Pendekatan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir adalah pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani. Muhammadiyah sendiri sudah tidak asing dengan tiga pendekatan ini, karena sebalum digunakan dalam Tafsir at-Tanwir, Muhammadiyah dalam Putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani
Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembang, seperti dalam ijtihad menggenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.
Tafsir At-Tanwir berusaha untuk memadukan ketiga pendekatan tersebut. Ketiga pendekatan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir ini kemudian akan melahirkan karakteristik penafsiran yang berbeda jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang telah ada pada umumnya.
Sedangkan sumber referensi yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir adalah kitab-kitab tafsir seperti Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Azhar karya Hamka, Tafsir at-Tharir wa at-Tanwir karya Ibn Asyur, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim karya Ibn Katsir, al-Qur’an dan Tafsirnya karya Kemenag RI, Fi Zilal al-Qur’an karya Sayyid Quthb, Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Thabari’ Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay al-Qur’an karya Al-Thabari, al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah karya Wahbah al-Zuhaili dan lain-lainnya.
Selain kitab-kitab tafsir tersebut, sumber referensi yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir adalah kitab-kitab hadis, kitab-kitab fikih, kalam, akhlak tasawuf dan falsafah dan kamus-kamus bahasa.
Dari analisis yang telah dilakukan terhadap sumber-sumber referensi yang digunakan tidak ditemukan sumber-sumber dari para pemikir tafsir kontemporer, semacam Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nashr Hamid Abu Zaid, Amina Wadud, Fatimah Mernisi, Abdullah Saeed dan lain-lainnya.
Karakteristik Tafsir At-Tanwir
Ketiga pendektan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir ini disinyalir berimplikasi terhadap lahirnya karakteristik penafsiran. Setidaknya ada tiga karakteristik yang melekat pada Tafsir At-Tanwir. Ketiga karakteristik inilah yang kemudian membedakan Tafsir At-Tanwir dengan tafsir-tafsir yang lain. Ketiga karakteristik tersebut adalah sebagai berikut
1. Tafsir At-Tanwir adalah Tafsir Responsivitas
Adapun yang dimaksud dengan responsivitas adalah tafsir yang mampu merespons terhadap berbagai problem-problem aktual kekinian. Sehingga produk tafsir semacam ini memiliki sensitifitas terhadap permasalahan yang mengitarinya. Karena bagaimanapun tafsir yang berkarakter responsif adalah tafsir yang mampu memberikan jawaban dan solusi terhadap problem-problem aktual kekinian yang sedang dihadapi masyarakat.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menegaskan bahwa Tafsir At-Tanwir diharapkan respons terhadap situasi konkret lebih ditonjolkan. Sehingga Tafsir At-Tanwir tidak hanya sekedar kumpulan dan kliping terhadap tafsir-tafsir yang sudah ada. Melainkan diupayakan sebagai pencerminan dari dialog dan pergulatan dengan persoalan konkret yang sedang berkembang.
2. Tafsir At-Tanwir Membangkitkan Dinamika
Karakteristik yang kedua dari Tafsir At-Tanwir adalah membangkitkan dinamika. Adapun yang dimaksud dengan membangkitkan dinamika adalah bahwa Tafsir At-Tanwir diharapkan urainnya (tafsirnya) tidak sekadar menyajikan petunjuk-petunjuk kehidupan secara normatif. Melainkan berisi gagasan-gaaan dan pikiran yang dapat menjadi inspirasi bertindak kepada pembacanya. Juga sumber motivasi berbuat dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Dalam membangkitkan dinamika ini, menurut Syamsul Anwar, dimensi kedalaman ruhani, sensitivitas nurani, dan kesadaran kalbu yang dijalin dengan rasionalitas pemikiran menjadi titik sasar penting dalam kupasan tafsir.
Jika dimensi kedalaman ruhani, sensitivitas nurani, dan kesadaran kalbu yang dijalin dengan rasionalitas pemikiran menajadi titik sasar penting dalam kupasan tafsir, maka peran pendekatan irfani dibutuhkan dalam Tafsir At-Tanwir. Namun sayangnya, nuansa dari pemdekatan irfani ini masih belum begitu ketara dalam Tafsir At-Tanwir.
3. Tafsir At-Tanwir Membangkitkan Etos
Karakteristik Tafsir At-Tanwir lainnya adalah Tafsir At-Tanwir merupakan tafsir yang membangkitkan etos. Etos sangat perlu dalam mendorong kehidupan masyarakat dalam membangun diri dan melampaui ketertinggalan. Dalam Tafsir At-Tanwir ada empat etos yang dibangun, yaitu: etos ibadah, etos ekonomi dan etos kerja, etos sosial, dan etos keilmuan.
Pertama, dalam etos ibadah, misalanya, dalam surat al-Fatihah ayat ke 5 dalam Tafsir At-Tanwir telah dijelaskan bahwa ibadah merupakan perwujudan dari tauhid uluhiyyah, yaitu keyakinan yang kuat dalam hati setiap muslim bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan llah (Tuhan) yang haq, yang harus dipatuhi, ditaati, diangungkan, dimuliakan, menjadi sumber pengabdian dan menjadi tujuan dalam menjelani kehidupan (hlm. 59).
Agar etos ibadah seseorang terbangun, maka setiap ibadah yang dilakukan harus memberikan dampak positif bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Dalam pemahaman ini, etos ibadah tidak sekedar mekanis-ritualis yang berujung pada kesalihan individual semata, melainkan mampu melahirkan tindakan praksis dalam bingkai kesalihan sosial. Etos ibadah inilah yang sudah dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah yaitu KHA Dahlan dengan konsep teologi amal dengan spirit al-Ma’un.
Kedua. Tafsir At-Tanwir juga diharapkan mampu membangkitkan etos ekonomi dan etos kerja. Adapun yang termasuk dalam etos ekonomi dan etos kerja adalah konsep-konsep semagat kerja, disiplin, tepat waktu, orientasi hasil, hemat walau tidak kikir, kerjasama, selalu meningkatkan keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawab. Elemen-elemen etos ekonomi dan etos kerja tersebut menjadi titik tekan dalam Tafsir At-Tanwir.
***
Banyak istilah dalam Islam yang berasal dari turunan istilah ekonomi. Misalnya dalam QS. ath-Tholaq: 6 kata ujura ( أُجُورَ) yang berarti upah. Dalam ayat 6 surat ath-Tholaq tersebut dikatakan bahwa pemberian upah itu harus segera dilakukan setelah selesainya pekerjaan. Saat dijadikan konsep teologi, ujura atau ajrun berarti pahala.
Terminasi ekonomi juga bisa ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah ayat ke 16 yaitu isytaraudh dhalalata bi al-huda fama rabihat tijaratuhum (اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ). Pernyataan ini menggunakan istilah perdagangan yang sedang berkembang di Madinah ketika itu supaya lebih komunikatif.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa hubungan ekonomi dan agama itu demikian erat. Oleh sebab itu, sudah semestinya agama mampu memberikan dorongan terhadap pertumbuhan dan perkemabangan ekonomi. Karena bagaimanapun Indonesia tidak bisa maju jika ekonomi umat tidak maju. Di sini penafsiran-penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsir at-Tanwir diharapkan mampu dalam mendorong kemajuan perekonomian umat.
Ketiga, etos sosial yaitu berupa solidaritas, persaudaraan, toleransi, demokrasi, orientasi kepentingan bersama, kesadaran lingkungan, penghargaan kepada orang lain, pengendalian diri, kepedulian sosial, semangat berkorban di jalan Allah dan lain-lainnya.
Beberapa elemen etos sosial yang telah disebutkan hanyalah sebagian contoh saja. Masih banyak ranah lain yang termasuk etos sosial dalam Tafsir at-Tanwir. Salah satu di antaranya adalah etos pengeloaan organisasi berupa kemampuan menarikpartisipasi masyarakat, amanah, transparansi, keadilan, akuntabilitas, visioner dan lain-lainnya. Etos sosial tersebut menjadi perhatian dan fokus menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya dalam Tafsir at-Tanwir Jilid pertama Juz 1 ini.
Keempat, etos keilmuan. Tafsir yang membangkitkan etos keilmuan yaitu penafsiran al-Qur’an yang diarahkan kepada upaya memberi dorongan kepada pembaca untuk menyadari arti penting ilmu dan pengetahuan serta dorongan untuk menguasai science dan teknologi bagi kepentingan pengembangan dan pembersayaan masyarakat.
Dalam Tafsir at-Tanwir juga ditegaskan bahwa kebangkitan umat Islam tidak mungkin terjadi tanpa perjuangan keras untuk menguasai ilmu dan teknologi. Penafsiran yang membangkitkan etos keilmuan inilah yang juga banyak ditampakkan dalam Tafsir at-Tanwir.
Editor: Nabhan