Tafsir

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 142: Bersabar dalam Kebenaran

3 Mins read

Kata sabar sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya dalam Alquran disebut sebanyak 70 kali. Sabar tidak hanya berlaku ketika kita mendapat musibah, namun juga berlaku di aspek kehidupan lain. Termasuk sabar di dalam menegakkan kebenaran. Salah satu tafsir sabar dalam konteks menegakkan kebenaran juga bisa dilihat dalam Surah Ali Imran ayat 142.

Allah Swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran [03]: 142 yang berbunyi:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ.

“Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal Allah belum mengetahui (mendapatkan bukti) di antara kalian yang berjuang dengan sungguh-sungguh dan siapakah di antara kalian yang termasuk orang-orang yang sabar.”

Menegakkan Kebenaran

Tafsir Surah Ali Imran ayat 142 di atas mengandung beberapa pesan yang dapat menjadi kunci agar seseorang bisa masuk surga, yaitu:

Pertama, perjuangan seseorang dengan sungguh-sungguh (jihad) dalam upaya menegakkan kebenaran dan tegaknya ajaran agama. Dari sini kemudian timbul pertanyaan, untuk menegakkan prinsip-prinsip ajaran agama, perjuangan mana yang harus dilakukan? Pertanyaan ini muncul karena kenyataan menunjukkan bahwa banyak penganut agama yang kurang peduli dengan persoalan keagamaan. Beragama baru sebatas untuk kepentingan diri sendiri, belum memikirkan keberagamaan saudara-saudaranya yang seiman.

Berjuang untuk kepentingan kebenaran agama bisa dilakukan oleh siapa pun dengan profesi apa pun. Yang terpenting dalam perjuangan ini adalah komitmen dan berdasar panggilan dari hati nurani. Oleh karena itu, pantaslah jika keimanan kita dalam batas-batas tertentu dipertanyakan dan dianggap belum layak menjadi penghuni surga, karena tugas menghidupkan syiar agama membutuhkan perjuangan dan perjuangan membutuhkan kesabaran.

Dalam tafsir surah Ali Imran ayat 142 di atas terdapat kalimat وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ (dan padahal Allah belum mengetahui). Maksud‘belum diketahui oleh Allah’ adalah orang-orang yang berjihad, karena mereka sebenarnya belum berjihad. Dinafikannya pengetahuan Allah di sini berarti dinafikannya wujud perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.

Baca Juga  Sejarah dan Karakteristik Tafsir Aliran Fikih

Oleh sebab itu, bukan karena Allah yang belum tahu, Allah Maha Mengetahui segalanya. Tapi wujud perjuangan yang seharusnya dilakukan belum terbukti. Ini berarti ayat Alquran menetapkan harapan agar ada wujud perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang beriman di masa mana pun. Dan kemauan berjihad itu pun harus dibarengi dengan kesabaran yang kuat.

Kesabaran dalam Perjuangan

Kedua, perjuangan menegakkan kebenaran bukan perjuangan tanpa rintangan, melainkan perjuangan penuh rintangan, terkadang malah ancaman. Ketika menghadapi rintangan dan ancaman, kita membutuhkan tingkat kesabaran tertentu. Oleh karena itu, kesabaran penuh dalam berjuang sangat diperlukan dan berjuang dengan penuh kesabaran sangat menentukan hasil.

Sabar dalam berjuang tidak hanya mampu mengatasi rintangan-rintangan dari mana pun datangnya, tapi juga harus sabar dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, baik yang ritual maupun sosial. Sabar juga harus diterapkan saat melihat benyak orang melakukan pelanggaran sehingga tidak tergoda sedikit pun untuk melepaskan prinsip dan keteguhan hatinya.

Nabi Muhammad pun menggambarkan orang-orang yang sabar dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad dari Abdurrahman bin Sannah.

«بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: «الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ.

“Islam itu datang dianggap sesuatu yang aneh (asing) dan kelak kembali dianggap aneh. Sungguh beruntung mereka orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah ghuraba’ itu? Nabi menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang tetap teguh memperjuangkan kebenaran pada saat orang lain melakukan kerusakan.” (H.R. Ahmad no. 16690)

Perjuangan menegakkan kebenaran beragama berarti berjuang. Dan berjuang membutuhkan pengorbanan. Namun, tidak semua bentuk perjuangan mempunyai nilai dalam agama. Agama memerintahkan bahwa berjuang bisa dengan materi (amwal), bisa dengan raga (anfus), bisa juga dengan pemikiran-pemikiran dalam bentuk mengembangkan budaya tafakkur, tadabbur, dan tafakkuh (pemahaman).

Baca Juga  Pesan-pesan Etika dan Keadaban dalam Al-Hujurat

Bentuk-bentuk perjuangan di atas perlu dikelola dengan sebuah sistem, perlu wadah, dan perlu manajerial. Dengan demikian, tidak mungkin Islam mengajarkan dan memerintahkan sesuatu tanpa menyediakan sarana untuk melakukannya.

Hanya saja, sebuah perintah tidak akan tercapai secara eksplisit oleh perintah teks (nash). Ini karena cara atau teknis merupakan wilayah nalar yang bisa bersifat situasional dan kondisional. Misalnya, perintah menegakkan shalat (amr bisy syai’) berarti perintah mendirikan tempat shalat, apakah wujud masjid, mushalla, sekolah, atau cukup ruangan kantor (amr bi wasa’ilihi). Selain itu, dalam dunia politik ada perintah bermusyawarah, berarti perintah membuat perundangan, lembaga, sistem, partai, dan lain-lain.

Prinsip dalam Perjuangan

Dari sinilah kemudian dapat kita pahami bahwa setiap orang bisa memilih tempat berjuang dan tempat mengembangkan profesi. Islam tidak menentukan apakah wadah tempat berjuang cukup satu atau banyak. Yang terpenting untuk dinilai di sini adalah motivasi perjuangannya; apakah untuk diri pribadi, kelompok, atau untuk tegaknya kebenaran dan kemaslahatan umat, apakah tujuannya untuk jangka pendek atau jangka panjang. Motivasi dan pilihan-pilihan itu dipengaruhi oleh ideologi, agama, dan lingkungan.

Dalam konteks perjuangan, Islam mengajarkan berbagai prinsip, di antaranya:

  1. Perjuangan harus dilakukan demi tegaknya kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
  2. Motivasi perjuangan harus didasari dengan niat karena Allah, bukan karena popularitas, riya’, sum’ah, atau ujub.
  3. Berjuang harus menghasilkan perubahan, dari yang buruk menjadi yang baik, yang baik harus menjadi lebih baik, dan menjadi yang terbaik.
  4. Hasil perjuangan harus diarahkan untuk membela kepentingan umat dan bukan membela kepentingan prinsip. Misalnya, orang yang mempunyai prinsip bahwa shalat Ied harus dilakukan di lapangan itu lebih baik, kemudian ia berjuang tidak mau melaksanakan shalat Ied jika pelaksanaannya di dalam masjid. Perjuangan seperti ini merupakan perjuangan membela prinsip yang mengorbankan umat.
Baca Juga  Makna Sebenarnya Diinul Qayyim

Oleh sebab itu, marilah kita senantiasa berjuang dengan meluruskan niat agar tidak ada dusta yang menghampiri kita. Sebagaimana nasihat yang dikatakan oleh Syeikh Samarkandy dalam kitab Tanbih Al-Ghafilin.

“Semua orang akan binasa kecuali yang berpengetahuan. Yang berpengetahuan pun akan binasa kecuali yang mengamalkan pengetahuannya, dan yang mengamalkan pengetahuannya pun akan binasa kecuali yang ikhlas dan beramal.”

Beramal harus dengan ilmu. Beramal juga harus dilaksanakan dengan tulus, karena yang dikejar adalah ridha Allah bukan ridha manusia. Wallahu a’lam.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Misbahul Ramadhani
1 posts

About author
Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Samarinda
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds