Perspektif

NU, Muhammadiyah, dan Spirit Moderasi

4 Mins read

Berbeda dengan penyebaran Islam di beberapa negara di dunia. Indonesia memiliki kasus yang unik. Jika sebagain belahan negara Islam di dunia disebarluaskan melalui ekspansi kewilayah-an oleh khalifah yang berkuasa kala itu, penyebaran Islam di Indonesia justru melalui jalur kebudayaan.

Pernyataan tersebut bisa dibuktikan dengan metode dakwah Islam yang dilakukan oleh para Wali Sanga yang berbaur dengan kebudayaan asli setempat, yang ketika itu didominasi oleh ajaran agama Hindu Budha. Bahkan sampai sekarang praktik peribadatan masyarakat Islam kerap kali menyatu dengan kebudayaan asli setempat.

Misalnya, budaya yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa seperti Yasinan, Tahlilan,  Nujuh bulanan, ngehol, sebenarnya mencerminkan ekpresi keberagamaan Hindu/Budha yang terislamisasikan –terlepas dari pedebatan secara teologisnya—Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam sangat bersahabat dengan budaya masyarakat Indonesia asli.  

Dulu tentu berbeda dengan yang sekarang. Nampaknya pertumbuhan masyarakat Islam di Indonesia, dari masyarakat agraris ke masyaralat Industri merubah pola prilaku masyarakat setempat. Termasuk sikap keberagamaan Islam di Indonesia.

Perilaku Keberagamaan Masa Kini

Sikap keberagamaan tersebut tercermin dalam pengambilan pengetahuan keagamaan Islam melalui jejaringan internet; youtube, media sosial, facebook dan beberapa laman lainnya. Berbeda dengan anak-anak yang lahir pada awal tahun 1980 – 1990 an. Mereka yang lahir pada tahun tersebut, masih merasakan bagaimana belajar dangan  para ustad-ustad kampung yang dikenal memilki kapasitas pengetahuan agama. Mulai dari belajar ngaji quran, hingga belajat kitab gundul karya ulama-ulama klasik.

Nampaknya budaya tersebut sudah semakin hilang tergerus dengan  modernisasi masyaraat di Indonesia. Hal ini membuktikan salah satu esai yang pernah ditulis Prof Kuntowijoyo tentang “Muslim Tanpa Masjid” pada awal tahun 1999-an. Muslim Tanpa Masjid mencerminkan akan sebuah masyarakat Islam yang jauh dari tempat di mana ia tumbuh sebagai masyarakat yang berperadaban.

Baca Juga  Ijtihad Muhammadiyah di Era Post-Normal

Pengetahuan keagamaan yang diambil secara instan, akhirnya berdampak pada prilaku keberagaman Islam di Indonesia yang dangkal dan kadang kala menampilkan  pemahaman yang konservatif. Misalnya, yang paling nampak terlihat adalah gerakan populisme Islam yang diplopori oleh ustad-ustad kondang jebolan Timur Tengah. Bahkan sebagian ada yang lulusan universitas negeri non Islam.

Dengan menggunakan term “hijrah” sebagai platformnya kerap menambah follower/pengikutnya. Pemahaman yang setengah akan makna ‘Hijrah’ itu sendiri akhirnya berdampakan pada pemahaman kebergamaan yang monolik; hanya ada kebenaran tunggal terhadap paham keagamaan, bukan pluralistik. Seolah-olah agama hanya menguris hal-hal yang kasat; Halal-haram, Muslim-Kafir dll. Bukan yang fundamental, seperti masalah kemiskinan, bencana alam dan ilmu pengetahuan.

Moderasi Ala NU dan Muhammadiyah

Dua organisasi besar yaitu NU dan Muhammadiyah punya peran penting dalam urusan keagamaan Islam di Indonesia. Dua organisasi ini juga sudah dikenal sebagai gerakan yang merepresentasikan wajah Islam Indonesia.

Nampaknya tantangan keagamaan dua organisasi ini agak sulit kedepan. pasalnya tantangan tersebut berada di dalam tubuh kedua organisasi ini yaitu menyangkut masuknya paham/ideologi yang bertentangan dengan spirit keberagamaan Islam yang moderat. Bahkan kerap kali ditemakuan sesama anggota NU/Muhammadiyah harus berbenturan hanya karena berbeda pendapat, baik pemahaman agama, sosial sampai pilihan politik.

