Perspektif

Bahaya dan Manfaat Harta Bagi Manusia

4 Mins read

Oleh: Basrowi*

Dalam realitas masyarakat, kepemilikan atas harta merupakan standarisasi dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang. Harta yang melimpah menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berbahagia.

Dengan asumsi tersebut, manusia cendrung berlomba-lomba untuk memperbanyak harta kekayaan yang dimiliki, karena kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama posisinya dengan kebutuhan hidup manusia terhadap anak dan atau keturunan. Sehingga dengan demikian kebutuhan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar.

Harta dalam Islam

Harta merupakan karunia Allah SWT untuk umat manusia. Ia bagaikan perhiasan yang bisa menambah indahnya kehidupan di dunia, ia merupakan suatu hal yang selalu dipikirkan oleh manusia, bahkan banyak orang yang mengorbankan tenaga dan fikirannya untuk memperoleh harta sebanyak-banyaknya.

Banyak manusia beranggapan bahwa orang sukses adalah orang yang mampu mengumpulkan pundi-pundi harta sebanyak-banyaknya. Orang belum disebut sukses jika belum mempunyai banyak harta. Agaknya penyakit materialis inilah yang terjadi pada zaman sekarang, manusia mempunyai standar kesuksesan diukur dari banyaknya harta yang dimiliki.

Sebenarnya Islam mengakui bahwa eksistensi dan manfaat harta sangat penting untuk mendukung penyempurnaan pelaksanaan ibadah. Baik yang ritual, sosial, bahkan jihad salah satunya harus dengan harta. Oleh sebab itu, Islam melalui al-Qur’ān dan Ḥadīṡ memberikan tuntunan mengenai harta. Agar manusia bisa memposisikan harta dengan benar untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan aktivitas ekonomi Islam.

Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan mengambil manfaat dari harta sebagai sesuatu yang lazim. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non-materi.

Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan aturan-aturan Allah yang harus diperhatikan oleh manusia agar dalam proses baik pencarian, pemilikan, dan pemanfaatan harta tersebut tidak menimbulkan kekacauan dalam kehidupan.

Harta Milik Siapa?

Pada kenyataannya, motivasi untuk memperoleh harta tersebut banyak keluar dari aturan-aturan yang telah ditetapkan, sehingga baik dalam proses pencarian, kepemilikan maupun pemanfaatannya ada pihak-pihak yang terzalimi dan menjadikan  pelaksanaan Islam sebagai way of life yang diharapkan melahirkan tatanan hayatan thayyibah tidak bisa terwujud dengan sepenuhnya.

Baca Juga  Islam dan Kemiskinan di Yogyakarta

Kata harta disebut dengan al-māl, yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring. Dari definisi ini bisa dipahami bahwa harta bisa membuat manusia condong atau cenderung hatinya untuk memiliki harta, dan terkadang miring rasionya ketika sudah berhadapan dengan harta.

Ada yang berpendapat harta berasal dari kata kerja mālayamūlumaulan yang berarti mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Definisi ini memberikan pengertian, sesuatu dimaknai harta bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik untuk kepentingan individu, keluarga maupun kelompok.

Pemilik mutlak harta adalah Allah SWT, oleh karena itu harus dikelola sebagaimana kita mengelola harta titipan. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah yang dipercayakan kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal-hal yang baik.

Kepemilikan pribadi, baik atas barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal, sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak. Pemanfaatannya pun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dengan ajaran Islam.

Manfaat untuk Ibadah

Kedudukan harta dalam Islam mempunyai peran sangat penting, oleh sebab itu harus dikelola (manajemen) agar dapat memberi manfaat sebagai sarana untuk beribadah. Salat, zakat, haji, dan jihad semuanya membutuhkan harta. Sehingga, seorang muslim seharusnya memiliki harta, agar dapat melaksakan ibadah secara sempurna.

Harta tidak langsung mempunyai manfaat dan madharat ibarat sebilah pisau. Oleh sebab itu, harta harus dikelola dengan baik, seperti halnya pisau ia akan bermanfaat jika yang memegangnya adalah koki untuk memasak masakan. Akan tetapi jika pisau dipegang oleh orang jahat, pisau akan menjadi alat untuk menakut-nakuti, melukai, bahkan membunuh manusia.

Untuk memperoleh harta harus direncanakan dengan baik. Manusia harus berusaha memperoleh harta dengan bekerja, bahkan Rasulullah memberikan apresiasi kepada orang yang giat dalam bekerja sebagai orang yang cintai oleh Allah, dan ia bagaikan orang yang berjuang di jalan Allah.

