Perspektif

Marital Rape di Indonesia: Perkosaan Secara Legal?

5 Mins read

Sebelum membahas marital rape di Indonesia, kita perlu memahami tantang perkawainan. Perkawinan merupakan salah satu jalan yang ditempuh oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghindari seks bebas dan segala fitnah serta efek negatif yang ditimbulkannya. Dalam perkawinan terdapat hak-hak serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri. Hak dan kewajiban tersebut tidak boleh dilanggar.

Perkosaan Secara Legal

Faktanya banyak suami maupun istri yang mengindahkan hak-hak yang mereka miliki dengan mengabaikan kewajiban yang mereka tanggung. Hal ini biasanya akan berujung pada terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga karena ada pihak-pihak yang merasa bahwa haknya tidak terpenuhi.

Sebagai contoh, banyak terjadi di masyarakat suami yang melalaikan kewajibannya untuk memberi nafkah kepada keluarga. Tetapi suami tersebut meminta haknya untuk dilayani secara seksual oleh sang istri. Apabila sang istri menolak maka suami tidak segan-segan untuk memaksakan kehendaknya dan pada akhirnya melakukan tindak kekerasan.

Di Indonesia banyak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami terhadap istri. KDRT dilakukan engan alasan istrinya menolak melakukan hubungan seksual.

Padahal istri mempunyai alasan untuk menolak ajakan suami. Sebagian besar dalam kondisi sakit dan tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual (sedang hamil atau menstruasi). Sang suami tidak mempedulikan kondisi istri, padahal seharusnya suami wajib memperhatikan kondisi, kesiapan, dan persetujuan istri sebelum melakukan hubungan seksual. Jika tidak diperhatikan, hal ini dapat menjadi bentuk perkosaan secara legal.

Perlunya Persetujuan Suami-Istri

Hubungan seksual sejatinya harus dilakukan dengan persetujuan kedua pihak, tanpa paksaan, ancaman, maupun kekerasan. Apabila hal ini terjadi, maka tindakan itu dianggap sebagai pemerkosaan.

Seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan dasar dari sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan seksual, dan kepuasan seksual. Namun bila salah seorang dari dua insan yang sedang melakukan hubugan seksual tidak menikmatinya, maka hubungan seksual dapat merupakan sesuatu yang ingin dihindari bahkan dibenci.

Banyak pasangan suami-istri tidak menikmati hubungan seksual yang mereka lakukan. Seks bagi mereka dapat menjadi beban, bahkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. Hal ini terjadi karena salah satu merasa tidak diperlukan selayaknya.

Baca Juga  Bagaimana Pendidikan yang Ideal itu?

Satu pihak memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan keinginan pihak lain. Pemaksaan dan ketidak acuhan terhadap hasrat dan kepuasan seksual merupakan salah satu bentuk pemaksaan seksual (rape).

Marital Rape di Indonesia

Marital rape (perkosaan dalam perkawinan) adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual, memaksa istri baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan disaat istri tidak menghendaki, melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. (Hasmila, 2017:66).

Marital rape merupakan suatu jenis pemerkosaan yang masih banyak diperdebatkan karena dianggap sebagai persoalan internal dan ada kecenderungan masyarakat yang menyalahkan korban. (Titin Samsudin, 2010:342)

Kasus marital rape di Indonesia sering terjadi tetapi tidak ditindaklanjuti. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan (ekonomi, sosial, maupun kultural) dan tidak ada pilihan. Selama ini orang memahami kekerasan hanya sebatas perilaku sadis, kasar, dan bengis yang dilakukan secara fisik.

Sebaliknya perilaku menindas dan mengancam secara psikis tidak dianggap sebagai kekerasan. Sedangkan marital rape adalah kombinasi dari kekerasan fisik maupun psikis. Pandangan bahwa suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya, dan istri harus tunduk pada suami menjadikan beberapa perempuan ‘terjerat’ dan tidak dapat melaporkan mengenai marital rape yang dialami. Karena dia merasa bahwa hal itu bukanlah sebuah tindakan kejahatan, dan memang sudah seharusnya dia menuruti apa yang suaminya inginkan.

Pandangan seperti ini merupakan hasil dari bagaimana masyarakat memandang laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan. Di sisi lain, sang suami merasa mendominasi dan mempunyai hak untuk memaksa istrinya.

Marital Rape adalah Pelanggaran HAM

Marital rape dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Marital rape juga bisa berarti sebagai tindakan seseorang yang tidak manusiawi dan hanya menganggap pasangan sebagai objek pemuas nafsu seksual yang menjadi penyebab terjadinya kelalaian dalam pemenuhan hak pasangan (suami/istri).

Jika dihubungkan dengan hak dan kewajiban suami istri, kalau istri berkewajiban untuk patuh dan melayani suami. Maka seharusnya istri juga berhak untuk menolak (dengan alasan yang jelas). Kalau suami berhak untuk meminta pelayanan istri, maka suami juga berkewajiban untuk untuk memperhatikan kondisi istri.

Baca Juga  Bahaya dan Manfaat Harta Bagi Manusia

Secara eksplisit KUHP belum mengatur tentang tindakan kekerasan seksual terhadap istri yang mengarah pada tindakan pemerkosaan (marital rape). KUHP hanya mengenal pemerkosaan di luar perkawinan (Aldila Arumita dan R.B Sularto, 2019:117).

Marital rape di Indonesia sendiri masih kontroversial sampai saat ini. Rancangan KUHP yang ingin memasukkan pemerkosaan dalam perkawinan sebagai perbuatan pidana, telah memunculkan banyak pertentangan.

Sejumlah kalangan menilai kalau hal tersebut dianggap bertentangan dengan nilai, agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia atau dianggap bertentangan dengan Pancasila. Pasal pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri (marital rape) dalam RUU KUHP baru tidak dijadi diundangkan.

Karena pakar hukum yang tergabung dalam panitia khusus RUU KUHP telah sepakat untuk menghilangkan penjelasan pasal mengenai marital rape dengan alasan karena masyarakat belum siap menerima pasal yang kontroversial (Hasmila, 2017:64).

Aturan dalam UU PKDRT

Berbeda dengan KUHP, UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mempunyai bentuk hukum acara yang berbeda. UU No.23 tahun 2004 mengakui bahwa pada realitanya pemaksaan hubungan seksual (pemerkosaan) tidak hanya terjadi di luar perkawinan. Bahkan dalam sebuah perkawinan realita pemaksaan hubungan seksual malah sering terjadi.

Namun harus disadari pula bahwa tidak setiap korban mau melaporkan tindakan pemaksaan hubungan seksual (marital rape) yang dialaminya. Banyak sebab yang membuat para korban enggan untuk melapor. Sebagian dari mereka menganggap bahwa persoalan seksual dalam sebuah keluarga adalah persoalan domestik, yang publik tidak berhak untuk ikut campur.

Dalam ketentuan Pasal 5 UU PKDRT, misalnya, telah lama disebutkan bahwa “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap seorang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara; a) kekerasan fisik; b) kekerasan psikis; c) kekerasan seksual; e) penelantaran rumah tangga.

Dalam Pasal 8 Jo Pasal 46 UU PKDRT, dijelaskan secara lebih lanjut bahwa yang dimaksud kekerasan seksual adalah meliputi;

  1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
  2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Terhadap pelaku kekerasan seksual dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 Juta.
Baca Juga  Dulu Jihad Berperang Sekarang Jihad Berdamai

Kekerasan Seksual Berat dan Ringan

UU kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat macam, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Sedangkan kekerasan seksual sendiri dibagi menjadi dua yaitu :

Kekerasan seksual berat yang terdiri :

  1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
  2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
  3. Pemaksaan hubungan seksual dengancara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
  4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
  5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
  6. Tindakan seksual dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera.

Sedangkan yang termasuk dalam kategori pemaksaan seksual ringan ialah berupa pelecehan seksual secara verbal seperti: gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan atau secara non verbal. Seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan/atau menghina korban.

***

Jika dilihat secara kuantitas, kasus marital rape di Indonesia cukup memperihatinkan. Sebagaimana data yang ditampilkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Akhir Tahun yang diluncurkan bulan Maret 2019 lalu, mengungkapkan bahwa terdapat 9.637 kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Dari jumlah kasus tersebut, pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) yang dilaporkan menempati angka 195 kasus. Angka tersebut meningkat dari tahun 2017 yang mencapai 172 kasus. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap marital rape khususnya di Indonesia memiliki urgensi tersendiri dalam rangka memberikan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *