Feature

Tahtib: Seni Bela Diri Warisan Mesir Kuno

2 Mins read

Mesir adalah salah satu negara yang menyimpan banyak sekali warisan budaya, baik berupa adat istiadat yang dilaksanakan secara turun temurun ataupun warisan budaya berupa penemuan peninggalan masa lampau. Negara yang terletak di Afrika Utara ini juga merupakan tempat yang meninggalkan banyak sejarah, baik dari peradaban Mesir Kuno, era Romawi-Yunani, kedatangan Dinasti Islam seperti Fatimiyyah, Mamalik, Utsmaniyyah dan era Mesir Modern yang menjadi salah satu simbol kemajuan dan kebangkitan dunia arab di awal abad ke 20.

Salah satu budaya yang terkenal berasal dari Mesir adalah “Tahtib” yaitu sebuah seni bela diri menggunakan tongkat yang diwariskan dari era Mesir Kuno dan tetap lestari hingga saat ini. Tahtib awalnya merupakan sebuah seni bela diri yang diajarkan pada tentara era Mesir Kuno, dengan tujuan agar para pasukan dapat menggunakan tongkat tersebut sebagai alat jika suatu waktu ada hal yang mengancam. Kemampuan untuk memegang tongkat sebagai senjata pada saat itu merupakan kemampuan yang memang harus dimiliki oleh pasukan tentara, selain memanah dan bergulat.

Penjelasan terkait penggunaan tongkat sebagai alat perang bagi tentara kala itu ditemukan dalam ukiran-ukiran yang ada di Piramida Giza kompleks Abu Shiyr yaitu makam dari keluarga Firaun ke V. Petunjuk paling jelas terkait Tahtib ada di kota bernama Minya di Kompleks pemakaman Bani Hasan yaitu keluarga Fir’aun ke 11 sekitar ( 1700-1900 SM).

Keterampilan bela diri ini akhirnya menyebar tidak hanya dilakukan oleh para prajurit semata, di era kekinian “Tahtib” juga menjadi keterampilan masyarakat luas seperti petani dan nelayan di daerah Shaidi. Tongkat adalah salah satu senjata ampuh di era itu, sehingga kemampuan tersebut harus dimiliki oleh siapapun yang ingin membela dirinya dari mara bahaya.

Baca Juga  Debat Muhammadiyin vs Nahdliyin Satu Dasawarsa Silam

Tahtib sebagai Seni

Tahtib yang awalnya merupakan kemampuan bela diri, di era kekinian bergeser maknanya menjadi sebuah acara pertunjukan kesenian. Utamanya di daerah selatan Mesir atau yang disebut Mesir Hulu, seperti Luxor, Aswan, Asyut, Fayyum dan kota lainnya. Tahtib telah menjadi adat istiadat dan keseharian mereka.

Salah satu pengalaman penulis adalah melihat penampilan Tahtib adalah saat pelaksanaan perayaan agama di sekitar masjid Husein. Orang Shaidi -warga Mesir Selatan- berkumpul melingkar dan dua orang diantara mereka maju untuk melakukan gerakan dan penampilan, di awal pertunjukan akan ada semacam sambutan dan perkenalan untuk kedua orang yang akan menampilkan Tahtib, diiringi oleh suara tabuhan darbuka serta terompet tradisional, pelaksanaan Tahtib dimulai.

Tahtib ditampilkan dalam banyak moment, seperti pernikahan, hiburan untuk anak-anak, atau sekedar mengisi waktu kosong pada sore hari. Penampilan Tahtib biasanya menggunakan pakaian khas Mesir, yaitu Jalabiyyah dan Sorban berwarna putih. Dengan hal tersebut, semakin nampak bagi saya bahwa warga Mesir sangat bangga akan kebudayaan mereka yang agung. Di era sebelum masehi, nenek moyang mereka telah memberikan contoh sebuah kebudayaan manusia yang unggul, hingga mereka tidak malu dan tetap melestarikan hal tersebut meski dengan bentuk yang berbeda.

Tahtib di Era Modern

Dr Adel Boulad adalah orang yang menginisiatif berdirinya Tahtib Modern. Berlandaskan pada nilai-nilai seni bela diri, Tahtib dikembangkan menjadi lebih profesional dengan tetap menggunakan gerakan-gerakan yang diwariskan dari Mesir Kuno. 7 tahun ia meneliti Tahtib dari grup lokal di Kairo serta beberapa sekolah yang mengajarkan Tahtib di Mesir dan Prancis. Pada tahun 2014 ia menerbitkan sebuah buku Tahtib Modern sebagai panduan bagi siapa saja yang ingin mengenal seni bela diri ini, dan bersamaan dengan itu Tahtib Modern resmi didirikan.

Baca Juga  Hibah, Wasiat, dan Hibah Wasiat

Pada tahun 2016 Tahtib diakui oleh UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia yang berasal dari Mesir. Banyak turis datang ke daerah Mesir Selatan hanya untuk menikmati penampilan Tahtib, ia menjadi daya Tarik turis asing karena usianya yang sekitar 4500 tahun. Sebuah warisan agung dari nenek moyang umat manusia dan tetap lestari di tanah awal ia muncul yaitu Mesir.

Hal ini adalah usaha dari Adel untuk mengemas warisan Mesir Kuno, agar tetap lestari di era Modern ini. Sesungguhnya warisan tersebut layaknya harta karun di era Modern ini, penemuan dan pelestarian warisan tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari bukti sebuah peradaban. Lagi-lagi saya terpesona dengan cara Mesir berinteraksi dengan kebudayaannya, belum lagi al-Azhar yang menjadi pusat pelestarian kitab-kitab turats, sudah ada Tahtib yang masih lestari dan usianya mencapai 45 abad.

Editor: Soleh

Muhammad Yusmi Ridho
15 posts

About author
Mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds