Perspektif

Wacana Tafsir: Membaca Arah Pemikiran Kaum Tekstualis dan Kontekstualis

5 Mins read

Tafsir Kontekstual – Pergumulan pengetahuan dalam Islam menuju ke arah kompleksitas. Paling tidak terdapat dua pendekatan besar dalam Islam menjadi titik tolak untuk mengkaji berbagai macam persoalan.

Pendekatan tersebut ialah tekstual dan kontekstual. Dalam hal ini, menjadi menarik ketika melihat keduanya saling kontradiktif dalam melihat sebuah problem yang terjadi saat ini.

Wacana Tafsir Tekstual

Pada Pembahasan kali ini, penulis ingin melihat bagaimana kaum tekstualis membaca teks suci Al-Qur’an, dalam artian mengikuti bunyi dari literal teks dan memaksa ruang dan zaman yang berbeda untuk masuk ke dalam ruang dan zaman tertentu.

Sebelumnya, kita harus mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah pondasi utama dan terutama bagi umat Islam. Tidak mengakuinya dan lantas meninggalkannya sama artinya dengan meninggalkan Islam.

Asumsi dari keyakinan ini tidak bisa diganggu gugat dan telah menjadi dasar keberagaman Islam. Dari sudut pandang ini, maka tidak mengherankan apabila kemudian Al-Qur’an dijadikan argumen pertama dalam upaya sebuah kelompok atau aliran untuk ‘membenarkan pandangannya sendiri’ dan ‘meyalahkan pandangan orang lain’.

Fahmi Salim menyebut bahwa Al-Qur’an juga adalah teks divine dan autentik berasal dari Allah SWT. Ini adalah kekhususan yang paling utama bagi Al-Qur’an.

Dalam posisi ini –manusia untuk Al-Qur’an– menurut penulis Al-Qur’an dijadikan landasan utama dan dalam keadaan yang sama 14 abad yang lalu.

Dalam artian, setiap apa yang dibunyikan Al-Qur’an 14 abad yang lalu maka seperti itulah dunia ini harus berjalan. Manusia tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mencampuri urusan Allah dalam memaknainya apalagi untuk membentuk makna baru dari Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ada beberapa kelompok yang mewajibkan untuk mengikuti pentunjuk Al-Qur’an secara harafiah, Fahruddin Faiz dalam karyanya “Hermeneutika Al-Qur’an” menjelaskan secara umum aliran ini berpedoman bahwa satu-satunya jalan yang valid untuk mengetahui segala jenis aqidah dan hukum Islam, baik yang pokok maupun yang bukan, termasuk dalil-dalil pembuktiannya adalah Al-Qur’an dan hadis nabi.

Anggapannya adalah, manusia dengan akal pikirannya tidak memiliki wewenang untuk mena’wil, menafsirkannya kecuali dalam batas-batas tertentu. Manusia dan akal pikirannya wajib tunduk patuh kepada kedua nash tersebut, dan hanya berfungsi sebagai saksi pembenar dan penjelas saja, tidak dalam posisi menghakimi atau memutuskan.

Baca Juga  Empat Keuntungan Mentadabburi Al-Qur’an

Asumsinya terus berlanjut, bahwa Nabi saw adalah orang pertama dan paling berwenang untuk menafsirkan Al-Qur’an dan dianggap paling otoritatif untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umatnya.

***

Hal ini dapat dipahami karena amanah untuk menjelaskan Al-Qur’an ada padanya dan langsung mendapat sertifikat sah dari Allah SWT (Al-Qiyamah 75:17-19, an-Nahl 16:44, an-Nahl 16:64).

Memang salah satu keistimewaannya ialah bahwa Rasul ketika menafsirkan Al-Qur’an selalu dibimbing oleh wahyu terutama terkait dengan syariat dan hal-hal yang ghaib namun dalam masalah muamalah, kebijakan politik dan strategi perang misalnya, maka Nabi saw juga berijtihad. Kemudian, jika nantinya terdapat kekeliruan dari ijtihad tersebut, maka biasanya wahyu akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi –kemashuman– Nabi Saw.

Oleh karenanya, dapat dipahami sebenarnya Al-Qur’an yang ada pada saat ini telah sempurna ditafsirkan oleh Nabi saw melalui arahan dari Allah SWT, maka manusia tidak berhak untuk menafsirkannya kembali.

Cukup dengan apa yang telah ditafsirkan oleh Nabi saw melalui arahan Allah tersebut demi mencapai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Inilah yang kemudian disebut sebagai manusia untuk Al-Qur’an, yakni menjalankan setiap liku kehidupan ini dengan semata-mata mengikuti arahan dari Al-Qur’an tanpa campur tangan manusia.

Kemudian, asumsi diatas pula yang melahirkan kaum-kaum tekstualis demi menjaga keagungan Al-Qur’an dan hidup dengan Al-Qur’an yang sebenarnya bukan dengan Al-Qur’an yang seharusnya.

Wacana Tafsir Kontekstual

Tafsir kontekstual sederhananya sedang membangun pemahaman bahwa teks suci Al-Qur’an (nilai-nilai) bisa terus utuh dan menempel sampai akhir zaman (2:185). Untuk menjadikannya sebagai pedoman hidup tentu harus mengetahui bagaimana interaksi teks tersebut dengan konteks yang ditempatinya.

Salah satu cara memahami ajaran Al-Qur’an ialah meninjau ulang praktik-praktik yang dilakukan oleh generasi awal abad ke-7 kemudian pada saat yang sama memahaminya dengan cara bagaimana ia dipraktikkan pada era terkini ini lazim disebut oleh Abdullah saeed sebagai tafsir kontekstual.

Perlu diketahui bahwa setiap teks atau penafsiran terhadap suatu teks, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kultur dan anggapan-anggapan yang melatarbelakangi penafsirnya.

Baca Juga  Anak Nasionalis itu Bernama Santri

Artinya, ketika seorang mufassir berhadapan dengan teks suci Al-Qur’an maka sebenarnya ia sudah memiliki prior text (latar belakang keilmuwan, konteks sosial politik, kepentingan, dan tujuan penfsiran).

Dengan demikian, hasil penafsiran setiap orang bisa jadi berbeda terhadap teks Al-Qur’an karena sebuah penafsiran tidaklah memproduksi makna teks, tetapi juga memproduksi makna baru dari teks.

Pada generasi awal Islam, telah memperlihatkan makna dari “Al-Qur’an untuk Manusia” sebagai contoh khalifah Umar bin Khattab. Umar memiliki pandangan yang berbeda dengan pemahaman literal/harfiah teks Al-Qur’an yang dipahami oleh sahabat lainnya yakni mengenai pelaksanaan hukum dalam Al-Qur’an.

Terkait hal ini, Umar berpendapat bahwa hukuman bagi pencuri yang telah mencapai batasan potong tangan (5:38) ditangguhkan karena pada saat itu di Madinah telah terjadi kelaparan secara meyeluruh, yang dikenal sebgai “tahun kekeringan”.

Abdullah Saeed dalam tulisannya Reading the Qur’an in the Twenty-first Century A Contextualist Approach  menjelaskan bahwa dilihat dari literal teksnya hukuman terhadap pelaku pencuri tidak menyatakan bahwa hukuman harus dihentikan karena kondisi ekonomi yang sulit.

Namun, Umar berpandangan bahwa karena masalah kelaparan, beberapa orang bisa saja menjadi terpaksa untuk melakukan pencurian karena rasa lapar yang akut dan tentunya apa yang telah dilakukan oleh sang khalifah umar tidaklah sesuai dengan bunyi literal ayat.

***

Contoh berikutnya mengenai terkait problem poligami, secara tekstual ternyata ada ayat yang membolehkan poligami (an-Nisa [4]:3), akan tetapi dari ayat tersebut melahirkan ragam makna penafsiran.

Salah satu tokoh tafsir atau peneliti kontemporer yang berbicara tentang hal ini ialah Fazlur Rahman. Dalam pandangannya, Al-Qur’an memang secara hukum melegalkan sistem poligami, namun Al-Qur’an juga membatasi maksimal empat dan mensyaratkan harus adil serta mengangkat martabat dan nasib kaum perempuan yang dinikahinya.

Baca Juga  Kredit Macet pada LKMS (2): Zakat Hanya untuk Gharim

Yang perlu diingat tegasnya, “poligami pada waktu itu berhubungan dan merupakan jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi ketika itu”. Oleh karena itu, ayat tersebut dapat dikategorikan sebagai ayat yang bersifat kontekstual, tergantung pada problem sosial seperti apa yang terjadi ketika itu.

Fazlur Rahman mengatakan ayat tersebut (An-Nisa [4]:3) sering ditafsirkan secara parsial dan bahkan tidak jarang disalahpahami. Sehingga implikasinya, seseorang membolehkan poligami dengan sewenang-wenangnya sendiri, tanpa melihat konteks saat turunnya ayat dan tanpa melihat ideal moralnya.

Dalam hal ini, Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa ideal moral dari ayat tentang poligami ialah berbuat adil, penyantunan janda, dan anak-anak yatim, dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim tersebut.

Jadi, jika dilihat dari penjelasan di atas Fazlur Rahman sedang ingin menekankan bahwa tidaklah semudah apa yang tergambarkan pada literal teks tentang masalah poligami sehingga kita dengan seenaknya saja melegalkan praktik poligami itu namun butuh syarat yang berat dan mungkin mustahil dilakukan oleh manusia sebagaimana terkandung di dalam ayat tersebut.

Dua Poin dari Tafsir Kontekstual

Dari kedua contoh yang saya paparkan diatas sebenarnya tokoh-tokoh tersebut sedang dalam ruang yang disebut kontekstualisasi. Mereka mencoba memecahkan problematika yang sama diruang dan waktu yang berbeda serta dengan cara yang berbeda dari pendahulunya hanya dengan mengambil ideal moral atau maqashid dari teks tersebut.

Apa yang telah mereka lakukan ini tidak lain hanyalah untuk menjadikan Al-Qur’an itu kontekstual sepanjang masa (shahih li kulli zaman wa makan) dan tidak dalam posisi sedikitpun untuk merendahkan kesucian dan keagungan Al-Qur’an justru malah ingin menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu memang benar-benar kitab pedoman bagi seluruh makhluk Tuhan.

Berdasarkan dua poin diatas maka telah jelas bagaimana gambaran besar antara kaum tekstualis dan kontekstualis. Hemat penulis, tulisan ini tidaklah berusaha untuk mensekulerkan keduanya, untuk itu, pada perkembangannya aliran penafsiran sangatlah dinamis, tidak menutup kemungkinan terhadap sesuatu yang baru.

Wallahu ‘alam.

Editor: Yahya FR

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds