Oleh: Mu’arif
Dalam sidang-sidang Konstituante, sebuah topik menjadi perdebatan sengit antara kelompok partai Islam dengan kelompok partai sosialis-nasionalis. Topik yang dimaksud seputar pandangan agama Islam tentang kedudukan perempuan. Partai Masyumi yang mewakili partai-partai Islam berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka. Dalam perdebatan ini terdapat tafsir Kasman Singodimedjo tentang Perempuan dalam Islam.
Kasman Singodimedjo mewakili Partai Masyumi berdebat sengit dengan Asmoro Hadi, Nyoto, dan Ny. Tresna Soengkawati Garnida. Di mata para feminis sosialis, agama Islam dipandang telah mendudukan kaum perempuan dalam posisi subordinat. Cenderung dieksploitasi, dan jauh dari nilai-nilai humanis. Kepada lawan-lawan politiknya, Kasman menjelaskan pandangannya tentang prinsip human right dan kedudukan perempuan dalam Islam yang sering disalahpahami para orientalis.
Konsep Human Right
Meskipun Kasman lulusan pendidikan Barat, tetapi konstruksi pemikirannya tidak lepas dari ajaran Islam. Terbukti saat Kasman merespon kritik para feminis yang menganggap agama Islam tidak manusiawi terhadap kaum perempuan. Ia membalik struktur logika yang membangun prinsip hak kemanusiaan berdasarkan standar epistemologi Barat yang cenderung antroposentris. Manusia dalam ajaran Islam menduduki posisi sebagai makhluk dan telah menanggung kewajiban asasi untuk beribadah (menghamba) kepada Sang Khalik (Allah SWT). Maka prinsip human right dalam ajaran Islam adalah penunaian atas kewajiban-kewajiban asasi.
Dalam praktik kehidupan Muslim, pola hubungan antara makhluk dan sang pencipta (Tuhan) bersifat struktural: atas dan bawah. Maka prinsip kebebasan individu—yang akan mengantarkan kepada pengakuan hak-hak individual/private—oleh Kasman digeser dengan konsepsi “kewajiban individual” atau fardlu ‘ain. Sedangkan konsepsi fardlu kifayah—dalam pandangan Kasman—berkaitan dengan kewajiban yang dijalankan dalam masyarakat dan negara.
Atas dasar inilah, dalam salah satu Pidato Kasman di Majelis Konstituante ditegaskan bahwa,
“Islam menjamin hak-hak manusia (human right), dengan menitikberatkan penunaian kewajiban-kewajiban asasi.”
(Pidato Mr. Kasman Singodimedjo di Konstituante Republik Indonesia tentang Dasar Negara”, dalam Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, h 458).
Prinsip Islam menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hak-hak kemanusiaan yang timbul setelah penunaian kewajiban-kewajiban asasi tidak mengenal stratifikasi sosial berdasarkan latarbelakang agama, jenis kelamin, kedudukan, kepintaran, nasab, dan lain-lain. Kasman berpendapat,
“Allah sendiripun tidak membeda-bedakan antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain atas dasar keyakinan atau kepangkatan, atas dasar tugas atau kedudukan, atas dasar keberuntungan atau pemilihan, atas dasar gelar atau lencana, atas dasar keturunan atau asal-usul, atas dasar penunjukan atau pemilihan atas dasar kesukaan atau kegemaran, atas dasar kemampuan atau kekuasaan, atas dasar sikap atau pintarnya omong, atas dasar kecakapan atau lagak-lagu, tidak, bukan itu ukuran penilaian Allah,”
Seraya mengutip surat surat Al-Hujurat (49) ayat 13, Kasman menegaskan kepada forum Konstituante bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah SWT, sedangkan yang membedakan keduanya hanyalah derajat ketakwaan masing-masing.
Kedudukan Perempuan
Dalam Sidang Konstituante tanggal 13 November 1957, Kasman kembali berargumentasi menempatkan kedudukan perempuan sangat mulia. Ia berdalih bahwa ajaran Islam dipahami secara keliru oleh para orientalis seraya mengutip hadis Nabi SAW, “Sorga itu adalah pada kaki kaum ibu.”
Pandangan para orientalis yang keliru memahami kedudukan perempuan dalam agama Islam sejalan dengan pandangan para aktivis feminisme radikal. Hal ini direpresentasikan oleh beberapa anggota Konstituante dari beberapa partai berhaluan nasionalis. Mereka khawatir jika ajaran Islam masuk ke dalam sistem konstitusi nasional akan menciptakan ketidakadilan sosial di Indonesia.
Ketidakadilan sosial yang dimulai dari pemahaman bias dalam hal peran antara laki-laki dan perempuan seperti yang dituduhkan oleh kelompok feminis radikal. Dengan berbagai macam dalih, menggunakan argumentasi logis maupun dali-dalil yang dinukil dalam Al-Qur’an, Kasman menegaskan, “Saudara ketua, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda sebagai berikut: “tidak menghinakan wanita kecuali orang yang hina. Dan tidak memulyakan wanita melainkan orang yang mulya.”
Dalam konteks ini, Kasman membedakan konsep kedudukan perempuan dalam Islam tidak sama seperti dalam tradisi Jawa atau tradisi yang berlaku di beberapa negara Eropa. Latar belakang lahirnya gerakan feminisme di Eropa memang sangat kontekstual dengan budaya masyarakat Indonesia, khususnya dalam tradisi Jawa. Yaitu latar belakang yang memandang kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Kasman menegaskan,
“…Di dalam agama Islam, saudara ketua, tidak berlaku pepatah Jawa yang mengatakan: “Wong wadon kuwi suargo nurut, neroko katut!” yang artinya: “Orang perempuan itu mengikuti suaminya, maupun ke neraka sampaipun ke sorga.” Pula bagi wanita Islam tidak berlaku pepatah, “Dat de vrouw zwijge in haar gemeente,” yang berarti: “Orang perempuan itu sepatutnya bungkam tutup mulut di dalam masyarakat.”
Tafsir Kasman Singodimedjo tentang Perempuan dalam Islam
Walaupun kedudukan perempuan begitu terhormat dalam pandangan Kasman—begitu juga hakekat kedudukan perempuan dalam ajaran Islam—tetapi fakta bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Kasman tidak menyebut istilah faktor gender (jenis kelamin) untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ia menyebut faktor-faktor sebagai berikut: 1) bakat—yaitu potensi dalam diri manusia, 2) sifat—yaitu karakter, dan 3) pembawaan—yaitu karakter bawaan sejak lahir.
Konsekuensi atas perbedaan bakat, sifat, dan pembawaan antara laki-laki dan perempuan pada fungsi dan tugas yang berbeda. Dengan logika strukturalis, Kasman menempatkan pemahaman kedudukan perempuan dalam masyarakat atas dasar perbedaan bakat, sifat, dan pembawaan memang berbeda dengan laki-laki. Namun, secara teologis, kedudukan manusia—laki-laki maupun perempuan—adalah sama di hadapan Allah SWT. Dengan merujuk pada penafsiran surat Al-Hujurat (49) ayat 13, kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan keduanya hanyalah derajat ketakwaan masing-masing.
Setiap menyampaikan pandangan resmi ideologi Partai Masyumi, Kasman selalu mendapat kritik dan sanggahan sehingga terciptalah perdebatan sengit di forum-forum Konstituante. Gagasan-gagasan resmi tentang konsepsi Islam dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara sering disanggah oleh perwakilan PKI (Asmara Hadi, Nyoto). Mereka menuding argumentasi Kasman terlalu lemah. Sedangkan kritik dari para feminis terhadap ideologi Partai Masyumi terkait pandangan yang bersumber dari para orientalis yang menilai agama Islam telah mengeksploitasi kaum perempuan.
Relasi Kemitraan Harmonis
Hak-hak perempuan sebanding dengan hak-hak laki-laki atas dasar penunaian kewajiban masing-masing. Sebab, di hadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan menanggung kewajiban yang setara. Cukup menarik dalam hal ini bahwa Kasman memahami dalil-dalil perintah dalam Al-Qur’an selalu ditujukan kepada laki-laki dan sekaligus perempuan.
Hal ini, dalam tafsiran Kasman, sesungguhnya menunjukkan suatu pemahaman bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu setara dalam hal menanggung beban kewajiban agama. Secara jernih, Kasman merenungkan makna keberagaman manusia dengan latar belakangnya sebagai suatu ketetapan Allah SWT agar masing-masing saling memahami dan hidup harmonis.
Pola relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam kacamata strukturalisme Kasman, memiliki bentuk relasi partnership—kemitraan yang harmonis. Dengan kosmologi umat Islam, kehadiran umat manusia di muka bumi sebenarnya berasal dari sepasang manusia dengan jenis kelamin laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa).
Inilah cikal bakal komunitas manusia, yang dimulai dari relasi kemitraan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sampai melahirkan anak keturunan. Hadirnya keluarga sebagai unit terkecil dalam struktur masyarakat menjadi pilar dalam pembentukan komunitas besar yang bernama bangsa.
***
Kasman kembali mematangkan konsepsinya tentang kedudukan harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam pola kemitraan harmonis sebagai modal awal pembentukan sebuah bangsa. Dalam buku Renungan dari Tahanan (1968: 55), Kasman menggagas bahwa lahirnya konsep nation (bangsa) dalam Islam, sebagaimana ia menafsirkan Al-Quran (Q.S. Al-Baqarah [2] : 213, Yunus [10] : 19) dalam konteks politik kenegaraan, tidak bisa lepas dari konsep “umat yang tunggal” (ummatan wāhidatan). Umat yang tunggal terbentuk dari unit-unit kecil dalam masyarakat. Sedangkan masyarakat terbentuk dari individu-individu—Kasman menggunakan istilah “oknum individual”—yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan.