memahami dan mencari tema yang sesuai dengan kebutuhan pembaca. Sehingga pembaca tidak jenuh dan tidak mudah bosan. Berbeda halnya dengan model tahlili pada umumnya, bentuk penyajiannya membosankan dan lebih monoton.
***
Penafsiran al-Qur’an dengan model kolektif seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini memiliki kelebihan, yaitu semakin banyak penulis maka semakin banyak pula pandangan tafsirnya.
Apa lagi dengan latar belakang keilmuan penulis yang berbeda-beda dapat saling melangkapi ketika menafsirkan ayat-ayat yang memang dibutuhkan cabang keilmuan lain diluar ulum al-Qur’an. Namun disamping memiliki kelebihan, tafsir kolektif juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah menyeragamkan pemikiran. Karena tim penulis Tafsir At-Tanwir memiliki latarbelakang keilmuan yang berbeda-beda. (bersambung)
Editor: Nabhan