Baca Juga  Kalau Bisa Sederhana, Jangan Dibuat Rumit!

Sebenarnya segala harta yang ada di bumi dan di langit adalah milik Allah, maka selama harta tersebut belum dikuasai oleh manusia, harta tersebut boleh dimiliki dan dikelola. Harta merupakan amanah yang harus hati-hati dalam mencarinya dan harus benar dalam menggunakannya, karena di hari kiamat akan ada pertanggungjawaban dalam mengelola harta.

Oleh sebab itu, ada empat kelompok manusia dalam mengelola hartanya, pertama, kelompok yang akan selamat, yaitu mereka yang mendapatkan harta dengan cara yang halal dan menggunakannya dengan cara yang halal, kedua, mereka mengumpulkan harta dengan cara yang halal namun digunakan untuk sesuatu yang haram, ketiga, adalah mereka yang mengumpulkan harta dengan cara yang haram kemudian menggunakannya untuk yang halal, demikian pula harta digunakan untuk sesuatu yang halal namun disertai riya’, keempat, adalah mereka yang mengumpulkan harta dari jalan haram dan menggunakannya untuk sesuatu  yang haram.

Islam menganjurkan agar seorang muslim gemar memberi walau sekecil apapun. Karena dengan bersedekah ibarat sedang berinvestasi yang akan selalu bertambah keuntungannya. Salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta terutama dalam hal pemanfaatan atau distribusi yang tidak terdapat  dalam ekonomi kapitalis maupun sosialis adalah zakat

Ujian Bagi Manusia

Harta itu adalah ujian, padahal manusia sangat menyukainya. Oleh karena itu, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian besar ini. Sedikit sekali orang yang bisa bersyukur kepada Allâh SWT atas limpahan nikmatNya yang tidak terhitung jumlah dan nilainya.

Setiap umat diuji dengan cobaan yang sesuai dengan keadaan mereka. Setiap umat memiliki ujian, maksudnya kesesatan dan kemaksiatan. Ujian umat ini adalah harta, maksudnya harta menyebabkan kelalaian. Karena harta bisa melalaikan fikiran dari ketaatan dan bisa menyebabkan lupa akhirat.

Baca Juga  Indonesia itu Humanisme Religius atau Humanisme Sekuler?

Oleh sebab itu, ujian dengan harta akan menampakkan jati diri umat ini. Akan menguji kesungguhan seseorang dalam berpegang teguh dengan syari’at, mempertahankan kesucian jiwanya, serta menguji tekadnya untuk tetap berpegang dengan manhaj yang haq.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh harta menjadi semacam kekuatan yang mampu menggerakkan syahwat dan menyeret pemiliknya untuk bersenang-senang dengan hal-hal mubah, sehingga bersenang-senang itu menjadi kebiasaannya. Bisa jadi, kesenangannya terhadap harta semakin bertambah besar. Sementara terkadang dia tidak mampu mencari yang halal, akhirnya terjerumus dalam perkara syubahat. Ditambah lagi perkara syubhat tersebut melalaikan dari dzikrullâh.

Selayaknya, seorang hamba tidak membiarkan dirinya diperbudak harta dalam kehidupannya. Tidak berangan-angan dan bermimpi untuk mendapatkannya. Tidak mencintai dan membenci karenanya. Juga tidak membela dan memusuhi hanya demi harta. Karena hal itu hanya akan membawa kepada kehancurannya.

***

Harta yang baik lagi halal yang ada di tangan orang muslim yang saleh memiliki banyak manfaat dan keistimewaan bagi dirinya, keluarganya maupun orang lain, baik itu menyangkut urusan dunia maupun agama. Tentu saja orang yang pintar mengelola harta adalah hamba Allah yang saleh dan mengerti kedua maslahat ini. 

Terkadang di antara manusia ada yang tertipu dengan harta yang dimilikinya, seakan-akan harta tersebut akan mengekalkannya di dunia, padahal tidak demikian. Secara tabiat, manusia pasti mencintai yang namanya harta. Akan tetapi mereka berbeda-beda dalam kadar kecintaan terhadap harta tersebut.

Ada di antara mereka yang mencintai harta melebihi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya, bahkan hak Allah dan rasul-Nya diabaikan demi meraup harta tersebut, sehingga hartanya akan membuat dia celaka dan sengsara di dunia lebih-lebih di hari akhirat. Na’udzubillah min dzalik

*) Pemerhati Ekonomi Syariah.

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *