Manusia yang Lemah
Sudah menjadi pertanyaan sejak dahulu, tentang apa, siapa, bagaimana dan untuk apa manusia itu ada. Pertanyaan tersebut bergema tentang mengapa manusia harus ada. Bagaimana ia ada? Apakah ia ada begitu saja atau apakah ada yang menciptakan?. Mengapa harus ada penderitaan, rasa sakit, kehilangan, perasaan serta berbagai hal yang menyakitkan? Mengapa harus ada mati? Apa sejatinya mati itu? Atau apa sejatinya hidup itu? Atau yang lebih dalam lagi: apa sebenarnya manusia itu?
Manusia pada satu sisi disebut oleh Al-Quran tercipta dalam keadaan paling baik (QS 95 : 4). Namun di sisi lain, ia digambarkan tercipta dalam keadaan yang sulit (QS 90 : 4). Pada satu sisi yang lain, manusia digambarkan sebagai makhluk yang paling mulia (QS 17 : 70). Namun di sisi yang lain pula, ia digambarkan sebagai simbol kelemahan (QS 4 : 28), kezaliman dan kebodohan (QS 33 : 72). Al-Quran seakan membuat romansa yang begitu indah untuk menceritakan makhluk Tuhan yang satu ini.
Semua pertanyaan di atas membawa satu kesimpulan: bahwa manusia dengan keterbatasan akalnya adalah hamba yang lemah. Kelemahan manusia dalam Al-Quran termaktub pada Surah 4 ayat 28. Pada satu ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa Tuhan berkehendak untuk memberi taubat kepada manusia, namun lingkungannya yang mengikuti syahwat ingin agar ia melenceng dari jalan-Nya. Ayat selanjutnya membuat pernyataan yang sederhana namun begitu mendalam: yaitu bahwa Tuhan menginginkan agar cobaan kepada manusia diringankan karena sesungguhnya ia memang diciptakan dalam keadaan lemah (QS 4: 27-28).
Berlindung kepada Allah
Berlindung adalah hal yang sangat manusiawi. Ketika hujan turun, para pengendara motor yang tidak menggunakan mantel akan mencari tempat yang teduh untuk berlindung dari hujan. Seorang wanita yang merasa terancam oleh laki-laki penggoda pada malam hari akan mencari perlindungan di kantor polisi. Anak balita yang digigit semut juga akan berlindung seraya menangis dan mengadu kepada ibunya.
Ketika seseorang berlindung, maka ia akan menuju sosok atau tempat yang mungkin menguatkan atau memberi keamanan baginya. Hal ini juga sekaligus menandakan satu hal: bahwa pihak yang berlindung sejatinya memiliki kelemahan dan keterbatasan yang ia sangat sadari.
Dengan menyadari kelemahan, manusia sebagai hamba diharapkan selalu berlindung kepada Tuhan. Hamba yang lemah adalah simbol kebutuhannya pada Yang Maha Perkasa, Tuhan semesta alam. Kalimat yang diajarkan dalam meminta perlindungan kepada Tuhan itu disebut al-Isti’adzah atau dalam istilah lain disebut at-Ta’awudz.
Dalam budaya masyarakat muslim, ada ucapan Isti’adazah yang diajarkan, yaitu ungkapan:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
“Aku berlindung kepada Tuhan dari Syaitan yang terkutuk.”
Kalimat tersebut diajarkan oleh Nabi suatu kali ketika ia duduk bersama Sulaiman bin Shurod lalu tiba-tiba ada dua orang laki-laki yang saling mencaci sampai-sampai wajah mereka memerah. Nabi berkata kepada Sulaiman “aku tau sebuah kalimat yang jika ia katakan, maka kemarahan itu akan pergi darinya”. Nabi pun mengajarkan kalimat ini. (Shahih Bukhari nomor 3040)
Manusia: Makhluk Pemarah
Nabi seakan-akan memberi kode merah yang nyata bahwa kalimat di atas begitu hebat hingga mampu menghilangkan kemarahan. Manusia seringkali merasa kuat dan menganggap remeh akan kemarahan. Padahal manusia adalah simbol kelemahan yang mana kemarahan itu sanggup membuatnya tidak lagi menjadi manusia.
Kita dapat berkaca dari dua kejadian baru-baru ini yang menimpa saudara Ferdi Sambo yang hilang pangkat jabatan serta saudara Mario Dandy yang hilang kehormatan, sebagai akibat kemarahan yang melahirkan pembunuhan dan penganiayaan yang tidak manusiawi.
Dalam Mu’jam al-Ma’any, syaitan yang berasal dari kata syaatho – yasyiithu (شاط سشيط) bermakna “sesuatu yang membakar”. Contoh ungkapan-nya dalam suatu kalimat: شاط الطبيخ: احترق yang berarti “dapur itu terbakar”.
Dalam kalimat ta’waudz yang diajarkan Nabi, kita sedang ditempa untuk menjadi hamba-hamba yang mengakui kelemahannya dan meminta perlindungan kepada Yang Maha Kuat, utamanya dalam melawan syaitan yang secara leksikal bermakna amarah yang membakar.
Amarah adalah hal yang menjadi sumber utama setiap kejahatan. Ia juga begitu dahsyatnya hingga mampu membakar kemanusiaan dan membumihanguskan kehormatan dan wibawa seorang manusia di mata dunia.
Perintah Berlindung kepada Tuhan dalam Al-Quran
Al-Quran memang pada satu sisi telah menggambarkan hakikat penciptaan manusia yang dimaknai sebagai simbol kelemahan. Namun pada sisi yang lain, Al-Quran juga membuat perintah kepada manusia untuk berlindung kepada Tuhan.
Setidaknya ayat yang memerintahkan ini terdapat empat ayat dan bermuara kepada tiga momen manusia dengan kelemahannya diminta untuk berlindung: 1. ketika menghadapi kesombongan; 2. ketika menghadapi bisikan kejahatan; 3. ketika membaca Al-Quran.
1. Berlindung dari sikap sombong
Momen yang pertama diminta untuk kita berlindung kepada Tuhan adalah saat manusia menghadapi suatu kesombongan. Dalam surah Ghafir ayat 56 dijelaskan tentang suatu kelompok manusia yang berani menentang ayat-ayat Tuhan dikarenakan kesombongan dalam dada mereka.
Lantas Tuhan memerintahkan manusia untuk berlindung dari sikap sombong yang secara tidak langsung juga memberi kesadaran bahwa manusia adalah simbol keterbatasan yang nyata dan memerlukan sikap rendah hati.
Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat tersebut dengan menyebut:
إنما يحملهم على هذا الجدال الباطل كبر في صدرهم
“yang membuat mereka sampai hati melakukan penentangan yang batil ini adalah rasa sombong dalam dada mereka” (Ar-Razi: 1981, Jilid 27 : 80)
Kesombongan di satu sisi yang lain disebut sebagai sabab al-ikhroj yang berarti “sebab pengusiran”. Hal ini berlandaskan pada surah Al-Hijr ayat 34 saat Tuhan mengusir Iblis dengan ungkapan:
فاخرج منها فإنك رجيم
“(Allah) berfirman, “keluarlah darinya (surga) karena sesungguhnya kamu terkutuk”
Kesombongan mampu membuat Iblis dan Adam diusir dari surga. Iblis yang pada awalnya merupakan hamba yang taat pada akhirnya terusir karena rasa sombong yang ada dalam dadanya. Adam yang telah dimuliakan atas seluruh makhluk lain juga dapat melanggar perintah Tuhan karena kesombongan yang dipropagandakan oleh Iblis.
Kesombongan adalah dosa pertama di alam semesta. Ia juga melahirkan kalimat rasis pertama yang diucapkan oleh Iblis. Dalam Surah Al-Hijr ayat 32 dan 33, Tuhan bertanya kepada Iblis mengapa ia tidak ingin menaati perintah Tuhan dan tidak bergabung dengan malaikat lain yang sujud kepada Adam. Iblis menjawabnya dengan sebuah ucapan yang cukup rasis, yaitu:
قَالَ لَمْ اَكُنْ لِّاَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهٗ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍ
“Ia (Iblis) berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.’” (Al-Hijr ayat 33)
Selayaknya manusia berlindung kepada Tuhan dari dosa pertama yang dilakukan oleh makhluk (Iblis), yaitu kesombongan dan sikap rasis. Dua pelajaran penting darinya ialah: Pertama, kesombongan dan rasisme adalah sumber dari kemarahan.
Hal ini sebagaimana Iblis yang menjadi marah karena kesombongan yang ada di dalam dadanya tatkala Tuhan menyuruhnya sujud kepada makhluk yang terbuat dari tanah dan dianggap lebih rendah darinya.
Kedua, kesombongan dan rasisme adalah sebab terjadinya jarak antara hamba dengan Tuhannya. Hal ini dapat dilihat bagaimana Iblis yang diusir dari surga. Jaraknya semakin menjauh dari Tuhan karena kesombongan dan rasisme-nya.
2. Berlindung dari bisikan kejahatan
Momen selanjutnya yang diperintahkan Tuhan untuk berlindung kepadaNya ialah saat manusia mendengar bisikan untuk melakukan kejahatan. Dalam surah Al-A’raf ayat 200 dan surah Fusshilat ayat 36 dijelaskan bahwa setiap kali ada bisikan syaitan yang datang kepada manusia, maka hendaknya ia meminta perlindungan kepada Tuhan. Hal ini karena hanya Tuhan yang mampu memberikan kekuatan agar bisa melawan bisikan tersebut. Bisikan kejahatan yang menghampiri manusia ini disebut dengan Nazghun.
Dalam dunia kriminologi, terdapat dua bentuk kejahatan yang dilakukan manusia. Pertama, kejahatan yang dilakukan dengan rencana. Kedua, kejahatan yang dilakukan secara spontan atau tanpa rencana. Kejahatan yang pertama memiliki derajat pelanggaran lebih besar, sehingga hukuman yang dijatuhkan juga akan lebih besar. Hal ini karena kejahatan dengan rencana memiliki momen untuk menyadari kesalahannya dan membatalkan niat buruknya itu. Bisikan dan perencanaan kejahatan inilah yang dinamakan Nazghun oleh Al-Quran.
Ar-Razi menafsirkan Nazghun sebagai segala bentuk bisikan dan godaan yang mengarahkan manusia kepada maksiat. Nazghun adalah hal yang menjadi awal sebab manusia berbuat buruk. Iadatang baik dari dalam maupun luar diri manusia. Sebagai contoh, seorang pejabat sebelum melakukan korupsi tentu didahului oleh bisikan-bisikan; baik dari dalam dirinya berupa nafsu dan keserakahan individual; maupun dari luar dirinya seperti tekanan, keluarga atau lingkungan yang tidak sehat.
Ar-Razi juga menjelaskan manusia-manusia suci yang dekat dengan Tuhan pun sejatinya mendapatkan bisikan-bisikan tersebut. Namun Tuhan melindunginya dengan membatalkan bisikan tersebut sehingga tidak menjadi suatu keinginan terlebih lagi menjadi suatu perbuatan. Manusia suci seperti Nabi, ulama dan orang-orang shaleh memiliki tameng yang kuat untuk menolak bisikan tersebut, yaitu dengan ketakwaan serta tentunya dipadukan juga dengan bekal kesadaran akan kelemahan dan permohonan perlindungan kepada Tuhan yang Maha Kuat. Bekal itu yang kita sebut dengan Isti’adzah. (Ar-Razi: 1981, Jilid 15 : 106)
3. Berlindung saat membaca Al-Quran
Momen yang ketiga dimana terdapat perintah untuk memohon perlindungan Tuhan adalah saat membaca Al-Quran. Hal ini sejalan dengan Surah An-Nahl ayat 98. Kata membaca yang digunakan di sana adalah al-Qiro-ah, bukan at-Tartil. Hal ini berarti membaca yang memerlukan perlindungan Tuhan adalah membaca dengan maksud memahami, bukan membaca seperti murottal yang dimaksudkan untuk sekedar berirama tanpa memahami maknanya.
Membaca dengan maksud memahami (al-Qiro-ah) memiliki konsekuensi yang signifikan. Khususnya, apabila yang membaca adalah seorang cendekia atau ulama yang berniat untuk mendakwahi umat manusia, maka sangat diperlukan memohon perlindungan kepada Tuhan dari kesalahan-kesalahan syaithoniyah berupa pemahaman yang membakar amarah.
Bukannya pemahaman itu mampu membawa kesejukan untuk manusia, namun sebaliknya justru pemahaman itu membawa kemarahan dan egosentris yang berlebih, sehingga yang lahir darinya adalah penafsiran yang ekstrim, sarat terorisme dan tidak manusiawi.
Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir menafsirkan ayat tersebut dengan menjelaskan bahwa beberapa alasan mengapa disyariatkan ber-isti’adzah saat membaca Al-Quran, yaitu:
- untuk memproklamirkan kehormatan dan kesucian Al-Quran;
- untuk menjaga kesucian Al-Quran dari kesalahan-kesalahan syaithoniah yang manusia tidak akan mampu membendungnya kecuali dengan meminta perlindungan kepadaNya. (Ibnu ‘Asyur: 2008, Jilid 14 : 276)
Sebagaimana yang telah dibahas pada awal tulisan ini, yaitu bahwa kata syaitan berasal dari kosa kata bahasa Arab syaatho – yasyiithu (شاط يشيط) yang bermakna “membakar”; maka hendaknya para cendekia yang mendalami tafsir Al-Quran meminta perlindungan-Nya agar terhindar dari “syaitan terkutuk” berupa paham-paham yang cenderung amarah, egosentris, rasis, sarat akan terorisme dan ekstrimisme. Hal ini sejatinya karena Al-Quran memiliki jauh lebih banyak komposisi yang rahmat dari Yang Maha Rahman dan Rahim.
Editor: Soleh