Spirit keberagamaan seperti di jelaskan di atas tentu bertentang dengan sprit moderasi Islam ala Muhammadiyah dan NU. Kedua organisasi ini  menurut Robert Hefner memilki karakteristik moderasi beragama yang hampir sama (Burhani, 2018). Istilah Moderat ini secara kontemporer dimaknai sebagai paham keagamaan diantara Ekstrem Liberalisme dan Ekstrem-Islamisme. Singkatnya tidak terlalu ke kiri dan tidak juga terlalu ke kanan.

Poin-poin Spirit Moderasi

Sprit Moderasi ala NU dan Muhammadiyah harus selaras dengan nafas ke-Indonesiaan. NU dengan Islam Nusantaranya dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuannya. Yang pertama, sejatinya  mengeskpresikan penghargaan terhadap tradisi lokal. Islam Nusantara menggambarkan Islam yang inklusif, terbuka terhadap berbagai macam kebudayaan.

Baca Juga  Moderasi Beragama: Solusi Menangkal Rezimentasi Agama

Jauh sebelum itu salah satu mantan Ketua PBNU Abdurrahman Wahid pernah mencangkan gagasan Pribumisasi Islam sebagai cikal bakal gagasan Islam Nusantara. Singkatnya begini kata Gusdur panggilan akrabnya “yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan Qur’an Batak dan Hadits Jawa. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Akan tetapi tidak semuanya harus disamakan bentuk luarnya”(Wahid : 2019).

Yang kedua, adalah Islam Berkemajuan sebagai ciri khas pemahaman Islam ala Muhammadiyah. Term Islam Berkemajuan sendiri memiliki makna yang kosmopolitan. Islam Berkemajuan adalah Islam yang kompatibel dengan tantangan zaman serta senafas dengan semangat kemodernan. Ini bukan berarti mesiratkan adanya Islam yang tidak maju. Tentu ini salah paham. Karena sejatinya Islam adalah agama yang maju. Sebagaimana diakui oleh sosiolog Barat Robert N Bellah (Madjid : 2008).

Misalnya, sikap berkemajuan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah gagasan Piagam Madinah yang mampu menyatukan primordialisme bangsa Arab. Watak seperti itulah yang mendorong bangsa Arab menjadi bangsa yang maju sampai pada akhir Abad Pertengahan.

Watak Islam yang maju juga yang mengilhami Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafe’i Ma’rif, Islam Berkemajuan adalah Islam yang se-nafas dengan semangat Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Inilah watak moderasi Islam ala Muhammadiyah.

Internasionalisasi Pemikiran Islam Indonesia

Semangat moderasi Islam ala Indonesia ini, menurut penulis perlu di contoh oleh negara-negara Islam di Dunia yang penuh dengan konfilik antar kelompok dan kerap menampilkan wajah Islam yang suram. Kita patut bangga menjadi bangsa Indonesia dengan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan Indonesia; suku, agama, dan ras adalah warisan mahal yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain.

Baca Juga  UEA Jalin Hubungan Diplomatik dengan Israel, Duka Bagi Palestina

Mungkin bagi sebagian orang Internasionalisasi pemikiran Islam Indonesia dirasa sangat utopis. Pembahasan mengenai Internasionalisasi gerakan semisal organisasi seperti NU dan Muhammadiyah sudah diterapkan dengan berdirinya beberapa Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) atau Pimpinan Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama (PCINU) di luar negeri termasuk di Timur Tengah. Namun soal pemikiran masih terbilang sukar ditemukan.

Langkah-langkah Internasionalisasi

Ada beberapa langkah yang menurut Prof Amin Abdullah Internasionalisasi pemikiran Islam Indonesia menjadi mungkin. Pertama, penerjemahan atas buku-buku Islam karya ulama Nusantara dari bahasa Indonesia ke Arab. Ini menjadi penting karena ternyata pusat-pusat studi Islam tentang Indonesia/Asia itu kerap lebih mudah ditemukan di Barat dari pada di Timur Tengah.

Kedua, standarisasi perguruan tinggi Islam di Indonesia perlu di Internasionalisasikan melalui standar pengajaran dengan menggunakan bahasa asing, minimal menggunakan bahasa Inggris atau Arab. Pola pengajaran dengan menggunakan bahasa Asing akan membiasakan para mahasiswa memahami karya-karya intelektual luar negeri (Abdullah : 2014).

Walaupun masih terbilang utopis, tetap penting menumbuhkan sikap optimisme dalam dua organisasi ini (Muhammadiyah dan NU) di tengah-tengah wabah kemanusiaan Dunia Islam yang semakin mencemaskan.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *