Pada malam 1 Syawal, saya sempat berdebat ringan dengan ibu karena masalah zakat. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, ibu lebih memprioritaskan zakat fitrah (zakat ibu, adik, keponakan) tahun ini untuk guru-guru mengajinya. Padahal, tahun-tahun sebelumnya ibu lebih memprioritaskan golongan fakir dan miskin.
Tidak bermaksud mengkritisi secara langsung tindakan ibu yang menurut saya kurang begitu realistis. Karena, jika kita kembalikan pada realitas masyarakat, fakir miskin adalah golongan yang paling membutuhkan, atau kalau kita kembalikan pada urutan prioritas penerima zakat, golongan fakir miskin adalah masuk pada urutan yang pertama. Jadi, selama masih ada golongan fakir miskin, sebaiknya zakat diutamakan untuk golongan ini. Toh, ulama-ulama sekarang lebih sejahtera.
Tentu bukan suatu kesalahan, memberikan zakat fitrah ataupun mal kepada ulama. Sebab, berdasarkan Al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 60, disebutkan bahwa ada delapan urutan golongan yang berhak menerima zakat, diantaranya adalah fakir, miskin, amil zakat, mualaf, riqab (budak), gharim (orang yang berhutang), fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (orang dalam perjalanan). Ulama masuk pada golongan fi sabilillah.
Tetapi, di sini perlu dijelaskan bahwa tujuan utama dikeluarkannya zakat secara objektif adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Selama ini, sering kali kita hanya berhenti pada level subjektif individual, yaitu sebatas untuk pembersihan jiwa dan harta. Sehingga, orientasi kita bukan untuk tujuan objektif, melainkan subjektif.
Zakat Merupakan Misi Kemanusiaan
Padahal, terdapat misi kemanusiaan dalam perintah zakat, yaitu membebaskan orang-orang dari kemiskinan. Bahkan, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa tujuan akhir dari perintah zakat adalah untuk tercapai egalitarianisme ekonomi. Karena proses pendistribusian kekayaan ditujukan kepada orang-orang fakir miskin, itu artinya perputaran uang tidak hanya terjadi pada orang-orang tertentu saja (tidak terjadi akumulasi kekayaan, konsentrasi modal, dan pemilikan harta atas dasar etika keserakahan).
Sering kali kita terjebak (berhenti) pada penafsiran individual dalam perintah ibadah, padahal ada yang lebih penting daripada sekadar tafsir individual, yaitu penafsiran perintah ibadah secara sosial struktural. Sebab, orientasi ibadah bukan hanya kepada Tuhan, melainkan juga kepada manusia. Islam sebagai agama yang humanis (teosentris), perlu adanya usaha untuk merefleksikan nilai-nilai humanis Islam dalam kehidupan aktual. Salah satu caranya adalah menafsirkan perintah-perintah ibadah secara sosial struktural.
Dengan penafsiran itu, diharapkan Islam mampu memainkan peranannya dalam mengatur kehidupan dan perilaku sosial di masyarakat. Sebab, menurut Ackermann, secara sosiologis agama dianggap tidak bermakna apa-apa sepanjang tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kehidupan masyarakat.
Penafsiran Sosial dalam Perintah Zakat
Penafsiran sosial dalam perintah mengeluarkan zakat, yakni tercapainya kesejahteraan, sudah sesuai dengan cita-cita kemanusiaan Islam sejak kemunculannya, yaitu pembelaan terhadap kaum lemah (fakir miskin). Seperti kata Jalaluddin Rakhmat (dalam Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan), Islam adalah agama kaum mustadh’afin atau agama yang memihak pada kaum lemah (miskin, terbelakang, tertindas). Tugas kita sebagai muslim adalah membebaskan umat dari belenggu tersebut.
Jadi, perintah zakat akan lebih fungsional secara sosial di masyarakat adalah dengan memprioritaskan penerima zakat berdasarkan urutan skala prioritas yang telah ditetapkan. Selama kaum fakir dan miskin masih banyak di lingkungan sekitar, sebaiknya zakat diperuntukkan kepada mereka.
Editor: Lely N